BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di
zaman ini pengetahuan yang semakin berkembang dan berbagai kurikulum
pembelajaran diterapkan kepada peserta didik, menuntut kreativitas seorang guru
untuk lebih berkompeten dan lebih jeli dalam melaksanakan proses pembelajaran
di kelas, sehingga siswa yang diajar di kelas lebih mudah memahami pelajaran
yang disampaikan oleh guru. Kurikulum
yang semakin berubah-ubah hampir setiap tahun, secara tidak langsung
menyebabkan perubahan dalam proses pembelajaran karena guru harus mengikuti
kurikulum atau aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Dalam
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
Butir 19 disebutkan bahwa:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. [1]
Menurut Tim Pengembang
Ilmu Pendidikan FIP-UPI:
Kurikulum didefinisikan sebagai sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan oleh siswa dalam periode
waktu tertentu, untuk mencapai gelar/ijazah tertentu. Pengertian ini sering disebut pengertian
tradisional atau konservatif, sebab menunjukkan kepada rumusan yang pertama
kali lahir dan memiliki sifat-sifat untuk cenderung dipergunakan orang pada
masanya.[2]
Sufean Hussin juga menyatakan bahwa
“kurikulum sekolah adalah bidang yang senantiasa berkembang sesuai dengan
keperluan dan tuntutan semasa.”[3]
Jadi
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kurikulum merupakan sebuah mekanisme atau
pengaturan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam setiap sekolah
agar tercapai tujuan pendidikan yang telah dirancang oleh satuan pendidikan
atau yang dirancang oleh pemerintah.
Tetapi
dengan berjalannya waktu, kurikulum mengalami berbagai perubahan. Hilda Karli et. all menyatakan bahwa:
Fokus tujuan Pendidikan di Indonesia adalah terwujudnya
sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan hidup
dalam dunia yang makin kompetitif serta dapat memilih dan mengelola informasi
untuk digunakan dalam mengambil keputusan sekaligus mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di lingkungan sekitarnya.[4]
Perubahan
kurikulum ini disebabkan karena penelitian yang yang dilakukan di setiap
institusi pendidikan menyatakan bahwa kurikulum yang telah dibuat tidak cocok
atau tidak efektif untuk diterapkan, serta tidak mencapai tujuan yang telah
dirancang sebelumnya, sehingga dari penelitian itulah diciptakan kurikulum baru agar proses pembelajaran
semakin baik dan dapat terlaksana dengan baik dan menghasilkan peserta didik
yang lebih pintar dan berguna di masyarakat serta tujuan yang telah dirancang
dapat tercapai.
Sehubungan dengan perubahan kurikulum yang berubah akan
mempengaruhi pelaksanaan proses pembelajaran di kelas karena harus mengikuti
kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah di setiap sekolah. Dengan perubahan ini tidak tertutup
kemungkinan juga di dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru
mengalami perubahan dan metode pengajaran guru dalam mengajar siswa di kelas
karena harus mengikuti pedoman atau cara yang telah dirancang dalam setiap
kurikulum yang berlaku. Perubahan kurikulum juga memotivasi guru untuk
meningkatkan keterampilan dalam mengajar di kelas kerena perubahan yang
diberlakukan menuntut guru untuk lebih terampil dan lebih profesional dalam
mengajar di kelas. “Guru mengelola dan memotivasi anak didiknya supaya aktif
belajar sehingga mengalami perubahan atau mencapai tujuan yang diharapkan”.[5]
Sebagai guru harus lebih pintar daripada siswanya dan lebih
memahami setiap karakter siswa agar dapat memotivasi siswa yang diajarkannya. Hilda Karli et.all menyatakan bahwa
“guru bukan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa,
melainkan sebagai fasilitator, teman, dan motivator”.[6]
Guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara luas atau
sebanyak-banyaknya tetapi guru juga harus menjadi seorang teman dan motivator
bagi siswanya.
Dalam
hal ini penulis akan membahas bagaimana profesionalisme guru Pendidikan Agama
Kristen dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas multi denominasi. Proses pembelajaran agama yang dilaksanakan
di kelas tidak terlepas dari kurikulum yang berlaku, karena pelajaran agama
Kristen termasuk di dalam kurikulum pendidikan dan termasuk juga dalam mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Tidak sedikit orang memandang tugas mengajar sebagai pekerjaan yang
mudah. Bahkan, banyak orang yang mau
melakukakannya, baik dalam konteks sekolah maupun jemaat.[7]
Guru agama Kristen sudah tentu harus mempunyai
dasar dalam mengajar, serta guru agama Kristen
juga harus mempunyai dasar sekolah yang menjurus ke Pendidikan Agama
Kristen agar dapat mengajar pelajaran agama Kristen, karena tidak mungkin
seseorang yang mengajar pelajaran kalau belum memahami pelajaran yang
diajarkan. Ditambah lagi dengan
peraturan yang diterapkan oleh pemerintah bahwa guru-guru yang mengajar di
sekolah harus mempunyai strata pendidikan minimal sarjana.
Guru
pendidikan agama Kristen harus memiliki dasar yang teguh dan benar dalam
mengajar siswa di kelas, karena siswa yang diajarkan bukan anak-anak yang tidak
memiliki pengetahuan tentang agama. Siswa yang dihadapi sudah pasti memiliki
pengetahuan agama walaupun hanya sedikit dan tidak sempurna. Siswa mendapatkan pengetahuan agama bukan
hanya di sekolah saja, tetapi juga mereka mendapatkan pengetahuan agama di
dalam gereja, baik itu di Sekolah Minggu, Persekutuan Pemuda dan Katekisasi dan
berbagai kegiatan gereja lainya.
Siswa di kota sangat berbeda dengan siswa yang berada di
pedesaan. Perbedaan yang dimaksud
adalah dari segi pengetahuan agama dan
berbagai ajaran yang ada di dalam agama
tersebut. Bila siswa di kota
kemungkinan besar pengetahuan tentang ajaran agama mereka lebih tinggi karena
selalu mendapatkan pengetahuan ajaran agama di dalam gereja dan di dalam
persekutuan-persekutuan ibadah. Para
pendeta atau penatua di dalam gereja menekankan pengajaran tentang agama kepada
para jemaat khususnya kepada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah, baik
itu yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA).
Gereja-gereja di kota selalu membekali jemaatnya tentang berbagai
doktrin gereja dan berbagai ajaran-ajaran yang ada di dalam gereja. Gereja-gereja di kota pun selalu
memperhatikan dengan teliti bagaimana perkembangan ajaran-ajaran yang beredar
di dalam kehidupan jemaat dan di sekolah-sekolah. Hal itu terjadi karena di kota besar, ada
berbagai ajaran dan berbagai denominasi gereja.
Denominasi gereja di seluruh dunnia banyak, tetapi di negara
Indonesia denominasi gereja-gereja di kota cukup banyak. “Dalam PGI terhimpun gereja-gereja yang
mempunyai latar belakang Calvinis/Reformed, Lutheri, Metodist, Mennonit dan
beberapa cabang Pentakosta[8]. Siswa yang berada di pedesaan sangat kurang
sekali dalam pemahaman ajaran-ajaran agama, karena bila diperhatikan atau
ditelusuri gereja-gereja yang ada di pedesaan tidak begitu memperhatikan akan
ajaran-ajaran agama yang dipahami oleh siswa yang duduk di bangku sekolah. Gereja di desa tidak merasa terancam dengan
ajaran-ajaran yang masuk di dalam pendidikan sekolah karena di pedesaan tidak begitu
banyak denominasi gereja, dibandingkan dengan denominasi gereja yang ada di
kota-kota besar. Denominasi-denomisa
gereja yang timbul di zaman ini bukan hal yang tidak mengancam bagi pemahaman
siswa yang duduk di bangku sekolah, karena dengan timbulnya berbagai denominasi
gereja maka berbagai ajaran masuk di dalam pemahaman siswa yang menimbulkan
kebingungan pada siswa untuk memahami yang manakah ajaran yang benar atau
denominasi manakah yang harus diikuti.
Pada mulanya denominasi gereja hanyalah satu denominasi
saja, yakni Katolik Roma. Tuhan Yesus
pun tidak menghendaki adanya perpecahan di dalam gereja yang mana gereja
merupakan tubuh Kristus. Tetapi dengan
adanya Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther pada tanggal 31 Oktober
1517 dalam gereja Roma Katolik, sehingga pada zaman itu gereja Kristen terpecah
menjadi dua bagian yakni, Kristen Katolik (Katolik Roma) dan Kristen
Protestan. Adanya perpecahan gereja Roma
Katolik pada saat itu bukan karena kepentingan pribadi semata melainkan oleh
karena penemuan baru oleh Marthin Luther tentang kebenaran Firman Allah. Kebenaran yang diungkapakan oleh Marthin
Luher dituliskannya serta di tempelkan di pintu gereja Roma Katolik yang
dikenal dengan istilah 95 Dalil. “Luther menulis 95 dalil melawan surat-surat
penghapusan siksa tersebut dan ia mengirimkan salinan ke uskupnya dan satu lagi
kepada Pangeran Albertus”[9]
Setelah
adanya perpecahan, gereja Kristen berkembang dengan pesatnya, semakin hari
semakin banyak pengikut gereja aliran
Protestan. Para penginjil aliran Protestan
semakin bersemangat untuk mengabarkan Injil ke pelosok bumi, dasar penginjilan
mereka adalah hanya pada Firman Allah yang selalu dibawa dan diberitakan kepada
orang yang belum mengenal Allah. Melihat
perkembangan yang ada serta kebutuhan penginjilan yang banyak maka didirikan
oleh sekolah-sekolah keagamaan yang menjurus pada Teologi dan Pendidikan Agama
Kristen. Sekolah Teologi didirikan
berguna untuk mempersiapkan para penginjil yang akan memberitakan Firman Allah
kepada orang yang belum mendengarkan Firman Allah dan juga di dalam
persekutuan-persekutuan ibadah, serta mempersiapkan guru-guru yang akan
mengajar di sekolah-sekolah ataupun mengajar anak-anak di Sekolah Minggu. Menjadi seorang penginjil dan guru pendidikan
agama bukanlah hal yang mudah. Penginjil dan guru harus mempunyai pengetahuan
yang sehingga mampu mengabarkan Injil kebenaran serta mampu mengajar siswa di
sekolah.
Sesungguhnya
yang menjadi dasar pengajaran Firman Allah yang dipelajari hanyalah satu yaitu
Alkitab, tetapi dengan semakin majunya ilmu pengetahuan manusia serta timbulnya
berbagai penafsiran yang berbeda tentang Firman Allah maka timbulah berbagai
denominasi gereja baru yang sesuai dengan hasil penafsiran yang ditemukan.
Gereja yang pada awalnya hanya satu denominasi semakin lama semakin banyak
denominasi.
Adanya
berbagai denominasi gereja sesusungguhnya berawal dari pribadi manusia yang
mempelajari kebenaran Firman Allah, itu dikarenakan timbulnya berbagai
penafsiran tentang kebenaran Firman Allah yang dipadukan dengan logika manusia
sehingga membuat manusia tersebut membuat aliran gereja yang sesuai dengan
keyakinannya sendiri tentang hasil dari penafsirannya dalam Alkitab. Apabila diteliti lebih jauh, adanya berbagai
denominasi gereja di dalam Agama Kristen Protestan tidak semata-mata hanya oleh
karena hasil dari penafsiran tentang Firman Allah, tetapi juga di dasarkan pada
kepentingan pribadi pencetus atau pendiri denominasi tersebut. Kemungkinan besar seseorang yang mendirikan
denominasi baru tidak puas dengan aliran yang sedang ia anut. Kepuasan yang dimaksud adalah kepuasan dalam
pribadinya, tidak lagi melihat kebenaran Firman Allah dengan hikmat dari Allah,
melainkan atas hikmat diri sendiri.
Kepetingan pribadi lebih diutamakan daripada hal-hal yang menguatkan
iman. Manusia pada zaman Reformasi
ditambah lagi dengan berbagai kemajuan gaya hidup manusia yang modern
mengakibatkan manusia tidak lagi melihat kebenaran yang didasarkan pada Firman
Allah tetapi melihat kebenaran yang sesuai dengan keadaan yang dialaminya. Penyebab munculnya beranekaragam denominasi
gereja juga diakibatkan oleh besarnya wilayah kekristenan serta adanya pengaruh
dari berbagai filsafat duniawi yang memunculkan motivasi pribadi atau individu
dalam pelayanan penginjilan. Semua itu
menimbulkan perbedaan pendapat antara para hamba Tuhan atau penginjil yang
saling beda pemahaman terhadap Firman Allah dan sudut pandang terhadap suatu
doktrin. Hal inilah yang menimbulkan
adanya ketidakpuasan terhadap gereja sebelumnya dan berakibat pada keinginan
untuk melepaskan diri dari gereja induk dan membentuk gereja atau denominasi
yang ideal yang sesuai dengan keinginan hati dan sesuai dengan doktrin yang
dianut.
Perpecahan
gereja ditandai dengan adanya berbagai denominasi, tidak hanya mengakibatkan
masalah dalam lingkungan gereja tetapi juga mengakibatkan dalam lingkungan
dunia pendidikan. Dunia pendidikan juga termasuk karena di dalam dunia
pendidikan ada pelajaran tentang agama yang diajarkan oleh guru-guru sekolah,
baik itu guru yang mengajar di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menegah Pertama
dan Sekolah Menegah Atas. Guru yang mengajar tersebut bukanlah guru yang
sembarangan mengajar saja tetapi telah mengemban pendidikan di sekolah-sekolah
Teologi dan telah mempunyai dasar keyakinan dan doktrin terhadap Firman Allah
serta memiliki denominasi tertentu.
Sekolah teologi pada zaman ini memang didirikan atas kebenaran Firman
Allah, tetapi juga mempunyai sebuah ciri khas doktrin.
Guru di
sekolah pun mengalami sebuah tantangan yang besar dalam mengajarkan ajaran
agama kepada siswanya. Tantangan yang
cukup besar yang dialami oleh guru adalah bagaimana seorang guru mengajar di
dalam kelas yang siswanya berbeda-beda denominasi. Siswa yang mengikuti pelajaran agama di
sekolah bukanlah siswa yang sama denominasi gerejanya, melainkan berbagai
denominasi ada di dalam kelas itu. Apalagi di kota-kota besar gereja bukanlah
hanya satu, demikian juga denominasi gereja di kota bukan hanya satu denominasi
gereja saja tetapi berbagai denominasi gereja.
Banyak
hal yang terjadi sekarang ini yang membuat pengajaran agama Kristen bagi siswa
tidak lagi menuju pada hal yang benar sesuai dengan kebenaran Firman
Tuhan. Guru agama Kristen yang
seharusnya berpegang atau berdasarkan pada Firman Allah tetapi tidak lagi
memperdulikan tentang ajaran agama sesuai dengan Firman Allah yang benar. Guru agama Kristen pada zaman ini lebih
mementingkan ajaran denominasinya dan menerapkan ajaran denominasinya itu
kepada siswa yang diajarkannya. Apabila diterapkan hal demikian kepada siswa
sudah tentu terjadi benturan ajaran kepada siswa. Siswa pasti telah memiliki dasar-dasar ajaran
yang diajarkan oleh pengajar-pengajarnya di dalam gereja, karena siswa tidak
hanya belajar tentang agama di sekolah saja melainkan mereka juga mendapatkannya
di dalam gereja. Siswa mempunyai identitas sebagai anggota jemaat di salah satu
gereja yang mempunyai denominasi atau aliran tertentu. Siswa di dalam kelas tidak hanya satu
denominasi saja tetapi bercampur dengan Siswa lainnya yang juga mempunyai
denominasi atau aliran yang saling berbeda.
Guru juga mempunyai aliran yang berbeda dengan siswanya. Bisa saja guru hendak mengajarkan pengajaran
yang benar yang sesuai kebenaran yang sesungguhnya, tetapi ada resiko yang akan
terjadi, mungkin guru tersebut bisa di benci oleh siswanya atau dimusuhi oleh
denominasi gereja yang berbeda dengannya, Rasul Paulus pun pernah dan selalu
dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menerima ajarannya, J.H. Bavink menyatakan “Mengapa Paulus dibenci orang? Bukan karena
orang banyak sayang kepada agama sukunya, atau merasa bahagia dengan
takhyulnya, tetapi karena mau mementingkan diri sendiri saja.”[10]
Di
setiap sekolah sudah tentu mempunyai buku-buku yang menjadi pedoman dalam
mengajar. Buku pedoman itu digunakan
sebagai dasar serta acuan dalam proses belajar mengajar. Buku pedoman pelajaran
agama yang digunakan di sekolah biasanya beragam, karena buku pelajaran agama
Kristen bukanlah diterbitkan oleh satu lembaga penerbit buku melainkan berbagai
penerbit buku juga menerbitkan buku pelajaran agama Kristen. Sehubungan dengan banyaknya buku pelajaran
agama Kristen yang beredar, maka tugas guru agama Kristen untuk memilih buku
terbitan mana yang dipakai dalam proses pembelajaran agama.
Tetapi
yang menjadi masalah ialah ketika seorang guru agama Kristen memilih buku
pedoman pembelajaran agama Kristen berdasarkan pada salah satu denominasi
gereja atau aliran gereja tertentu.
Karena tidak sedikit guru agama Kristen di zaman ini memilih buku
pedoman yang sesuai dengan keinginan hatinya saja tanpa memperhatikan apakah
buku tersebut sesuai dengan ajaran Firman Tuhan yang benar atau hanya
berpatokan pada filsafat dunia dan berbagai kesaksian-kesaksian pribadi manusia
yang dicantumkan di dalam buku pelajaran tersebut. Guru mempunyai hak untuk memilih buku mana
yang akan dipakai untuk menjadi pedoman dalam mengajar. Ketika guru memilih
atau memakai buku pedoman yang sesuai dengan salah satu aliran saja dan itu pun
belum tentu sesuai dengan kebenaran firman Allah maka akan menimbulkan masalah
bagi siswanya. Di dalam proses mengajar antara guru dan siswa pun tidak ada
lagi hubungan yang harmonis, tidak sehati sepikir lagi.
Akibatnya
perselisihan antara murid dengan murid, guru dengan guru dan juga bisa mengakibatkan
perpecahan di dalam kelas yang diajar oleh guru tersebut. Perpecahan yang dimaksud ialah terjadinya
sikap saling mengelompokkan diri pada siswa yang mempunyai aliran gereja yang
sama, sehingga di dalam kelas tersebut tidak ada lagi kekompakan. Sebaliknya yang ada hanyalah perpecahan dan
permusuhan. Adanya keberagaman
denominasi di dalam juga menimbulkan berbagai rasa saling iri, saling
membenarkan diri dan membenarkan denominasi yang dianutnya. Terlebih lagi siswa dapat melakukan hal-hal
bodoh seperti saling menghina denominasi yang berbeda dengannya. Tidak jarang
juga guru agama Kristen yang mengajar di kelas dapat melakukan hal bodoh dengan
membenarkan denominasinya sendiri yang ia pikir itu benar menurut pemahamannya
sendiri bukan pemahaman atas kebenaran yang sesuai dengan Firman Allah.
Jika
semua hal di atas telah terjadi maka sia-sialah pengajaran di dalam kelas,
tidak ada lagi kesatuan pikiran tentang kebenaran Firman Allah. Siswa saling membenarkan diri, saling
menyalahkan. Guru yang tadinya
membimbing siswa kepada hal yang benar tentang kebenaran Firman Allah melainkan
ikut membenarkan diri terhadap denominasi yang dianutnya sehingga tujuan
pengajaran yang tadinya telah dibuat tidak tercapai yang ada hanyalah
kebingungan memilih yang denominasi mana yang benar.
Sesungguhnya
ketidak profesionalisme guru Pendidikan Agama Kristen yang hanya mengutamakan
ajaran atau doktrin yang ia percayai yang belum tentu sesuai kebenaran Firman
Allah akan mengancam jiwa siswa yang diajarkan, tidak menumbuhkan iman
siswa. Pengajaran yang demikian bukan
membawa siswa kepada pengenalan yang benar akan Allah tetapi membawa siswa pada
kehancuran iman.
Dalam
jemaat Korintus pun terjadi persoalan yang serupa dengan yang terjadi pada
zaman ini. Paulus menghadapi jemaat Korintus yang telah terbagi dalam 4
golongan, yaitu golongan Paulus, golongan Apolos, golongan Kefas dan golongan
Kristus, Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari
keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu
masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos.
Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus (1 Kor.1:11-12).
Jemaat
Korintus memepunyai pandangan yang berbeda-beda dalam memahami dan mengerti
tentang Injil yang disampaikan oleh rasul Paulus sebelumnya, bukan hanya itu
saja dalam jemaat atau di Kota Korintus sudah banyak para pengajar-pengajar
yang tidak benar, mereka memutarbalikkan kebenaran Firman Tuhan karena mereka
mempunyai keinginan pribadi dalam jemaat di Korintus.
Perpecahan
jemaat di Korintus ada karena kesombongan diri di antara jemaat, congkak serta
merasa puas atas apa yang telah dimiliki sehingga menimbulkan perepecahan dan
kekacauan di dalam jemaat. Mereka merasa
bahwa diri mereka pintar dan telah mempunyai hikmat yang benar terhadap
kebenaran Firman Allah sehingga mereka menentukan kebenaran sesuai dengan
hikmat diri sendiri bukan lagi berdasarkan hikmat dari Allah. Kota Korintus juga terkenal dengan sifat
amoral mereka, mereka melakukan dosa yang sangat keji terhadap Allah. Mereka ikut dalam penyembahan berhala
agama-agama yang ada di kota itu bahkan yang paling keji adalah melakukan
persetubuhan tubuh massal di dalam kuil Dewi Artemis, mengikuti cara
penyembahan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Mereka melakukan pembelaan atas dosa yang
mereka buat dengan menggolongkan diri, membeda-bedakan diri satu denga yang
lainnya.
Surat 1
Korintus ditulis oleh rasul Paulus untuk menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh jemaat, karena banyak berita yang disampaikan kepada Paulus
tentang bagaimana keadaan jemaat Korintus yang mulai tergoyahkan imannya karena
hidup di tengah-tengah orang yang tidak mengenal kebenaran Tuhan.
Guru-guru
atau pengajar Yahudi meragukan bagaimana pengajaran yang diajarkan oleh rasul
Paulus, mereka menyebarkan isu kepada jemaat tentang isi pengajaran rasul
Paulus adalah sesat dan tidak benar. Tetapi Paulus menjawab tuduhan-tuduhan
yang dituduhkan kepadanya, atau keraguan jemaat tentang ajarannya dengan
berkata dalam 1 Korintus 2:1-5 bahwa segala sesuatu yang Paulus sampaikan
adalah dari hikmat Allah. Dari
permasalahan inilah penulis terdorong untuk mengangkat judul PROFESIONALISME GURU PAK DALAM MENGAJAR
SISWA DI KELAS MULTI DENOMINASI BERDASARKAN 1 KORINTUS 2:1-5.
B. Fokus
Kajian
Dalam kajian ini yang menjadi fokus penulis adalah:
1.
Profesionalisme
Guru PAK Dalam Mengajar Siswa Di Kelas Multi Denominasi Berdasarkan 1 Korintus
2:1-5.
Kajian ini dibatasi pada Profesionalisme guru PAK dalam
mengajar siswa di kelas multi denominasi karena guru pada saat ini hanya
mengajar berdasarkan pada denominasi atau ajaran tertentu yang guru percayai,
tidak lagi berdasarkan pada dasar pengajaran yang sesungguhnya yakni Kebenaran
Firman Allah.
C.
Pembatasan Masalah
Tulisan ini
dibatasi dalam masalah sebagai berikut:
Profesionalisme
guru PAK dalam mengajar siswa di kelas multi denominasi berdasarkan 1 Korintus
2:1-5.
D. Rumusan Masalah
Dari uraian-uraian tersebut
di atas, maka masalah pokok yang akan diteliti dalam tulisan ini, adalah: “ Bagaimanakah profesionalisme guru PAK dalam
mengajar siswa di kelas multi denominasi berdasarkan 1 Korintus 2:1-5? ”
E. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang efisien sekaligus
lengkap dengan berbagai macam bantuan material yang sehubungan dengan masalah
yang dikaji. Jadi, ada pun tujuan dalam
penelitian ini, antara lain:
a. Tujuan
Umum
Memaparkan profesionalisme guru PAK dalam mengajar siswa di kelas yang
multi denominasi berdasarkan 1 Korintus 2:1-5, sehingga dapat memberikan
sumbangsih pemikiran bagi guru-guru PAK sebagai guru pendidikan agama Kristen
yang profesional dalam mengajar siswa di kelas multi denominasi.
b. Tujuan Khusus
Menjelaskan bagaimana Profesionalisme guru PAK dalam mengajar siswa di kelas multi
denominasi berdasarkan 1 Korintus 2:1-5.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak
dicapai dalam penelitian ini, adalah:
1. Manfaat TeoritisMemberikan sumbangan pikiran
yang baik dan benar serta berguna berdasarkan Alkitab bagi guru PAK dalam
melaksanakan peranannya sebagai guru yang profesional.
2. Manfaat PraktisDengan adanya penelitian
ini, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan secara praktis untuk menjelaskan
bagaimana profesionalisme
guru PAK dalam mengajar siswa di kelas multi denominasi.
BAB II
KAJIAN TEOLOGIS DAN TEORITIS
A.
Kajian Teologis
a. Penulis Kitab
Penulis Penulisan surat 1 Korintus kemungkinan besar ditulis
di Efesus pada musim semi tahun 55, sebelum penulisan surat Galatia.[11] Penulis kitab 1 Korintus adalah rasul Paulus
yang pada saat itu sedang mengabarkan Injil di Efesus, karena mendengar
permasalahan yang sedang dialami oleh jemaat di Korintus dari keluarga Kloẽ
(1 Korintus 1:11), rasul Paulus menulis surat 1 Korintus untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya serta memberikan pemahaman yang
tentang kebenaran ajaran yang telah ia sampaikan sebelumnya. “Surat 1 Korintus ternyata merupakan jawaban
terhadap suatu surat yang dikirim orang-orang Korintus kepada Paulus.” [12]
Merrill C. Tenney menyatakan dalam bukunya Survei Perjanjian Baru:
“Akhirnya, tiga orang anggota
jemaat, Stefanus, Fortunatus, dan Akhayaikus, membawa sumbangan kepada Paulus
dan sepucuk surat mengenai pertanyaan-pertanyaan tertentu yang ingin ditanyakan
oleh orang-orang di Korintus.” [13]
Paulus
adalah seorang dari keturunan Yahudi
yang nama aslinya adalah Saulus dan berasal dari Tarsus. “Saulus, orang Tarsus itu, boleh jadi lahir
kira-kira dua tahun sesudah Kristus di Tarsus di Negeri Kilikia.”[14]
Dia dipanggil Allah dalam perjalanannya ke Damsyik untuk melanjutkan misinya
menangkap serta memenjarakan orang-orang Kristen yang ada di kota Damsyik. Paulus adalah orang yang sangat pintar dan
berpengetahuan tinggi, ia dididik dengan teliti oleh gurunya yang bernama
Gamaliel. “Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi
dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam
hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah
sama seperti kamu semua pada waktu ini.” (Kis. 22:3). Gamiliel adalah seorang keturunan dari Hilel
yang merupakan pemikiran Farisi. “Gamaliel adalah cucu dari Hilel, yang
dijuluki "Sang Penatua" (The Elder), yang telah mengembangkan
pemikiran yang menjadi cikal-bakal kaum Farisi.”[15]
Paulus dikenal dengan semangat yang sangat besar untuk
menangkap orang-orang Kristen yang ada di Yerusalem, sehingga dari semangatnya yang besar itu
membuat dirinya untuk pergi ke Damsyik menangkap orang-orang Kristen yang ada
di Damsyik. Paulus menjadi pemimpin di
antara orang Yahudi. Para pemimpin yang lebih tua mundur dan membiarkan
kesempatan kepada Paulus menjadi pimpinan pasukan untuk menghancurkan
kekristenan. Paulus sendiri menggambarkan tindakannya yang melawan kekristenan
ini dengan berkata: “Hal itu kulakukan
juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam
penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga
setuju, jika mereka dihukum mati. Dalam rumah-rumah ibadat aku sering menyiksa
mereka dan memaksanya untuk menyangkal imannya dan dalam amarah yang
meluap-luap aku mengejar mereka, bahkan sampai ke kota- kota asing.” (Kisah
Para Rasul 26:10,11). Paulus adalah
seorang yang taat kepada agama Yahudi dan dia merasa bahwa apa yang dia lakukan
itu benar.
Tetapi dalam perjalanannya saat mendekati kota Damsyik, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Saulus
melalui sinar kemilau yang menyilaukan mata Saulus sehingga membuatnya buta dan
tidak bisa melihat lagi. “Barulah Saulus
tahu, bahwa ia telah buta karena cahaya sorgawi itu, sebab ketika dibukanya
matanya, ia tak dapat melihat lagi.”[16] Ia
rebah ke tanah dan kedengaranlah suatu suara berkata kepadanya, “Saulus, Saulus
mengapa engkau menganiaya Aku?” Jawab Saulus: “Siapakah engkau, Tuhan?”
Kata-Nya: “Akulah Yesus yang kau aniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke
dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat
(Kis.9:4-6).”
Paulus mengikuti arahan Tuhan Yesus kepadanya dan pergi ke
Kota Damsyik, di kota itu ia bertemu
dengan seorang pengikut Yesus bernama Ananias.
Ananias menumpangkan tangannya di atas Saulus mendoakannya. “Lalu
pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke
atas Saulus, katanya: “Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan
diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya
engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus. Dan seketika itu juga
seolah-olah selaput gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia
bangun lalu dibaptis. (Kis. 9:17).”
Paulus mengalami pertobatan yang sejati, Yesus menampakkan diri kepadanya dan merubah
hidupnya, Yesus telah menghancurkan hati Paulus saat pertemuan di dekat kota
Damsyik. Hasil pertobatan Paulus adalah ia mengabarkan Injil kebenaran Allah
bahwa Yesus adalah Anak Allah. Paulus
yang dulunya membenci pengikut Kristus kini menjadi orang yang saleh dan takut
akan Allah, ia rela meninggalkan kekuasaan dan jabatan yang telah diberikan
kepadanya hanya untuk mengikut Yesus.
Perjalanan rasul Paulus tidaklah mulus, ia merasakan
bagaimana penderitaan orang yang mengikuti jalan Kristus. Rasul Paulus dibenci oleh orang-orang Yahudi
dan teman-temannya dahulu, tetapi itu tidak dijadikannya sebagai alasan untuk
mundur dari profesi baru yang ia miliki sebagai pengabar Injil Kristus. Paulus pergi memberitakan Injil keseluruh
daerah Antiokhia, Asia Kecil, Listra, kota Korintus dan daerah-daerah lainnya. Dalam perjalanan pengabaran Injil yang ia
lakukan, Rasul Paulus mendirikan jemaat-jemaat yang menbuat orang-orang yang
telah mengalami pertobatan dan hidup dalam Kristus mempunyai suatu persekutuan
dalam iman dengan orang lainnya dan menjadikan mereka sebuat jemaat. Jemaat-jemaat yang didirikan Paulus mulai
berkembang dengan baik, dan tidak sedikit juga mengalami berbagai masalah yang
terjadi di dalam kehidupan berjemaat.
Dalam hal ini permasalahan yang penulis bahas adalah
permasalahan yang di alami oleh Rasul Paulus di jemaat di Korintus. Rasul
Paulus menjawab semua permasalahan yang telah
terjadi di jemaat Korintus yang telah dikacaukan dengan pemikiran-pemikiran
mereka akan kebenaran Firman Allah yang sesungguhnya. Rasul Paulus dengan lantang menegaskan bahwa
dasar Injil yang ia sampaikan bukan bersumber dari hikmat dunia, bukan dari
pengetahuan akan diri sendiri atau pengetahuan yang bersumber dari kekuatan
diri sendiri, melainkan bersumber dari hikmat Allah dan kekuatan akan Roh Allah
(1 Korintus 2:1-5).
Hal yang mendasar dalam penulisan 1 Korintus ini adalah Paulus
menjelaskan bagaimana seharusnya pemikiran orang yang mengenal Allah. Pemikiran orang yang mengenal Allah tidak
didasari pada kehendak diri sendiri, tidak juga didasari pada pemikiran dunia
atau hikmat duniawi. Allah telah
memberikan pengetahuan kepada manusia tetapi harus digunakan pada tempatnyanya,
hikmat yang dari Allah adalah untuk memberikan serta menunjukkan kebenaran pada
manusia.
b. Penerima Kitab
Penerima Kitab 1 Korintus
ialah jemaat Korintus yang sebelumnya telah dikunjungi oleh Rasul Paulus pada
perjalanan misinya yang kedua. Paulus
menuliskan surat ini kepada jemaat di Korintus untuk memperkuat iman mereka,
karena mereka hidup ditengah-tengah orang yang tidak mengenal kebenaran, hidup
dalam dunia amoral yang bejat serta hidup dalan pencabulan. Jemaat Korintus pun sedang mengalami
perpecahan di dalam jemaat sehingga ini merupakan salah satu alasan Paulus
mengirimkan mereka surat pengembalaan kepada jemaat di Korintus untuk
memperbaiki masalah yang telah terjadi di dalam jemaat Korintus. “Dalam jemaat itu (Korintus) telah terjadi
pertengkaran dan perpecahan ; mereka menggolong-golongkan diri mereka.”[17] Jemaat Korintus ini sedang dalam kekacauan
dan kebimbangan iman karena mereka bingung memilih jalan mana yang benar atau
golongan mana yang sesuai kehendak Allah.
Jemaat Korintus sesungguhnya
tidak mengalami kebimbangan akan rohani mereka jika mereka tidak mengandalkan
hikmat dunia. Hikmat dunia yang mereka
selalu andalkan adalah sebuah kebodohan bagi mereka untuk memilih jalan mana
yang benar, karena sesungguhnya jika mereka taat dan tetap mengikuti jalan yang
Tuhan ajarkan kepada mereka melalui Rasul Paulus mereka tidak akan mengalami
sebuah perpecahan di dalam jemaat.
c. Situasi Penulisan Kitab
Situasi jemaat Korintus pada
saat surat ini dikirim oleh Rasul Paulus ialah sedang dalam permasalahan,
terjadinya perpecahan di dalam jemaat. Jemaat di Korintus mengalami masalah
perpecahan dalam jemaat setelah beberapa tahun rasul Paulus meninggalkan
mereka. “Beberapa tahun setelah Paulus
meninggalkan jemaat yang didirikannya di Korintus, dengan melanjutkan
perjalanan untuk berkhotbah di seluruh Mediterania Timur, jemaat terpecah dalam
perselisihan kelompok.”[18]
Jemaat
Korintus mengalami krisis kepemimpinan di dalam jemaat, sehingga mengakibatkan
adanya pembagian golongan di dalam jemaat Korintus. Krisis kepemimpinan yang dialami jemaat
Korintus adalah mereka memilih-milih pemimpin yang mereka anggap benar dan sesuai
kehendak mereka. Pemimpin yang mereka
anggap benar itulah yang akan menjadi pemimpin mereka dalam kehidupan berjemaat
dan persekutuan. Tetapi jemaat Korintus
tidak sehati dan sepikir tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka dalam
persekutuan, karena mereka mempunyai
pemikiran yang berbeda serta pengalaman rohani yang berbeda dengan pemimpin yang mereka ajukan sebagai pemimpin
jemaat. Beberapa jemaat memilih
pemimpinnya masing-masing, pemimpin yang jemaat Korintus pilih adalah Paulus,
Petrus atau Kefas, Apolos, dan Kristus.
Perpecahan yang dialami oleh jemaat Korintus juga dipengaruhi lingkungan
dimana mereka mereka dan orang-orang yang ada di sekeliling mereka.
Kota Korintus merupakan kota yang sangat terkemuka dan modern
di saat Paulus mengunjungi kota itu, “Ketika Paulus mengunjungi Korintus pada
sekitar tahun 50-51, ia sama sekali tidak tahu bahwa Allah akan memakainya
untuk menghasilkan suatu jemaat yang besar dan berpengaruh di kota yang modern
ini.[19]
Kota Korintus sering juga disebut sebagai kota pelabuhan, “Kota Korintus
merupakan kota pelabuhan yang menghubungkan Yunani Utara dan Yunani Selatan.”[20]
“Kota ini tidak hanya dilalui oleh jalur utama yang
menghubungkan wilayah Timur dan Barat, tetapi beberapa rute laut juga bertemu
di kedua pelabuhannya.”[21] Kota yang kaya dengan perdagangan, dipenuhi
oleh orang-orang yang kaya akan pengetahuan. Penduduk di Korintus merupakan
pendatang dari daerah-daerah lainnya di luar kota Korintus. “Satu hal yang menjadi ciri khas kota
Korintus adalah kebhinekaan masyarakat”.[22]
Kota Korintus yang merupakan sebuah kota kuno di Yunani, kota
metropolitan Yunani yang terkemuka pada saat Paulus mengunjungi kota itu. Korintus menjadi kota yang sombong secara
intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral. Orang-orang Korintus yang
selalu mengutamakan hikmat dunia mereka, pengetahuan mereka selalu didasari
pada logika. Segala macam dosa
merajalela di kota ini yang terkenal karena perbuatan cabul dan hawa nafsu. William
Barclay menyatakan dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap hari:
Korintus juga merupakan kota kejahatan.
Orang Yunani mempunyai istilah “bermain Orang Korintus”, yang berarti
hidup dalam pesta-pora dengan penuh hawa nafsu.
Kata Korintus menjadi kata yang menggambarkan wilayah yang sembrono dan
kasar.[23]
Keadaan kota
Korintus yang bejat akan moral dan tidak mengenal akan kebenaran Allah yang
sesungguhnya mendorong Rasul Paulus untuk mengabarkan Injil di Korintus. Kitab 1 Korintus ditulis Rasul Paulus untuk
menanggapi berbagai permasalahan yang telah terjadi di jemaat Korintus.
Permasalahan tersebut menimbulkan perpecahan di antara jemaat. Perpecahan jemaat di Korintus terbagi dalam 4
golongan, yakni: Golongan Paulus, Golongan Apolos, Golongan Kefas, dan Golongan
Kristus. Jemaat Korintus yang dengan
sengaja memisahkan diri atau dengan kata lain mereka membuat suatu penggolongan
diri karena mereka mempunyai suatu alasan mengapa mereka memilih golongan
tersebut.
J. Sidlow Baxter
menyatakan:
Pihak Paulus mungkin membela kemerdekaan
Injil dan meninggikan Paulus yang mendirikan jemaat di sana. Pihak Apolos mungkin orang-orang terpelajar,
yang terpelajar, yang terarik oleh kefasihan dan kemahiran jurutafsir yang
berasal dari Alexandria itu, yang sudah ke Korintus sejak kunjungan Paulus yang
pertama. Pihak Petrus mungkin agaknya
cenderung kepada adat istiadat Yahudi, serta meninggikan Petrus di atas rasul-rasul lainnyasebagai suara rasul dan
gereja induk di Yerusalem. Pihak Kristus
dengan menggunakan nama Tuhan ini, tentulah inigin dipandang lebih tinggi dari
pihak lainnya. Jadi mereka bertengkar
dan berselisih dengan menggunakan nama rasul dan nama Tuhan sendiri, sehingga
keutuhan dan ketegehan gereja terancam.[24]
Jemaat
Korintus terbagi dalam 4 golongan yang berebeda-beda, karena mereka mempunyai
pemikiran dan cara menanggapi Firman Tuhan yang berbeda, jemaat Korintus
mengandalkan hikmat dan karunia yang mereka miliki untuk membanding-bandingkan
ajaran mana yang benar yang sesuai keinginan hati mereka. Kebenaran yang sebelumnya disampaikan oleh
Paulus kepada jemaat lambat laun mulai memudar karena adanya
pemikiran-pemikiran duniawi yang masuk di dalam kehidupan jemaat Korintus yang
menyebabkan jemaat tersebut terpecah belah dalam 4 golongan.
Orang-orang
Korintus sangat terkenal dengan hikmat, orang Korintus selalu berusaha mencari
hikmat. Hikmat yang mereka miliki dan
percayai membawa mereka jatuh ke dalam kehidupan yang tidak benar, karena
ketika Injil disampaikan kepada mereka, maka itu merupakan suatu kebodohan bagi
mereka. Tidak mengherankan jika
orang-orang Korintus memusuhi dan menganggap rasul Paulus hanyalah orang yang
bodoh dan tidak mempunyai pengetahuan, karena Injil yang disampaikan Paulus
kepada orang Korintus bukan atas dasar apa yang hendak didengar oleh
orang-orang Korintus namun apa yang mereka harus ketahui.
d. Tujuan Penulisan Kitab
Tujuan
penulisan 1 Korintus adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah disampaikan
kepada Rasul Paulus serta juga untuk memberikan arahan yang benar untuk
menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi di jemaat Korintus.
e. Garis Besar Kitab
Dalam setiap
kitab yang ditulis, sudah pasti di dalamnya terkandung garis-garis besar atau
sebuah topik yang akan dibahas penulis kitab untuk diberikan kepada
penerima. Kitab 1 Korintus memiliki
bagian-bagian pembahasan yang berbeda-beda di dalamnya walupun terdapat di
dalam 1 kitab saja. Kitab 1 Korintus
dibagi dalam beberapa garis besar, Adina
Chapman menyatakan:
Pendahuluan (1:1-9)
I. Tantangan-tantangan
dalam jemaat (1:10 – 4:21).
- Mereka yang menurut pikiran duniawi tidak mengerti hikmat rohani (1:10 – 2:16).
- Salah paham terhadap pemimpin. Rahasia Allah yang dipercayakan kepada Paulus (3:1 – 4:5).
- Paulus menjadi teladan dalam kerendahan hati dan dalam kesabaran (4:6 – 21)
II. Kesusilaan
dalam Jemaat (5-6)
1. Pelanggaran-pelanggaran dalam jemaat harus
ditindak (5)
2. Pola-pola hidup bagi orang Kristen yang
mencari keadilan dan terhadap pencabulan (6).
III. Masalah-masalah perkawinan diperbincangkan
(7).
IV. Masalah-masalah penyembahan berhala (8-10).
- Kemerdekaan dikendalikan dalam kasih (8).
- Contohnya ini dalam Paulus (9).
- Jangan berkompromi dalam penyembahan berhala (10).
V. Penyalahgunaan
upacara-upacara dalam jemaat (11).
- Pola-pola hidup bagi wanita dalam jemaat (11:1-16).
- Penyalahgunaan perjamuan malam (11:17-34).
VI. Rupa-rupa karunia yang dipakai untuk
membangun jemaat (12-14).
- Biarpun ada karunia yang berbeda-beda, namun semuanya sangat berharga dalam jemaat (12).
- Kasih adalah karunia Allah yang terpenting dan terutama (13).
- Di antara karunia-karunia yang berlainan, karunia untuk bernubuat (atau mengajar) adalah karunia yang terutama untuk membangun jemaat (14).
VII. Kebangkita
Kristus dan kebangkita kita (15).
VIII. Tentang bantuan untuk jemaat di Yerusalem dan
nasihat-nasihat Paulus yang terakhir (16).[25]
f. Analisis Konteks
Walter C. Kaiser menyatakan bahwa: “Kata “konteks” berasal dari dua
kata bahasa Latin yang berbunyi Con, yang berarti “bersama-sama menjadi Satu”,
dan Textus yang berarti “tersusun.”[26] Selanjutnya Hasan Sutanto menanggapi pendapat tersebut bahwa: “Kata “konteks”
di sini dipakai untuk menunjukkan hubungan yang menyatukan bagian Alkitab yang
ingin ditafsir dengan sebagian atau seluruh Alkitab.”[27]
Analisis
konteks sangat penting dalam menafsir serta menyelidiki bagian nats
Alkitab. “Analisis teks juga disebut
‘studi kata’ (word study). Penafsir
menyelidiki setiap kata dalam teks, satu demi satu.”[28] Konteks merupakan sebuah penerang bagi
penafsir ayat Alkitab untuk menemukan dan memahami situasi yang terjadi pada
saat kitab ini ditulis. Selain membantu penafsir untuk menemukan situasi yang
terjadi, analisis konteks juga memberikan masukan kepada penafsir untuk
menafsirkan ayat Alkitab denga benar.
a. Konteks Dekat
Menurut
penelitian penulis yang merupakan konteks paling dekat dengan 1 Korintus 2:1-5
adalah terdapat dalam 1 Korintus 1:17 yang berbunyi “Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk
memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib
Kristus jangan menjadi sia-sia.” Nats ini merupakan jawaban Paulus tentang
bagaimana dan untuk apa Kristus memanggil ia menjadi seorang penginjil dan
rasul, dan nats ini juga merupakan sumber Injil yang ia beritakan yaitu
berdasarkan hikmat dan kekuatan dari Allah.
Ayat 1
Korintus 2:1-5 yang ditulis Rasul Paulus kepada jemaat Korintus sangat berhubungan
kuat dengan pasal sebelumnya. Di pasal
sebelumnya yakni pasal 1, Paulus memberikan suatu penegasan kepada jemaat
Korintus supaya mereka seia sekata, Tetapi
aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus,
supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi
sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir (1 Kor. 1:10).
b. Konteks Jauh
Yang menjadi
konteks jauh dari 1 Korintus 2:1-5 ialah 1 Korintus 1:10-13 yang berbunyi (Tetapi aku menasihatkan kamu,
saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata
dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat
bersatu dan sehati sepikir. Sebab,
saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe
tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu
masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos.
Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus
disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?, yang di
sana membahas bagaimana permasalahan yang sedang terjadi di dalam jemaat
Korintus (1 Kor 1:10-13).
Dalam ayat 1
Korintus 1:10-13, Paulus memberikan nasehat kepada jemaat Korintus tentang
masalah yang telah terjadi di dalam jemaat Korintus.
B. Kajian Teoritis / Landasan
Teoritis
1. Profesionalisme Guru
Istilah
profesionalisme guru terdiri dari dua suku kata yang masing-masing mempunyai
pengertian tersendiri, yaitu kata Profesionalisme dan Guru. “Ditinjau dari segi
bahasa (etimologi), istilah profesionalisme berasal dari Bahasa Inggris
profession yang berarti jabatan, pekerjaan, pencaharian, yang mempunyai
keahlian”[29], Kata profesionalisme
berasal dari kata profesional yang berarti memiliki keahlian khusus dalam suatu
bidang pekerjaan atau bidang lainnya.
Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer mengartikan kata profesi
“sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu.”[30] Dengan demikian kata profesional secara
harafiah dapat diartikan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian dan
keterampilan tertentu, di mana keahlian dan keterampilan tersebut didapat dari
suatu pendidikan atau pelatihan khusus.
Adapun pengertian profesi secara therminologi atau istilah, Roestiyah mengartikan “pofesi adalah
suatu jabatan atau pekerjaan yang terorganisir yang tidak mengandung keraguaan
tetapi murni diterapkan untuk jabatan atau pekerjaan fungsional.”[31]
Surya et.all, mengartikan bahwa professional mempunyai makna yang
mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan
tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan
profesinya.[32] Syafrudin, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah
professional adalah bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus
untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[33]
Dari semua pendapat para
ahli di atas, menunjukkan bahwa professional secara istilah dapat diartikan
sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan atau
dididik untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dan mereka mendapat imbalan atau
hasil berupa upah atau uang karena melaksanakan pekerjaan tersebut dan
mengerjakan sesuatu hal secara prosefional.
“Profesional berarti orang yang melakukan pekerjaan yang sudah dikuasai
atau yang telah dibandingkan baik secara konsepsional, secara teknik atau
latihan.”[34]
Kemudian kata profesional
tersebut mendapat akhiran isme, yang dalam bahasa Indonesia menjadi berarti
sifat. Sehingga istilah Profesionalisme berarti sifat yang harus dimiliki oleh
setiap profesional dalam menjalankan pekerjannya sehingga pekerjaan tersebut
dapat terlaksana atau dijalankan dengan sebaik-baiknya, penuh tanggung jawab
terhadap apa yang telah dikerjakannya dengan dilandasi pendidikan dan
keterampilan yang dimilikinya.
Dari rumusan pengertian
diatas ini mengambarkan bahwa tidak semua profesi atau pekerjaan bisa dikatakan
profesional karena dalam tugas profesional itu sendiri terdapat beberapa
ciri-ciri dan syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert W. Riche, yaitu:
Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang
ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Seorang pekerja profesional,
secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep- konsep
serta prinsip- prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya. Memiliki
kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti
perkembangan dalam pertumbuhan jabatan. Memiliki kode etik yang mengatur
keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual
yang tinggi. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan,
disiplin diri dalam profesi , serta kesejahteraan anggotanya. Memberikan
kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian. Memandang profesi
sebagai suatru karier hidup (a live career) dan menjadi seorang anggota
permanen.[35]
Sedangkan pengertian guru
seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut;
Petersalim dalam kamus bahasa Indonesia Kontemporer mengartikan guru
adalah orang yang pekerjaanya mendidik, mengajar, dan mengasihi, sehingga
seorang guru harus bersifat mendidik. Ahmad D. Marimba, menyatakan bahwa guru
adalah orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mendidik. Amien
Daiem Indrakusuma menyatakan “bahwa guru adalah pihak atau subyek yang
melakukan pekerjaan mendidik.”[36]
“Guru adalah spiritual
father atau bapak rohani bagi seorang murid, memberi santapan jiwa, pendidikan
akhlak dan membenarkannya, meghormati guru itulah mereka hidup dan berkembang.”[37]
Dari beberapa pengertian
guru sebagaimana yang dikemukakan, diatas maka secara umum dapat diartikan
bahwa guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh
potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi
psikomotor.
Dari
pengertian atau definisi “profesionalisme” dan “guru” diatas dapat ditarik
suatu pengertian bahwa profesionalisme guru mempunyai pengertian suatu sifat
yang harus ada pada seorang guru dalam menjalankan pekerjaanya sehingga guru
tersebut dapat menjalankan pekerjannya dengan penuh tanggung jawab serta mampu
untuk mengembangkan keahliannya tanpa menggangu tugas pokok guru tersebut.
2.
Guru Pendidikan Agama
Kristen
Secara umum definisi guru
adalah tenaga pengajar yang dilatih atau dipersiapkan dan dipilih untuk tugas
mengajar, sedangkan guru Pendidikan Agama Kristen adalah seorang pendidik yang
mengajarkan pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran iman Kristen yang dinyatakan
Tuhan di dalam Alkitab, yang menentukan, mengarahkan, dan membimbing siswa
supaya bertumbuh dalam iman.
Selanjutnya menurut pendapat
Leatha Humes dan Lieke Simanjuntak,
bahwa guru Pendidikan Agama Kristen adalah “Seorang yang dipanggil kepada Tuhan
Yesus Kristus, ditebus dan menjadi murid yang tetap mengikutinya dan belajar
dari-Nya serta ditugaskan untuk membuat anak didik menjadi murid Kristus dan
kemudian mengajar mereka melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan
Tuhan kepadanya.
Berdasarkan pengertian guru
dan Pendidikan Agama Kristen di atas, maka, dapat disimpulkan Guru Pendidikan
Agama Kristen adalah tenaga pengajar atau pelayan yang dipilih dan dilatih
untuk tugas mengajar Pendidikan Agama Kristen. Pengajaran Pendidikan Agama
Kristen merupakan pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran iman Kristen yang ,
dinyatakan Tuhan dalam Alkitab, yang menentukan, mengarahkan, dan guru
membimbing siswa supaya bertumbuh dalam iman yang sungguh-sungguh percaya
kepada Tuhan, serta mewujudkan iman tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.
Guru Pendidikan Agama
Kristen mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan Kristen. Berbicara tentang peranan, perlu
diketahui arti peranan itu secara umum,
yaitu: merupakan pengaruh besar terhadap tindakan yang. ingin dilakukan oleh
seorang individu dalam rangka mengarahkan, membimbing, dan menentukan seseorang
pada suatu pilihan yang mendasari tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan pemahaman di
atas, maka peranan guru Pendidikan Agama Kristen bukan hanya memberikan
pengajaran dan bimbingan di bidang Pendidikan Agama Kristen kepada siswa.
Tetapi tujuan yang ingin di capai adalah untuk mengembangkan dan menumbuhkan
iman, sikap dan tindakan sesuai dengan kesaksian Alkitab di dalam kehidupan
siswa sehari-hari.
Peran guru Pendidikan Agama
Kristen yang ideal di dalam proses belajar -mengajar tidak bergaya otoriter
terhadap secara yang memaksimalkan kehendaknya kepada siswa, dengan hanya
memberikan materi pelajaran tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengeluarkan pendapatnya dan bertanya kepada guru. Hendaknya guru Pendidikan
Agama Kristen berperan sebagai fasilitator yang menciptakan kelas menjadi
wahana atau suasana yang hangat dan nyaman, sehingga terciptanya hubungan yang
harmonis dalam komunikasi antara siswa dengan guru di sekolah. Guru dapat
menjadi orang tua dan sahabat bagi murid, dengan bersikap demikian maka dalam
hidup murid akan berkembang sikap menghormati dan-menghargai serta mengasihi
guru.
Guru
Pendidikan Agama Kristen harus menyadari peranannya yang sangat istimewa itu,
guru dianggap ahli dan dipercayai oleh siswa dalam hal menyampaikan mengajar,
sebab itu guru harus mempunyai pengetahuan cukup tentang isi pokok-pokok iman
Kristen yang terdapat di dalam Alkitab dan mempunyai hasrat sejati untuk
menyampaikan pokok-pokok ajaran Kristen.
Adapun syarat
yang harus dimiliki oleh seorang guru pendidikan Agama Kristen yang berhubungan
dengan peranannya yang sangat penting dalam mengajarkan Pendidikan Agama
Kristen yaitu sebagai berikut :
· Kecakapan
untuk menimbulkan minat bahkan menggembirakan hati siswa dengan pokok yang
diajarkannya.
·
Semangat
pengorbanan diri dan menjadi teladan dalam tugas menyampaikan pokok-pokok pengajaran Kristen kepada siswa.
Guru Pendidikan Agama
Kristen secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab: mengajar, mengasuh dan
membimbing hidup rohani siswa. Guru
Pendidikan Agama Kristen menjadi penafsir iman; yang menguraikan dan
menerangkan kepercayaan Kristen. Gurulah yang menyampaikan harta-harta dari
masa lampau kepada siswa. Dengan demikian guru Pendidikan Agama Kristen
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dalam pendidikan agama bagi siswa,
sebab pendidikan agama tidaklah sama
dengan pelajaran lain di sekolah.
Guru Pendidikan Agama
Kristen bertanggung jawab dan dituntut untuk memiiki keterampilan dalam
menyelami seluruh materi pelajaran dan menghubungkannya dengan nilai -nilai
iman Kristen, sehingga siswa dapat mengembangkan kepribadian yang utuh, dan
mampu mengaplikasikan materi tersebut di dalam kehidupannya sehari-hari.
Guru Pendidikan Agama
Kristen merupakan orang yang memberikan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yesus
Kristus dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Guru, tidak boleh
mengangap bahwa tugasnya mengajar hanya merupakan formalitas saja, terapi guru
harus bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk
membawa siswa kepada pengajaran Tuhan Yesus Kristus yang benar dan sejati.
Dasar
Alkitabiah yang mendorong pelaksanaan tugas dan tanggung jawab guru Pendidikan
Agama Kristen yang terdapat dalam Injil Matius 28:19-20; Karena itu pergilah, jadikan segala bangsa
melalui baktislah mereka dalam Nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarkanlah
mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku
menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman. “Dasar Alkitabiah ini
disebut sebagai Amanat Agung.
Guru
Pendidikan Agama Kristen dalam melaksanakan tugasnya terpanggil untuk bertumbuh
ke arah pengenalan yang semakin mendalam dan lengkap tentang pribadi Tuhan
Yesus yang akan memungkinkan guru Pendidikan Agama Kristen memahami kehendak
Tuhan dalam tugas dan tanggung jawabnya. Membawa siswa dalam kepada pengenalan
yang sejati akan pribadi dan karya Allah dan Tuhan Yesus sebagai jalan
'kebenaran dan hidup (Yohanes 1:18; 14-6)13.
Guru
Pendidikan Agama Kristen bertanggung jawabnya membawa siswa kepada Kristus,
sehingga siswa dapat mengenal dan mempermuliakan serta mengakui dengan lidahnya
bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juruselamat semua umat manusia yang ada di
dunia ini (Filipi 2: 5-ll). Pekerjaan guru Pendidikan Agama Kristen adalah
pekerjaan yang mulia, sebab itu hendaknya guru Pendidikan Agama Kristen tidak
menganggap bahwa pekerjaan itu sebagai pekerjaan sampingan yang dianggap remeh.
Tetapi hendaknya pekerjaan itu merupakan pelayanan yang sungguh-sungguh kepada
Tuhan.
3. Pendidikan Agama Kristen
Pengertian Pendidikan Agama
Kristen secara harfiah dan sederhana adalah pendidikan untuk umat beragama
Kristen, namun tidak hanya itu Pengertian Pendidikan Agama Kristen secara luas,
karena Pengertian Pendidikan Agama Kristen sangat penting untuk kita ketahui
bersama-sama, berikut adalah penjelasan lengkap Pengertian Pendidikan Agama
Kristen:
Pendidikan Agama Kristen
adalah subyek yang berkaitan dengan pengalaman dari peserta didik dan
memberikan kontribusi untuk perkembangan yang sehat mereka yaitu fisik,
emosional, sosial, spiritual, moral dan kognitif. Ini membantu peserta didik
untuk mengidentifikasi kemampuan yang berbeda dan karunia yang diberikan Allah
dan membantu mereka untuk mengembangkan potensi dan kemampuan secara maksimal.
Pengertian Pendidikan Agama
Kristen berasal dari istilah “Christian Education” artinya Pendidikan Kristen,
dan kemudian berkembang menjadi “Christian Religious Education” yaitu
Pendidikan Agama Kristen.
Menurut Homrighausen dan Enklaar menyatakan bahwa:
“Semua pelajar, muda dan tua memasuki
persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri, oleh dan dalam Dia terhisap
pula pada persekutuan Jemaat-Nya yang
mengakui dan mempermuliakan-Nya di segala waktu dan tempat”.[38]
Pendidikan Agama Kristen
membawa semua siswa yang percaya kepada Tuhan untuk terlibat dalam persekutuan
iman sebagai bentuk dari pengakuannya di mana pun ia berada tidak terbatas
waktu dan tempat. Di dalam kehidupan siswa atau semua orang percaya
mempermuliakan Nama Tuhan Yesus. Sehingga melalui persekutuan iman tersebut
siswa menbalami pendewasaan di dalam Tuhan Yesus. Robert R. Boehlke menjelaskan bahwa:
“Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan
yang menyadarkan setiap orang akan Allah dan kasih-Nya dalam Yesus Kristus,
agar dapat mengetahui diri mereka yang sebenarnya, keadaannya, bertumbah
sebagai anak Allah dalam persekutuan Kristen, memenuhi pariggilan bersama
sebagai murid Yesus di dunia dan tetap percaya kepada pengharapan Kristen.”[39]
Berdasarkan
pendapat ahli di atas maka dapat simpulkan bahwa Pendidikan Agama Kristen
adalah merupakan salah satu dari tugas gereja yang sangat penting di lapangan
pendidikan (di lingkungan sekolah dan gereja) dan pengajaran yang bertujuan
untuk membimbing, mengarahkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran iman Kristen
kepada individu (siswa). Pendidikan
Agama Kristen tidak dapat dipandang sebagai pekerjaan sambilan, saja, tetapi
pekerjaan ini sebagai Amanat dari Allah yang mesti dilaksanakan oleh seorang
guru dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati sebagai pelayanan kepada Allah.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang akan digunakan dalam membahas topik ini, antara lain:
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif
atau studi kepustakaan (Librari Research). H. Hadari Nawawi menjelaskan bahwa:
Studi kepustakaan (Library Research) adalah penelitian yang
dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, baik di perpustakaan
sekolah maupun di tempat-tempat lain.
Literatur yang dipergunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi
juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah-majalah, koran-koran, dan
lain-lain.[40]
Kemudian
Imam Suprayoga dan Tobroni
menyatakan bahwa:
Penelitian atau
studi agama yang bersifat normatif bertolak pada paradigma teologi atau iman,
yaitu penelitian yang didasarkan atas kepercayaan atas doktrin/ajaran agama
yang bersumber dari wahyu, dan bertujuan untuk menjelaskan kebenaran atau
mencari yang lebih benar dari agama itu sendiri.[41]
Jadi, jenis penelitian yang digunakan dalam hal ini penullis tidak terjun
langsung di lapangan untuk meneliti, tetapi menghimpun data dari berbagai buku
dalam penulisan karyanya yang didasari atas kebenaran (secara khusus dari
literatur-literatur teologisnya).
B. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang akan digunakan
dalam penelitian ini, antara lain:
1. Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis adalah “pendekatan iman
untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para
nabi-Nya agar kehendak Tuhan dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang
dan waktu.”[42] Kemudian Imam
Suprayoga dan Tobroni, menyatakan:
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pedekatan iman untuk
merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada nabinya agar kehendak Tuhan dapat
dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.[43]
2. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah
mempelajari sejarah umat Yahwe dalam Alkitab dan gereja sejak zaman Kristus.
Imam Suprayoga dan Tobroni menyatakan bahwa:
Pendekatan historis adalah pendekatan yang bertujuan untuk melakukan
periodisasi atau derivasi sebuah fakta dan melakukan proses rekonstruksi
genesis: perubahan dan perkembangan.
Melalui pendekatan ini dapat diketahui asal-usul pemikiran, pendapat,
sikap tertentu dari seorang tokoh atau golongan.[44]
3. Pendekatan Eksegetis
Merupakan
pendekatan yang berurusan dengan penelaahan naskah Alkitab dan pokok-pokok
bahasan yang berkaitan. “Pendekatan eksegetis bertujuan untuk menggali atau
membaca keluar arti suatu dokumen (bukan memasukkan gagasan pribadi ke
dalamnya), dengan menggunakan prinsip-prinsip, hukum dan cara-cara penafsiran.”[45]
4. Pendekatan Psikologis – Sosiologis
Abu Ahmiadi mengungkapkan bahwa:
Pendekatan
psikologis-sosiologis adalah merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru
dan merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menguraikan kegiatan-kegiatan
manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial, seperti situasi
kelompok, situasi masa dan lain sebagainya yang termasuk interaksi antar orang
dan hasil kebudayaannya.[46]
C. Sumber Data dan Teknik
Pengumpulan Data
Sumber
data dan teknik pengumpulan data yang penulis pergunakan dalam pengkajian tema
ini adalah, sebagai berikut:
1. Sumber Data Penelitian
Ada tiga sumber data dan
teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam kajian ini, antara lain:
a. Sumber Data Primer
Merupakan sumber data dan
teknik pengumpulan data yang utama dan terutama, yakni Alkitab. Alkitab Bahasa Indonesia (Terjemahan 1958 dan
1974), King James Version 1611/1769, Textus Receptus 1550, Authorized Version 1769.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber bahan sekunder adalah
“sumber bahan yang berisikan informasi tentang bahan primer.”[47] Yang menjadi sumber data sekunder yang
akan penulis gunakan dalam kajian ini adalah buku-buku referensi,
tafsiran-tafsiran Alkitab, serta buku-buku teologi dan Pendidikan Agama
Kristen.
c.
Sumber Data Tersier
Sumber bahan tersier adalah
“bahan-bahan penunjang seperti kamus, ensiklopedi, konkordansi, lexicon, dan
buku-buku umum lainnya.”[48]
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data/bahan-bahan teologi yang penulis pergunakan dalam membahas tema di atas,
adalah sistem kartu. Kartini Kartono menjelaskan
bahwa:
Sistem kartu adalah
aktivitas ilmiah yang sitematis, terarah dan bertujuan, bukan sekedar
pengumpulan data secara kebetulan tetapimerupakan suatu upaya untuk menghimpun
dengan terencana data-data dan informasi yang relevan dengan topik pembahasan.[49]
D.
Instrumen Penelitian
Instrumen
penelitian dalam kajian ini adalah peneliti sendiri yang langsung terlibat
dalam pengumpulan data sesuai dengan fokus penelitian, menganalisis data-data
yang terkumpul, merefleksikan dan mensistematiskan temuan-temuan yang baru
menjadi sesuatu yang bermakna
sebagaimana mestinya.
E.
Teknik Analisis Data
Dalam
menganalisis kajian ini, penulis akan menggunakan teknik analisis kualitatif-deskriptif dengan logika berpikir deduktif-induktif. Dalam hal ini, H. Hadari Nawawi mengemukakan bahwa: “Analisis
kualitatif-deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang,
lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya.”[50]
[2] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan,
Cet-1, Jakarta, Grasindo, 2007, h. 151
[3] Sufean Hussin, Pentadbiran dalam Pembangunan Pendidikan,
Cet-1, (Bentong-Malaysia: Zafar Sdn, 2005), h. 340
[4] Hilda Karli dan Margaretha Sri
Yuliariatiningsih, Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Cet-2, (Bandung: Bina Media Informasi, 2004), h. 6
[5] B.S. Sidjabat, Ed. D, Mengajar Secara Profesioanal Mewujudkan Visi
Guru Profesional, Cet-1, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009), h. 30
[6] Hilda Karli dkk, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
Cet-1, (Bandung:
Generasi Info Media, 2007), h. 6
[7] B.S. Sidjabat, Ed. D, Mengajar Secara Profesioanal Mewujudkan Visi
Guru Profesional, Cet-1, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009), h. 9
[8] Chris Hartono dkk, Konteks Berteologi di Indonesia, Peny. Eka Darmaputera, Cet-3,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 343
[9] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran
Kristiani, Cet-7, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), h. 133
[10] J.H. Bavink, Sejarah Kerajaan
Allah Jilid 2b Perjanjian Baru, Cet-5, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976),
h. 239
[11] Bambang Subandrijo, Menyingkap
Pesan-pesan Perjanjian Baru, Cet-1, (Bandung: Bina Media Informasi, 2010),
h. 33
[14] J. H. Bavinck, Sejarah Kerejaan Allah 2: Perjanjian Baru, Cet-10, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), h. 723
[16] J. H. Bavinck, Sejarah Kerejaan Allah 2: Perjanjian Baru, Cet-10, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), h. 728
[17] J. Wesley Brill, Tafsiran Surat
Korintus Pertama, Cet-4, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1998), h. 15
[18] Steve Miller, Extreme Journey:
Menimba Pengalaman Yang Lebih Dalam, pen. Tammy Tiarawati Rusli, Cet-1,
(Jakarta: Immanuel, 2006), h. 90
[19] Charles Ludwig, Kota-kota pada
Zaman Perjanjian Baru, Cet-5, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), h. 41
[20] Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan
Pokok-pokok Teologisnya, Cet-1, (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), h.
134
[21] Donald Guthrie, Pengantar
Perjanjian baru: Volume 2, pen. Hendry Ongkowidjojo, Cet-1, (Surabaya:
Momentum, 2009), h. 27
[23] William Barclay, penj. Pandu Wiguna Bone, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Kisah Para Rasul, Cet-1, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007), h. 200-201
[24] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi
Alkitab: ROMA sampai dengan WAHYU, pen. Sastro Soedirjo, Ed. 8, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), h. 43 [25] Adina Chapman, Pengantar Perjanjian Baru, (Bandung: Yayasan kalam Hidup, 1980), h.
62-63
[26] Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip
dan Metode Penafsiran Alkitab, Cetakan Ketujuh, (Malang: SAAT, 1998), h.
205.
[27] Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip
dan Metode Penafsiran Alkitab, Cetakan Ketujuh, (Malang: SAAT, 1998), h.
205.
[28] Henk Venema, Kitab Suci Untuk Kita,
Ed.1, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 2008), h. 75
[29] S. Wojowasito, WJS.
Poerwadarminto, Kamus Bahasa Inggris
Indonesia-Indonesia Inggris, (Bandung:Hasta, 1982,) h. 162
[30] Sayoga, Kamus Indonesia Kontemporer, (Bandung:
Karya Nuasantara, 1985),
h. 92
[32] M. Surya, et.all, Kapita Selekta Kependidikan SD , (Jakarta:
Universetas Terbuka, 2003), h. 45
[34] Sadirman A. M, Interaksi dan Motifasi Belajar , (Jakarta:
Rajawali Pres, 1991),
h. 131
[35] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: 1993), h. .105
[37] Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
[38] Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Cet-21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), h. 26
[39] Robert R. Boehlke, Sejarah
Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Cet-2, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), h. 746
[40] H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1995), h. 30.
[41] Imam Suprayoga dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, (Bandung:
Remaja Rosada Karya, 2001), h. 20.
[42] Ichwei G. Indra, Teologi
Sistematika: Pengetahuan Lanjutan Bagi Kaum Awam dan Anggota Gereja, (Lembaga
Literatur Baptis, 1999). h. 15-16.
[43] Imam Suprayoga dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, (Bandung:
Remaja Rosada Karya, 2001), h. 15-16.
[44] Imam Suprayoga dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, (Bandung:
Remaja Rosada Karya, 2001), h. 65-66.
[45] Hasan Sutanto, Hermeneutik:
Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Cet. Ke-3, (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1998), h. 3.
[46] Abu Ahmiadi, Psikologi Sosial, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 7.
[47]Soeryono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 29.
[49] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju
Press 1996), h. 76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar