A.
FIRMAN ALLAH
Dalam kehidupan
sehari-hari tentu hal ini sering di pertanyakan. Apa itu Firman Allah? Secara dogmatis,
Alkitab adalah Firman Allah. Orang Kristen percaya bahwa Alkitab adalah Firman
Allah yang memiliki kewibawaan tertinggi atas kehidupan orang-orang Kristen.
Roh Kudus bekerja dalam diri warga gereja, sehingga orang Kristen membaca dan
mendengar isi Alkitab selaku Firman Allah.
Pemahaman dan
pemberlakuan Firman Allah dalam kehidupan orang Kristen selalu berkaitan dengan
apa arti dan tujuan teks Alkitab (Firman Allah) pada waktu dituliskan, dan apa
arti dan tujuannya bagi konteks dan situasi kita sekarang.
Theol Dieter Becker dalam bukunya mempunyai pendapat bahwa “Firman berarti bahwa Allah sebagaimana melalui pemberitaan, demikian juga melalui sakramen memberi perhatian kepada manusia dan memanggilnya ke dalam persekutuan dengan Dia”.[1] Di saat ini Alkitab sebagai suatu catatan suara Allah, seperti yang diungkapkan oleh S. Wismoady Wahono “Alkitab adalah buku di atas segala buku. Alkitab adalah kitab yang suci yang berisi Firman Tuhan dan wahyu Tuhan”.[2]
Theol Dieter Becker dalam bukunya mempunyai pendapat bahwa “Firman berarti bahwa Allah sebagaimana melalui pemberitaan, demikian juga melalui sakramen memberi perhatian kepada manusia dan memanggilnya ke dalam persekutuan dengan Dia”.[1] Di saat ini Alkitab sebagai suatu catatan suara Allah, seperti yang diungkapkan oleh S. Wismoady Wahono “Alkitab adalah buku di atas segala buku. Alkitab adalah kitab yang suci yang berisi Firman Tuhan dan wahyu Tuhan”.[2]
R. Soedarmo menyatakan
“Yang memfirmankan Kitab
Suci ialah Allah sendiri, maka kekuasaan yang ada di dalam Kitab Suci ialah
kekuasaan Allah sendiri. Roh Suci menyertai Kitab Suci. Maka dari itu Kitab
Suci berkuasa dan bisa berbuat mujizat-mujizat, kekuatan Firman Allah memecah hati orang yang keras, membuka mata
orang hingga dapat melihat pernyataan Allah maka dari itu melihat Allah sendiri”.[3]
Melalui Firman inilah Allah ingin manusia
mengenal Dia
dengan benar.
Dalam bukunya Willian Dyrness memberikan suatu pandangan terhadap
Allah, yaitu “Kita telah memperhatikan bahwa Allah tidak pernah perlu
memperhatikan keberadaan-Nya ketika Ia menampakkan diri-Nya. Dia adalah Allah, maka yang ia lakukan tetap
melaksanakan rencana-rencana-Nya. Allah tidak hanya memanggil kita untuk memahami sabda-Nya, melainkan memerintah
kita untuk menaati suara-Nya melalui Firman Allah”.[4]
Theodore Beza mengungkapkan “On this
subject we call the Word Of God (for we know well that the Eternal Son of God
is also so named) the canonical books of the Old and New Testament, for they
proceed from the mouth of God Himself”.[5]
(pada pokok ini kita menyebut kata Tuhan (untuk kita mengetahui dengan baik bahwa Putra Tuhan Yang
abadi adalah juga disebutkan dalam buku kanonik dari Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, karena mereka menghasilkan dari mulut Tuhan Sendiri). Dalam penjelasan
ini R. B. Kuiper mengatakan “
Everything in them what is the man need to their live in the earth. Scripture
were clear and plainly teaches the reality of the redecmption”.[6]
(Kitab Suci adalah kudus dan segala sesuatu ada di dalamnya apa yang di
butuhkan manusia yang hidup di bumi Kitab suci tersebut jelas dan secara
sederhana mengajarkan penebusan yang secara nyata).
Jika manusia ingin tahu
dan mengenal Allah, haruslah ia membaca dan merenungkan Alkitab, karena Alkitab
adalah Firman Allah. Dan tanpa bimbingan Roh Kudus kita tidak dapat tahu
tentang ini. Hal ini di perkuat dari perkataan J. Verkuyl yang menyatakan “Satu-satunya yang dapat meyakinkan kita
bahwa Alkitab itu adalah Firman Allah, ialah Roh Kudus yang memimpin
penulis-penulis Alkitab. Allahlah yang dapat dan yang mau meyakinkan kita,
bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang dapat dipercaya sehingga dengan Alkitab
itu kita dapat mengenal Tuhan, mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan Yesus
Kristus”.[7]
Untuk memperkuat hal itu,
kita lihat pernyataan dari Harun
Hadiwijono yang mengungkapkan “ Sebagai kesaksian Firman Allah yang sejati,
adalah Firman Allah, yang dipakai oleh Tuhan Allah untuk berfirman kepada
kita”.[8]
Akhirnya,
seperti yang dikatakan Katekismus, “Alkitab membuktikan dirinya sendiri sebagai
Firman Allah dengan doktrin-doktrinnya yang sorgawi, keutuhan dari
bagian-bagiannya dan kuasanya untuk mempertobatkan orang-orang berdosa dan
menyempurnakan orang-orang saleh”
B.
ZAT ALLAH
Allah
hanya dapat dikenal oleh Allah sendiri. Segala pengetahuan yang sejati yang
dapat dipercaya tentang Allah, hanyalah berdasarkan penyataan Allah sendiri.
Tidak seorang pun dapat memaksa Allah, supaya Ia menyatakan diri. Penyataan
atau wahyu adalah penyingkapan tentang diri Allah yang berdaulat dan yang tak
bergantung kepada siapapun.
Henry C. Thiessen dalam bukunya
memberikan masukan tentang Zat Allah bahwa “Kata zat dan hakikat praktis
sinonim bila dipakai untuk Allah. Istilah ini menunjuk kepada aspek dasar dan
sifat dasar Allah. Jika kita berbicara tentang Tuhan, sama halnya berbicara
mengenai hakikat, zat, dan bukan sekedar suatu gagasan atau personifikasi
gagasan tertentu”.[9]
Selain itu Louis Berkhof juga
memberikan pandangan “Dari kesederhanaan Allah kita ketahui bahwa Allah dan
atribut-atribut-Nya adalah satu. Atribut-atribut Allah tidak boleh dianggap sebagai
banyak bagian yang membentuk suatu susunan, sebab Allah tidak seperti manusia
yang terdiri atas banyak bagian. Bahwa atribut-atribut Allah hanya satu, yang
membentuk satu susunan yang sempurna, tidak juga seperti manusia yang terdiri
atas banyak bagian”.[10]
Jelas bahwa zat dan
hakikat merupakan satu kata yang bersinonim. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Zat merupakan pokok isi sesuatu, sesuatu
yang menyebabkan
sesuatu menjadi ada”.[11]
Akan tetapi zat yang ada pribadi Allah bukan zat yang di maksud dalam hal
tersebut yang sering dikaitkan dengan zat bendawi melainkan suatu benda rohani.
Timbulnya perbedaan ini sama halnya dengan Allah dalam Perjanjian Lama berbeda dengan Allah
dalam Perjanjian Baru, dan gagasan semacam ini sangat keliru. Allah adalah satu dan
memiliki tiga kepribadian (Trinitas) yakni Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh
Kudus.
Dalam Pengakuan Iman Gereja Perancis Pasal I
diuraikan bahwa “Kita percaya dan mengaku bahwa ada satu Allah yang Esa; satu
zat yang Esa; dan sederhana, yang rohani, kekal dan tidak kelihatan, tidak
berubah-ubah, tidak terhingga, tidak terpahami, tidak terkatakan, yang dapat
melakukan segala sesuatu, yang berhikmat sempurna, maha baik, maha adil dan
maha murah”.[12]
Zacharias Ursinus mengatakan bahwa “God
is Everything in this world. He is never can to see with our visible as a human
being. But God is an essence perfect from the beginning and eternity. Essence
of God not depends upon anything else, but exists of Himself alone”.[13]
(Tuhan adalah segala-galanya di dunia ini, Dia tidak pernah bisa dilihat oleh mata jasmani kita
sebagai ciptaan-Nya. Tetapi zat Allah adalah sempurna dari dahulu sampai kekal. Zat
Allah tidak bergantung atas apapun yang lain tetapi Dia ada pada diri-Nya sendiri.)
Manusia dapat melakukan
banyak kejahatan yang tersembunyi namun tanpa disadari bahwa Allah mengetahui
semua rencana pikiran manusia sebab Allah hadir disegala tempat yang tidak dapat
dibatasi oleh ruang dan waktu. Dan bagi Allah segala sesuatu terbuka bagi mata-Nya (Ibrani 4:13). William W. Menzies juga mengatakan
bahwa “Allah tidak dibatasai oleh tempat. Ia hadir dengan bermacam-macam cara
yang menakjubkan”.[14]
Selanjutnya seperti
pernyataan di atas, Henry C. Thiessen
mengatakan bahwa “Sifat-sifat Allah berbeda dengan zat Allah atau hakikat
Allah. Dan merupakan sifat-sifat yang terdapat dalam zat dan juga merupakan
gambaran yang analistis dan lebih terinci dari zat Allah tersebut”.[15]
C.
NAMA-NAMA ALLAH
Orang-orang
membuat suatu pengertian tentang Allah dan itulah yang mereka namakan Allah.
Mereka menciptakan suatu Allah, yakni hasil suatu uraian logis yang mereka
bangunkan. Anehnya ialah bahwa dalam Alkitab tidak ada sedikitpun keterangan
semacam itu tentang adanya Allah. Memang Alkitab tidak menyukai keterangan
semacam itu. Allah, yang diterangkan dan dibuktikan dengan pikiran manusia,
bukanlah Allah sejati.
Louis Berkhof mengungkapkan
bahwa “Nama-nama Allah membawa kesulitan bagi pemikiran manusia. Allah adalah
Ia yang tidak dapat sepenuhnya di pahami, yang di tinggikan secara tidak
terbatas diatas sesuatu yang terbatas; akan tetapi di dalam nama-namaNya Ia
turun kepada semua yang terbatas, dan menjadi setara dengan manusia”.[16]
Penjelasan tentang Nama
Allah, Ichwei G. Indra juga mengemukakan
bahwa “Nama Allah seperti Yahweh (Yehovah), Nama itu berasal dari kata kerja
Ibrani Haya (ada) yang berarti yang
ada dengan sendirinya atau yang menjadikan ada, Nama ini sering diterjemahkan
Tuhan (Adonia) yang dicetak huruf besar”.[17]
R. Soedarmo manusia tidak dapat
memberikan nama kepada Allah, oleh karena manusia tidak mengenal akan Tuhan.
Nama-nama yang diberikan agama-agama adalah pemberian manusia. Tapi Tuhan
berkenan untuk memberikan nama-nama bagi diri-Nya sendiri di dalam pernyataan-Nya kepada manusia.[18]
G. H. Versten mengatakan bahwa “The
name of God to show for us as His creature His power, wisdom, Godness, justice,
mercy and truth and His name may never be blasphemed, but ruther honored, and
praised on our account”.[19]
(Nama Tuhan menunjukkan kepada kita sebagai makhluk ciptaan, kekuatan-Nya hikmat, kebaikan,
keadilan, kemurahan, dan kebenaran-Nya dan nama-Nya tidak pernah bisa disangkal, tetapi harus dihormati dan dimuliakan).
Yakub B. Susabda dalam bukunya
mengungkapkan bahwa “Alkitab menyaksikan bahwa Nama Allah adalah penyingkap
dari Allah yang secara aktif memberikan diri-Nya dikenal sebagaimana Ia kehendaki”.[20]
Adapun pembagian
nama-nama Allah yakni:
1. Elohim
Menurut Charles
C. Ryrie,”artikata Elohik tergantung dari asal katanya. Beberapa orang
mengerti bahwa kata ini datang dari sebuah akar kata yang mempunyai arti takut,
dan menunjukkan bahwa ke-Allahan harus ditakuti, dihormati dan disembah”.[21]
Nama ini merupakan nama Allah yang disembah, dihormati. Nama Allah menunjukkan
kebesaran dan kekuatan-Nya, nama Allah itu tinggi dan mulia (kej. 14:19-20; Bil. 24:16;
Yes. 14:14).
2. Yahweh
Louis
Berkhof dalam bukunya menjelaskan “Terutama dalam
nama “YAHWEH” yang perlahan-lahan menggantikan nama-nama yang lain inilah Allah
yang mengatakan diri-Nya sebagai Allah anugerah. Nama ini dianggap sebagai nama yang
paling sacral dan paling diagungkan diantara nama-nama yang lain”.[22]
Pengertian mengenai nama Allah ini yakni nama Allah yang paling Agung dan yang
menyatakan diriNya sebagai Allah Anugerah.
3. Adonai
Nama Adonai menurut Louis Berkhof “Nama Adonai sangat erat hubungannya dengan nama El,
Elohim, atau Elyon. Kata Adonai mungkin diturunkan dari dun (din) atau adan yang keduanya berarti menghakimi,
memerintah dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai penguasa yang
kuat, kepada siapa semuanya harus berhadapan dan kepadanya manusia adalah
hamba”.[23]
Nama ini merupakan penguasa yang kuat, sebagai yang memerintah san menghakimi
setiap orang yang bersalah dihadapan-Nya.
4. Allah (Theos)
Menurut Charles
C. Ryrie “Teos adalah penunjukkan yang paling sering tentang Allah di dalam
Perjanjian Baru, dan terjemahannya paling umum dalam septuaginta bagi Elohim.
Kata ini hampir selalu menunjuk kepada satu Allah yang benar walaupun
kadang-kadang dipakai juga untuk ilah-ilah kafir dalam laporan tentang
kekafiran atau oleh orang Kristen yang menolak allah-allah palsu tersebut”.[24]
Herman Bavinck mengatakan
“God’s name, all that which can be known of God by victure of His revelation is
called by scripture. God’s name as we finsthen in the scripture are not the
revelation of His being, but only God make revelation to custaturs His name”.[25]
(Nama-nama Tuhan semua dapat diketahui oleh karena kebaikan Tuhan terhadap
penyertaan-Nya
yang dinyatakan melalui Kitab Suci bukan berdasarkan lewat makhluk ciptaan
tetapi Ia sendiri yang menyatakan nama-Nya kepada ciptaan-Nya).
D.
ATRIBUT-ATRIBUT ALLAH TIDAK DIUMUMKAN
Istilah
“atribut disini sebenarnya bukanlah merupakan istilah yang ideal, sebab istilah
ini bisa ditafsirkan berarti menambahkan atau memberikan sesuatu kepada
seseorang, sehingga mungkin saja orang berpikir bahwa kita dapat menambahkan
suatu atribut kepada Allah. Sebenarnya, istilah ini lebih cocok dipakai “property” sebab istilah ini dapat
menunjukkan kepada Allah, dan hanya kepada Allah saja. Dengan perbuatan
demikian kita: mengikuti penggunaan yang ada dalam Alkitab, yang memakai
istilah “arete” yang menunjuk pada
arti kebaikan-kebaikan-Nya tidaklah ditembahkan sesuatu pada jati diri Allah:
akan tetapi karena keberadaan-Nya adalah Pleroma
dari segala kebaikan-kebaikan-Nya dan menyatakan keadaan-Nya sendiri. Istilah
ini dapat diartikan sebagai kesempurnaan-kesempurnaan yang dipakai untuk menerangkan
jati diri Ilahi dalam Alkitab atau yang secara nyata dilakukan oleh-Nya dalam
karya penciptaan, pemeliharaan dan keselamatan dari Allah. Kalau kita tetap
memakai istilah “atribut-atribut”, itu semata-mata karena istilah itu sudah
dipakai secara umum dan dengan sesuatu pemahaman yang mendalam bahwa pengertian
‘menambahkan sesuatu kepada Ilahi’ sama sekali tidak terkandung dalam pemakaian
istilah “atribut-atribut” di sini.[26]
Atribut-atribut Allah
dapat dibedakan atas dua bagian yakni atribut-atribut Allah yang diumumkan dan
yang tidak diumumkan. Atribut Allah adalah suatu yang khusus yang terdapat di
dalam kepribadian Allah yang tidak diketahui oleh manusia. James P. Boyce mengatakan “The attributes of God are those
partycularities which mark or define the mode of his existence, or which
constitute his character”.[27]
(Atribut-atribut Tuhan adalah atribut yang sangat khusus yang menandai
keberadaan atau kesatuan intelek-Nya).
J. Wesley Brill, menyatakan “Roh adalah
suatu oknum yang tidak terlihat oleh kita dan yang tidak berbentuk atau
berwujud. Roh itu tidak mempunyai batasan seperti manusia, jadi kalau kita mengatakan Allah
itu Roh, berarti Allah tidak ada rupa-Nya. Tidak bertubuh seperti kita, tidak terlihat
oleh kita seperti sekarang. Tuhan Allah dapat dituliskan atau dibatasai dengan
Roh atau Jiwa kita”.[28]
Tentang atribut ini, Loraene Boetner
mengatakan “In attributes of God always named as essence of God. Attribute of
God profidential control everything. So intimate is His relationship with the
wols creation”.[29]
(Di dalam atribut-atribut Allah selalu disebutkan juga keberadaan Allah.
Atribut Tuhan selalu memelihara dan mengatur segala sesuatu, jadi itu
berhubungan dengan seluruh ciptaan-Nya).
Louis Berkhof mengatakan
“Ketidakberubahan Allah
adalah sebuah pengiring yang penting bagi keadaan-Nya yang bermula dari diri-Nya sendiri. Ketidakberubahan ini adalah
kesempurnaan dari Allah, yang dengannya Ia tidak mengalami perubahan bukan saja
dalam keberadaan-Nya, tetapi juga dalam segala kesempurnaan-Nya dan dalam tujuan
serta janji-janjiNya dalam kebaikan dari sifat ini Ia ditinggikan di atas
segala-galanya. Dan terbebas sepenuhnya dari segala yang mengucilkan-Nya atau dari segala
pertumbuhan dan penyusutan dalam keberadaan dan kesempurnaan-Nya”.[30]
J. Fraanje mengatakan “We call the
divine attributes various names because of our limited understanding and because
they have a remote resemblance to God’s perfections repecting His creatures.
For that reason we speak of five incommunicable attributes, namely: 1st.
independency, 2nd. Simplicity, 3rd. eternity, 4th.
Omnipresence, and 5th. Immutability of God”.[31]
(Kita menyebutkan berbagai nama atribut-atribut yang Ilahi karena keterbatasan
pengertian kita dan karena atribut-atribut tersebut memiliki kemiripan terhadap
kesempurnaan Tuhan yang sangat dihormati oleh makhluk ciptaan-Nya. Untuk itu berbagai
alasan kita berbicara tentang lima atribut-atribut yang tidak diumumkan, yakni:
Pertama kebebasan, kedua kesederhanaan, ketiga keabadian, keempat mahahadir,
dan kelima ketidak berubahan Tuhan).
Atribut-atribut Allah
tidaklah dapat dibedakan dari kebenaran. Allah itu tidak mungkin dibedakan
dengan keberadaan manusia. Allah itu adalah Kudus, Mahakuasa, dan Mahahadir di
segala tempat.
Geerhardus Vos memberikan
pandangan “Among the attributes distinguished there is no attempt at
justification. Isa. 5:15, two aspects of the divine manifestation two-words man
are distinguished, the transcendental one, in virtue of which God dwells on
high, and the condescending one, in virtue of which He bends down and dwells
with the humble ones of His servants”.[32]
(Di antara atribut-atribut tidak dapat dibedakan pada kebenaran. Yes. 5:15, dua
aspek penjelmaan yang Ilahi dua kata manusia yang dibedakan yang sangat berbeda
satu sama yang lain, di dalam kebaikan Tuhan berada di atas dan di dalam-Nya juga berada di bawah
dan menjadi rendah untuk menjadi hamba).
Paul E. Litte mengatakan “Tetapi Allah
itu Mahahadir dan juga berada di luar jangkauan pemikiran manusia. Maksudnya
adalah kehadiran dan kuasa-Nya meliputi seluruh ciptaan-Nya. Ia tidak memisahkan Diri dari dunia, tidak
hanya menjadi penonton dari apa yang dijadikan-Nya”.[33]
Allah
adalah Roh, Tak terbatas, Kekal dan tak berubah, dalam Kebijaksanaan, Kuasa,
Kesucian, Keadilan, Kasih dan Kesediaan-Nya. Tuhan sendiri menyatakan diri-Nya
dan berkata: Bahwasanya Aku, Tuhan tidak berubah. Katekismus telah mengajarkan
kita untuk memikirkan Allah dengan kedua cara tersebut. Kita melihat hal ini,
tanpa menggambarkan keberadaan Allah, sebab ini memang salah. Sekarang kita
memahami betapa Allah memiliki sejumlah atribut (Karakteristik atau Kualitas,
sementara manusia serba terbatas, Allah itu kekal sementara manusia fana. Allah
itu tidak berubah sementara manusia berubah). Dengan kata lain bijaksana yang
tak terbatas, Kekal, dan tak berubah. Sikap Allah akan selalu tetap oleh karena
batur-Nya yang sempurna.
BIBLIOGRAFI
Baze, Theodore., The
Christian Faith. England; Fokus Christian Ministries Trust. 1992.
Bavinck, Herman., The Doctrins of God. The banner. Pansilvania. USA. 1997.
Becker, Theol Dieter., Pedoman Dogmatika. Bpk. Gunung Mulia. Jakarta. 1996.
Berkhof,
Louis., Teologi Sistematika – Doktrin Allah.
pen. Yudha Thianto. Momentum. Surabaya. 2008. vol-1.
Boetner, Loraene., The Reformed Doctrine, Philipsburg, USA, 1932.
Boyce, James P., Abstract
Of Systematic Theology, t.p., t.k., 1887.
Brill, J. Wesley., Dasar Iman Yang Teguh, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, t.t..
Dyrness, Willian., Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Gandum Mas. Malang. t.t..
End, Th. Van den., (peny.), Enam Belas Dokumen Calvin. Cet-2. Gunung Mulia. Jakarta. 2002.
Fraanje,
J., “Striving Together” In The Divine
Truths Of Scripture, Second Printing, America; Printed In The United, 1987.
Hadiwijono, Harun., Iman Kristen. Cet-18. Bpk. Gunung Mulia. Jakarta. 2007.
Indra,
Ichwei G., Teologi Sistematika:
Pengetahuan Lanjutan Bagi Kaum Awam dan Anggota Gereja. Lembaga Literatur
Babtis. Bandung. 1999.
Kuiper, R. B., God
Centred Evangelism. Pennsylvania; The Banner of Truth Trust. 1994.
Litte, Paul E., Kutahu
Yang Kupercaya. Cet-3. Yayasan Kalam Hidup. Bandung. 2000.
Menzies, William W., Doktrin Alkitab. Cet-4. Gandum Mas. Malang. 1998.
Pusat
Pembinaan Dan Perkembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka. Jakarta. 1997.
Ryrie, Charles C., Teologi dasar. Yayasan Andi. Yogyakarta. 1991.
Soedarmo, R., Ikhtisar
Dogmatika. Bpk. Gununga Mulia. Jakarta. 1985.
Susabda, Yakub B., Mengenal dan Bergaul Dengan Allah. Cet-1. Gospel Press. Batam.
2001.
Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika. Cet-4. Gandum Mas. Malang. 1997.
Ursinus, Zacharias., The Commentary Heidelberg Catechism. Newjersey. USA. 1852.
Verkuyl, J., Aku
Percaya. Bpk. Gunung Mulia. Jakarta. 1995.
Versten, G. H., The
Haidelberg Cathecism. Nederland Reformed. 1992.
Vos,
Geerhardus., Biblical Theology. Reset
For The Ninth Printing. Minchigan; Grand Rapids. 1975.
Wahono, S. Wismoady., Di sini Kutemukan. Bpk. Gunung Mulia. Jakarta. 1986.
[1]Theol Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, Bpk. Gunung Mulia,
Jakarta, 1996. h. 158.
[2]S. Wismoady Wahono. Di sini Kutemukan. Bpk. Gunung Mulia,
Jakarta, 1986. h. 17.
[3]R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, Bpk. Gununga Mulia,
Jakarta, 1985. h. 51.
[4]Willian Dyrness, Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama,
Gandum Mas, Malang, t.t.. h. 23.
[5]Theodore Baze, The Christian Faith, England; Fokus
Christian Ministries Trust, 1992. h. 40.
[6]R. B. Kuiper, God Centred Evangelism, Pennsylvania;
The Banner of Truth Trust, 1994. h. 13.
[7]J. Verkuyl, Aku Percaya, Bpk. Gunung Mulia, Jakarta,
1995. h. 24.
[8]Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Cet-18, Bpk. Gunung Mulia,
Jakarta, 2007. h. 421.
[9]Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, Cet-4, Gandum Mas,
Malang, 1997. h. 113.
[10]Louis Berkhof, Teologi Sistematika – Doktrin Allah,
pen. Yudha Thianto, Momentum, Surabaya, 2008, vol-1: h.. 61.
[11]Pusat Pembinaan Dan
Perkembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. h.
1155.
[12]Th. Van den End,
(peny.), Enam Belas Dokumen Calvin,
Cet-2, Gunung Mulia, Jakarta, 2002. h. 2.
[13]Zacharias Ursinus, The Commentary Heidelberg Catechism,
Newjersey, USA, 1852. h. 125.
[14]William W. Menzies, Doktrin Alkitab, Cet-4, Gandum Mas,
Malang, 1998. h. 54.
[15]Henry C. Thiessen, op. cit., h. 120.
[16]Louis Berkhof, op. cit., h. 68.
[17]Ichwei G. Indra, Teologi Sistematika: Pengetahuan Lanjutan
Bagi Kaum Awam dan Anggota Gereja, Lembaga Literatur Babtis, Bandung, 1999.
h. 53.
[18]R. Soedarmo, op. cit., h. 83.
[19]G. H. Versten, The Haidelberg Cathecism, Nederland
Reformed, 1992. h. 651.
[20]Yakub B. Susabda, Mengenal dan Bergaul Dengan Allah,
Cet-1, Gospel Press, Batam, 2001. h. 194.
[21]Charles C. Ryrie, Teologi dasar, Yayasan Andi, Yogyakarta,
1991. h. 61.
[22]Louis Berkhof, op. cit., h. 71.
[23]Ibid, h. 70.
[24]Charles C. Ryrie, op. cit., h. 65.
[25]Herman Bavinck, The Doctrins of God, The banner,
Pansilvania, USA, 1997. h. 85.
[26] Louis
Berkhof, op. cit., h. 77.
[27]James P. Boyce, Abstract Of Systematic Theology, t.p.,
t.k., 1887. h. 65.
[28]J. Wesley Brill, Dasar Iman Yang Teguh, Yayasan Kalam
Hidup, Bandung, t.t.. h. 32.
[29]Loraene Boetner, The Reformed Doctrine, Philipsburg, USA,
1932. h. 39.
[30]Louis Berkhof, op. cit., h. 92.
[31]J. Fraanje, “Striving Together” In The Divine Truths Of
Scripture, Second Printing, America; Printed In The United, 1987. h. 31.
[32]Geerhardus Vos, Biblical Theology, Reset For The Ninth
Printing, Minchigan; Grand Rapids, 1975. h. 238.
[33]Paul E. Litte, Kutahu Yang Kupercaya, Cet-3, Yayasan
Kalam Hidup, Bandung, 2000. h. 30.