aMSaL

BaGi DuNia KiTa HaNYaLaH SeSeoRaNG, BaGi SeSeoRaNG KiTaLaH DuNiaNYa

Senin, 07 Maret 2016

Perjanjian Kerja, Kejatuhan Manusia, Dosa Keturunan, Dosa Perbuatan dan Hukuman Allah atas dosa



a.    Perjanjian Kerja
       Di dalam berbicara tentang kovenan atau perjanjian adalah cara utama dalam Alkitab untuk melukiskan hubungan antara Allah dan umat-Nya dan kadang-kadang dengan umat manusia pada umumnya. Meskipun banyak hubungan horisontal dilukiskan sebagai perjanjian kovenan, namun konsep Alkitab tentang kovenan berfokus terutama pada kovenan antara Allah dan manusia.
       Thomy J. Matakupan & Julio Kristano menjelaskan demikan,
Di dalam Perjanjian Lama, kata yang kemudian diterjemahkan sebagai “kovenan” adalah berit, sedangkan dalam Perjanjian Baru menggunakan istilah diatheke. Konsep kovenan muncul di dalam peristiwa penciptaan. Memang perlu diakui bahwa istilah itu sendiri tidak ada di dalam tiga pasal pertama Alkitab; namun demikian, ide tentang perjanjian sangat kuat muncul di sana. Apakah yang dimaksud dengan “kovenan”? kovenan adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk sesuatu hal tertentu dengan menetapkan berbagai persyaratan. Di dalamnya terdapat janji pahala bagi ketaatan dan hukuman bagi ketidaktaatan atau pelanggaran. Kovenan ini disebut sebagai “Kovenan kerja” karena adanya kondisi kerja yang ditetapkan bersama. Kerap juga disebut sebagai “Kovenan Kehidupan” karena berisi janji kehidupan, atau “Kovenan Legal” karena adanya tuntutan ketaatan sempurna kepada hukum Allah.[1]
       Istilah tentang kovenan tidak muncul dalam tiga pasal pertama, tetapi perlu diketahui bahwa ketika pembaca membaca ketiga pasal tersebut di sana konsep perjanjian sangat nampak atau kuat, sehingga dengan jelas dapat dikatakan bahwa kovenan itu adalah kesepakatan antara dua pihak yang disertai dengan aturan yang harus diikuti dengan sempurna karena yang memberi hukum itu sendiri adalah sempurna.
       Louis Berkhof menyatakan bahwa:
Pembicaraan tentang keadaan manusia mula-mula atau status integritatis tidaklah lengkap tanpa membicarakan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia, dan terutama asal mula dan natur religius manusia. Hidup berakar pada perjanjian ini (covenant). Demikian pula hidup orang kristen pada zaman sekarang, dan perjanjian ini sering dikenal sebagai perjanjian alam, perjanjian hidup, perjanjian Eden dan perjanjian kerja. Istilah perjanjian alam dulu banyak dipakai, lama kelamaan tidak dipakai lagi sebab nama ini bisa memberikan kesan bahwa perjanjian ini hanyalah bagian dari hubungan alamiah di mana manusia berdiri di hadapan Allah. Perjanjian hidup dan perjanjian Eden tidak cukup dan dapat juga dimasukan dalam perjanjian anugerah, dan juga dimulai di Eden (Kej 3:15). Karena itu nama “Perjanjian Kerja” (covenant of works) lebih dapat diterima.[2]

       Di sana dikatakan bahwa tidaklah lengkap apabila hanya berbicara tentang keadaan manusia mula-mula tanpa membicarakan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia, dan terutama asal mula dan natur religius manusia. Hubungan yang mula-mula antara Allah dan umat-Nya dianggap sebagai bersifat “alamiah”. Maksudnya Allah dianggap sebagai dewa suku, hampir-hampir bagaikan lambang dari suku tersebut. Iman yang mula-mula ini menjadi matang pada zaman nabi klasik. Mereka menambahkan unsur etik dalam agama, pada saat itu dimengerti sebagai suatu “perjanjian” antara Allah dan umat-Nya. Pemahaman ini dikembangkan dalam kehidupan Israel yang mula-mula.
       G. J. Baan menyatakan bahwa:
Adam juga adalah kepala kovenan kerja. Kovenan ini menyatakan bahwa jikalau Adam menuruti perintah percobaan Allah, ia akan diberi kebahagiaan kekal oleh karena ketaatan itu [itulah sebabnya kovenan ini disebut kovenan kerja]. Sebaliknya, jika dia melanggar, ia juga akan menanggung kematian kekal sebagai hukumannya. Karena adam adalah kepala kovenan kerja, perbuatan-perbuatannya akan membawa dampak bagi seluruh umat manusia. Jelas bahwa semua manusia terisap di dalam Adam, dan oleh sebab itu perbuatan-perbuatannya akan membawa dampak bagi semua manusia (seperti yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Roma 5:12-21).[3]
       Allah mengadakan perjanjian dengan Adam agar Adam hidup dalam kesempurnaan dan memuliakan Allah. Akan tetapi Adam tidak hidup dalam perjanjian itu ia lebih memilih untuk melawan Allah dengan melanggar perjanjian yang diberikan oleh Allah, sehingga oleh ketidaktaatannya ia berada di bawah murka Allah, bahkan semua keturunannya berada di bawah murka Allah sebagai akibat dari ketidaktaatan Adam.
J. Fraanje: Adam was created by God in the state of rectitude. He was made in the image of God and was perfect. He was the “head” of all persons that would be born after him. But besides the fact that he was the father of the whole human race, God made a covenant with him and appointed him head of that covenant; that is to say, he represents all mankind. In this way God, through Adam, establishes the covenant with all people yet to come.[4] Adam diciptakan oleh Allah dalam keadaan kejujuran. Dia diciptakan menurut gambar Allah dan sempurna. Ia adalah "kepala" dari semua orang yang akan lahir setelah dia. Namun selain fakta bahwa ia adalah ayah dari seluruh umat manusia, Tuhan membuat perjanjian dengan dia dan dia diangkat kepala perjanjian itu; artinya, dia mewakili seluruh umat manusia. Dengan cara ini Allah, melalui Adam, mengatur perjanjian dengan semua orang belum datang.
       Allah menciptakan Adam dengan begitu sempurna seturut dan sesuai gambar dan rupa Allah, artinya ketika Adam diciptakan memiliki kekudusan dan kebenaran dan Allah mengadakan perjanjian dengan Adam dan untuk semua keturunannya, sehingga dengan demikian Adam adalah kepala dari perjanjian tersebut.
       R. Soedarmo menyatakan:
Manusia dijadikan oleh Tuhan sedemikian, hingga dapat difirmankan di dalam Kitab Suci: sesungguhnya amat baik (Kej. 1). Artinya: tidak ada kekurangan sesuatu pun. Jadi meskipun perjanjian itu ada dua pihaknya, di sini sebenarnya hanya pihak Tuhan yang bertindak: Tuhan memberi perjanjian dan Tuhan memungkinkan memenuhi perjanjian itu. Tuhan memberi perjanjian, sekarang Tuhan terikat. Akan tetapi Tuhan mengikat diri, jadi bukannya sesuatu di luarnya yang mengikatnya. Perbuatan ini pun menunjukan kemerdekaan Tuhan dan kesetiaan-Nya.[5]

       Manusia diciptakan sungguh amat baik dan Allah mengadakan perjanjian dengan manusia untuk memuliakan diri-Nya, dalam hal ini Allah bertindak sebagai Pemberi perjanjian dan Allah terikat dalam perjanjian-Nya sendiri sehingga perjanjian itu akan terlaksana dengan sempurna dalam kehendak dan rencana Allah sendiri tanpa ada sesuatu dari luar yang mengikatnya, inilah bukti kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya.
       Edwin Palmer menjelaskan: Perjanjian yang pertama kali dibuat dengan manusia adalah perjanjian kerja, dengan mana kehidupan dijanjikan kepada Adam, dan di dalam dia untuk ketrunannya, di atas kondisi ketaatan yang sempurna dan pribadi.[6]
       Ketika Allah membuat perjanjian dengan Adam, Allah menjanjikan suatu kehidupan kepada Adam dengan keturunannya, apabila ia menaati perjanjian tersebut dengan sempurna. Allah menghendaki agar supaya Adam hidup dalam ketaatan kepada Allah untuk memuliakan Allah.
b.   Kejatuhan Manusia
       Kejatuhan manusia merupakan suatu perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang ideal atau dari kehidupan yang makmur menjadi malapetaka. Jatuh dari keadaan yang tidak berdosa adalah sebuah kemerosotan dari ketidakbersalahan secara moral kepada keadaan berdosa. Kejatuhan yang sesungguhnya terjadi karena ketidaktaatan melakukan apa yang telah dilarang oleh Allah dengan hukuman kematian.
       Bruce Milne menyatakan bahwa: Kejadian 3:1-7 mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia, dan ada juga banyak lagi bahan Alkitab yang mengacu pada kejatuhan manusia ini (lihat akhir pasal ini). Lagi pula, terlepas dari acuan-acuan eksplisit itu, kejatuhan merupakan bagian integral dari seluruh berita Alkitab.[7] Ketika membaca kisah tentang Kejatuhan dalam dosa dengan semua implikasi yang mengerikan, kita tidak merasa bahwa peristiwa ini memang tak dapat dihindarkan. Akibat yang wajar dari kebebasan adalah bahwa manusia dapat meragukan dan tidak menaati Firman Allah.
       Albert M. Wolters menyatakan bahwa:
Pertama-tama, kita harus menekankan bahwa Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa bukan merupakan suatu tindakan ketidaktaatan yang terisolasi, tetapi peristiwa yang memiliki signifikansi yang sangat besar bagi ciptaan secara keseluruhan. Tidak hanya seluruh umat manusia, tetapi seluruh makhluk hidup juga terperangkap dalam kereta kegagalan Adam dalam memperhatikan perintah dan peringatan tegas Allah. Dampak dari dosa Adam menyentuh seluruh ciptaan; pada prinsipnya tidak ada sesuatu yang diciptakan yang tidak tersentuh oleh dampak yang merusak dari kejatuhan.[8]

       Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa tidak saja berdampak dalam diri mereka sendiri, tetapi hal itu berdampak bagi semua keturunannya dan semua makhluk hidup yang diciptakan Allah. Rasul Paulus mengatakan dalam Roma 5:12 “Sebab, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikanlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berdosa”. Semua orang dikandung dan dilahirkan dalam keadaan berdosa tanpa terkecuali.
Loraine boettner: In other words, fallen man is so morally blind that he uniformly prefers and chooses evil instead of God, as do the fallen angels or demons. When the Christian is completely sanctified he reaches a state in which he uniformly prefers and chooses good, as do the holy angels. Both of these states are consistent with freedom and responsibility of moral agents.[9] Dengan kata lain, manusia yang jatuh secara moral begitu buta bahwa ia lebih memilih yang jahat bukan Tuhan, seperti halnya malaikat yang jatuh atau setan. Ketika orang Kristen benar-benar disucikan dia mencapai keadaan di mana ia lebih suka memilih yang baik, seperti halnya malaikat-malaikat kudus.
       Dari penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa manusia yang telah jatuh akan lebih cenderung kapada yang jahat daripada menaati perintah Tuhan, dan orang-orang pilihan yang benar-benar telah diperbaharui oleh Allah sendiri akan tetap setia dalam melaksanakan perintah Allah.
A.  A. Hodge: It appears to be God’s general plan, and one eminently wise and righteous, to introduce all the new-created subjects of moral government into a state of probation for a time, in which he makes their permanent character and destiny depend upon their own action. He creates them holy, yet capable of falling.[10] Tampaknya rencana umum Allah, dan itu sungguh bijaksana dan benar, untuk memperkenalkan semua yang baru-dibuat subyek pemerintahan moral yang  dalam kondisi masa percobaan untuk sementara waktu, di mana dia membuat karakter permanen mereka dan tergantung pada tindakan mereka sendiri. Dia menciptakan mereka suci, namun mampu jatuh.
       Manusia diciptakan dengan begitu sempurna serta memiliki kehendak bebas, manusia dapat beralih dari keadaan tak bersalah kepada keadaan kebebasan moral yang tanpa kendali hanya dengan tindakan penentuan mereka sendiri dan itulah suatu keputusan yang melibatkan semua ciptaan.
       William W. Menzies & Stanley M. Horton menyatakan,
Manusia diciptakan baik dan jujur; karena Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26). Akan tetapi, dengan sengaja manusia telah melakukan pelanggaran dan oleh karena itu tidak hanya mendatangkan kematian jasmani tetapi juga rohani, yang memisahkan manusia dari Allah (Kej. 1:26-27; 2:17; 3:6; Rm. 5:12-19).[11]
       Sangat jelas dalam kebenaran Firman Allah bahwa manusia diciptakan dengan begitu sempurna, akan tetapi manusia lebih memilih untuk memberontak kepada Allah dan memilih untuk menaati perintah iblis sehingga persekutuan antara Allah dan manusia menjadi rusak.
       J. L. Ch. Abineno menyatakan bahwa,
Dosa bukanlah sesuatu yang datang dari luar manusia, seperti yang kita baca dalam buku-buku dogmatika lama. Dosa adalah perbuatan manusia sendiri melawan Allah. Kepada manusia Allah-seperti yang kita katakan dalam karangan yang lalu-berikan kebebasan untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia. Tetapi ia tidak melakukan hal itu. Ia melakukan yang sebaliknya. Ia menolak untuk menunaikan tugasnya sebagai partner Allah dan partner sesamanya manusia.[12]

       Kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa dilakukan atas kehendak mereka sendiri. Segala dosa disebabkan oleh pilihan kehendak manusia sendiri. Oleh sebab manusia telah diciptakan dengan sempurna tanpa dosa, maka dosa itu datang dari luar manusia. Dosa itu asalnya dari Iblis dengan perantaraan ular. Dosa Adam dan keturunannya tidak lain daripada dosa karena tidak taat akan perintah Allah.
       Derek Prime menjelaskan dalam bentuk pertanyaan dan jawab,
Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa? Jawab: Maksudnya ialah peristiwa sejarah dengan mana dosa masuk ke dalam dunia oleh seorang manusia dan maut oleh dosa itu.[13] Kejatuhan manusia dalam dosa merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi yang telah membawa dampak yang buruk bagi semua manusia dan seluruh tatanan ciptaan tanpa terkecuali dan hal ini telah dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:12-21 yang menempatkan ketidaktaatan Adam pada tingkat yang sama dengan ketaatan Kristus untuk melukiskan solidaritas manusia dalam dosa dan dalam kebenaran.
c.    Dosa Keturunan
       Dosa keturunan atau yang biasa juga disebut dosa warisan merupakan hasil dari kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa yang diturunkan kepada semua keturunannya melalui perkembangan alami, sehingga semua manusia berada di bawah kutuk Allah.
       Enam Belas Dokumen Calvinisme yang diseleksi oleh Th. Van Den End,
Kita percaya, bahwa seluruh keturunan Adam terjangkit oleh penyakit menular, yaitu dosa asli dan cacat turunan, bukan hanya peniruan, sebagaimana hendak dinyatakan kaum pengikut Pelagius. Kita menjijikkan mereka ini karena ajaran sesat mereka, dan kita menganggap tidak perlu menyelidiki bagaimana cara dosa menjalar dari seorang manusia kepada manusia lain, sebab sudah cukuplah bahwa apa yang Allah kenakan kepadanya dimaksud bukan hanya bagi dirinya saja, melainkan juga bagi seluruh keturunannya. Maka dalam dirinya kita telah kehilangan segala kebaikan dan tersandung sehingga kita bergelimang kemalangan dan kutuk.[14]
       Semua orang dilahirkan di dalam dosa, yaitu mereka mempunyai sifat dosa, semua orang telah berdosa. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10). Seperti yang telah dikatakan bahwa ajaran Pelagius merupakan ajaran sesat yang mengatakankan bahwa dosa turunan itu hanyalah tiruan dari dosa Adam ini merupakan pandangan yang tidak Alkitabiah. Jika seandainya demikian bagaimana mungkin orang yang sudah jatuh dalam dosa dapat memperanakkan orang yang suci atau seperti peribahasa yang mengatakan, Tanam lalang, tidak akan tumbuh padi. Dosa telah menjalar kepada manusia sewaktu manusia ada dalam kandungan, jadi tidak seorang pun dapat berdalih dan mengira bahwa mereka hanya bersalah kepada sesama manusia saja.
       Theol. Dieter Becker menyatakan bahwa,
Dalam Konfesi Augsburg mengenai dosa warisan dikatakan, bahwa “semenjak kejatuhan Adam, semua manusia yang dilahirkan dalam keadaan berdosa, yaitu semua manusia penuh dengan nafsu dan kecenderungan yang jahat sejak dari kandungan ibunya dan tidak merasa takut akan Allah serta tidak mempunyai iman sejati kepada Allah. Dengan demikian, dosa diartikan sebagai berkurangnya rasa takut terhadap Allah dan yang mengaburkan iman sejatinya serta yang menimbulkan nafsu dan kecenderungan yang jahat dari manusia.[15]
       Dosa telah menyerang kehidupan manusia sampai pada akar-akarnya yang terdalam. Manusia telah mati dalam dosa dan kesalahan. Manusia telah menjadi hamba dosa dan tidak dapat melakukan sesuatu yang baik dan hanya cenderung kepada yang jahat saja, oleh sebab itu harus ada seorang penolong yang mampu melepaskan manusia dari semua itu.
Thomas Watson: Original sin has become co-natural to us. A man by nature cannot but sin; though there were no devil to tempt, no bad examples to imitate, yet there is such an innate principle in him that he cannot forbear sinning. 2 Pet. 2:14. A peccato cessare nesciunt, who cannot cease to sin, as a horse that is lame cannot go without halting.[16] Dosa asal telah menjadi rekan alami bagi kita. Seorang pria secara alami tidak bisa tidak dosa, meskipun tidak ada setan untuk menggoda, tidak ada contoh buruk untuk meniru, namun ada semacam prinsip bawaan dalam dirinya bahwa ia tidak dapat menahan diri berbuat dosa. 2 Petrus 2:14. Sebuah tabiat yang tidak bisa berhenti untuk berbuat dosa, seperti kuda yang lumpuh tidak bisa pergi tanpa tersendat-sendat.
       Manusia memiliki tabiat dosa atau dosa asal yang merupakan sifat alami yang diwarisi Adam, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ketika seseorang bersalah ia meniru dosa Adam seperti yang diajarkan oleh kaum Pelagius, yang merupakan suatu ajaran sesat untuk mengaburkan kebenaran Firman Allah.       
       Yohanes Calvin menjelaskan demikian,
Sebagaimana kehidupan rohani Adam terletak dalam hubungan dan persahabatan yang akrab dengan Penciptanya, begitu pula keterpisahan dari Penciptanya berarti kematian jiwanya; dan tidaklah akan mengherankan kalau ia telah membawa kebinasaan kepada seluruh keturunannya dengan pemberontakannya itu, sebab telah dirusaknya seluruh tertib alam di langit dan di bumi. Setelah gambar surgawi hapus dari dalam hatinya, bukan hanya dia yang menanggung hukuman ini-yaitu bahwa sebagai ganti hikmat, kebajikan, kesucian, kebenaran dan keadilan yang telah merupakan bakat yang menghiasi dia, ia dirundung penyakit-penyakit yang menjijikkan, yaitu kebutaan, ketidak-mampuan, kecemaran, kesombongan dan ketidakadilan. Olehnya seluruh keturunannya ikut terlibat, bahkan ikut terjerumus dalam kesengsaraan demikian.[17]
       Semua keturunan Adam telah terjangkit oleh dosa Adam dan juga ikut terjerumus dalam kesengsaraan sebagai akibat dari pelanggaran Adam tanpa ada pengecualian. Apabila manusia melihat hidupnya dalam terang Alkitab, maka manusia akan tahu, bahwa sesungguhnya ia tidak hanya sakit sedikit saja, tidak hanya lemah sedikit saja, melainkan bahwa manusia terserang penyakit yang mendatangkan maut, oleh sebab itu manusia memerlukan tabib Ilahi.
       R. L. Dabney: The sinfulness of that estate whereinto man fell, consists of the guilt of Adam’s first sin, the want of original righteousness, and the corruption of his whole nature, which is commonly called original sin; together with all actual transgression which procced from it.[18] Keberdosaan yang real yang mana manusia jatuh, merupakan kesalahan dosa pertama Adam, yang menginginkan kebenaran asli, dan kebobrokan dari sifat keseluruhan, yang biasanya disebut dosa asal.
       Arie Jan Plaisier menyatakan bahwa,
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran dosa warisan sering salah dipahami. Umpamanya, kalau dikatakan bahwa pelanggaran Adam langsung diperhitung kepada orang yang baru lahir menjadi kesalahan mereka sendiri. Sebenarnya, manusia tidak bersalah karena ia lahir. Juga tidak karena ia lahir dari orang tua yang telah berdosa. Andaikata begitu, maka dosa otomatis dikaitkan dengan fakta biologis. Hidup dan lahir bukanlah hal yang salah. Juga tidak mungkin mempersalahkan bayi yang lahir karena ia lahir sebagai hasil persetubuhan. Pandangan ini barang kali dilatarbelakangi paham yang negatif terhadap seksualitas, tetapi paham itu tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Begitu pula tidak tepat kalau dalam ajaran tentang Yesus orang berkata bahwa Yesus adalah manusia tanpa dosa oleh sebab Dia lahir dari anak dara Maria, tanpa proses persetubuhan. Kalau begitu, alasan Yesus tidak berdosa bersifat biologis pula.[19]
       Berbicara tentang dosa warisan, bukanlah faktor biologisnya yang mau ditekankan, akan tetapi sebagaimana dikatakan bahwa Adam adalah kepala dari perjanjian kerja dan oleh karena Adam telah melanggar perjanjian tersebut, maka semua keturunannya juga ikut terjangkit dan terjerumus dalam dosa Adam. Untuk mengetahui bagaiman dosa itu menjalar dalam kehidupan manusia itu tidaklah penting untuk kita ketahui, sebab manusia yang najis tidak bisa melahirkan yang suci.
d.   Dosa Perbuatan
       Adapun dosa perbuatan adalah dosa yang diperbuat oleh masing-masing pribadi, seperti dosa membunuh, mencuri, berzinah, dan lain sebagainya. Dosa perbuatan ini menjadi tanggung jawab masing-masing pribadi. Dosa perbuatan seorang anak tidak akan ditanggung oleh orang tuanya. Dosa orang tuanya, tidak ditanggung oleh anaknya ataupun oleh cucunya.
Hal tersebut dapat kita baca dalam Yehezkiel 18:20 :  
Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya”.
       J. Verkuyl menjelaskan demikian,
Berdosa dengan perbuatan, perkataan dan pikiran. Ini suatu pembedaan penting. Orang-orang Farisi (dari segala zaman) hanyalah mengenal dosa dalam perbuatan. Mereka anggap, bahwa seseorang tidak berzinah, apabila ia tidak berbuat zinah. Mereka mengira, bahwa mereka bukan pembunuh, apabila mereka belum pernah membunuh orang. Mereka mengira, bahwa mereka bukan pencuri apabila mereka belum pernah mencuri.[20]
       Dosa perbuatan bukan saja dapat dikatakan ketika seseorang sedang melakukan zinah, akan tetapi sudah dikatakan zinah apabila ia memandang perempuan serta mengingininya dalam hati, demikian juga halnya dengan membunuh, mencuri, sudah dikatakan pembunuh, pencuri, apabila sudah ada keinginan tersebut dalam hatinya, sekalipun belum melakukannya secara fisik. Dengki, benci, amarah, dan dendam kesumat itu semua sama dengan pembunuhan, demikian juga halnya dengan pencurian, segala tipu daya, sifat kikir, dan segala pemborosan serta pemakaian dengan sia-sia atas pemberian-pemberian-Nya.
       R. Soedarmo menyatakan bahwa,
Selain dosa yang kita terima dari keturunan kita, kita juga berbuat dosa sendiri. Sudah barang tentu untuk dosa perbuatan ini dosa warisan juga berpengaruh. Terutama kerusakan warisan ini mendatangkan kelemahan kita, hingga kita tidak dapat berbuat yang baik dan cenderung kepada yang jahat. Akan tetapi manusia tetap menjadi manusia, makhluk yang berbudi, maka ia dapat memilih. Maka manusia juga yang bertindak sendiri atau yang berbuat dosa. Dosa inilah yang disebut: Dosa perbuatan.[21]

       Adanya dosa perbuatan merupakan dampak dari dosa warisan yang tetap ada dalam diri manusia, sehingga manusia tidak mampu lagi berbuat yang baik, dosa adalah pemutusan kesetiaan kepada Allah. Dan pemutusan ini dimulai di dalam hati.
Thomas Boston: Corruption of life, wickedness, great wickedness. I understand this of the wickedness of their lives; for it is plainly distinguished from the wickedness of their hearts. The sin of their outward conversation were great in the nature of them, and greatly aggravated by their attendant circumstances: and this not only among those of the race of cursed Cain, but those of holy seth; the wickedness of man was great.[22] Korupsi kehidupan, kejahatan, kejahatan besar. Saya mengerti ini dari kejahatan kehidupan mereka, karena itu jelas dibedakan dari kejahatan hati mereka. Dosa percakapan lahiriah mereka yang besar dalam sifat mereka, dan sangat diperparah oleh keadaan penjaga mereka: dan ini tidak hanya di kalangan orang-orang dari ras mengutuk Kain, tetapi mereka suci seth; kejahatan manusia besar.
       Charles C. Ryrie menyatakan bahwa,
Semua orang melakukan dosa secara pribadi, kecuali bayi. Yakobus menegaskan hal ketika ia mengatakan bahwa kita semua bersalah dalam banyak hal (Yakobus 3:2). Sebelumnya Paulus juga menderetkan sejumlah dosa dalam Roma pasal 3, ketika ia mengatakan bahwa semua orang, baik orang Yahudi maupun non – Yahudi, berada di bawah kuasa dosa (ayat 9). Kemudian ia menegaskan kembali fakta itu dalam ayat 23 bahwa semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah.[23]

       Sekalipun bayi yang baru dilahirkan belum bisa melakukan dosa pribadi, tetapi ia tidak dilahirkan sebagai kertas putih tanpa noda, ia dikandung dalam dosa sehingga ia juga berada di bawah kuasa dosa, karena ia memiliki tabiat dosa sehingga memungkin dalam pertumbuhannya akan melakukan kejahatan, karena sesungguhnya semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah.
e.    Hukuman Allah atas Dosa
       Berbicara mengenai hukuman Allah atas dosa merupakan suatu tindakan Allah atas dosa yang diperbuat manusia secara tepat untuk membedakan yang salah dan benar dan mengakhiri dengan sebuah keputusan yang benar berdasarkan hukum Allah.
       William Dyrness menyatakan demikian,
Hukuman Allah pada akhirnya, datang sebagai tanggapan yang pasti terhadap dosa. “Bahwa dosamu itu akan menimpa kamu” (Bilangan 32:23). Unsur dasar dalam penghukuman, bahkan ketika dinyatakan dalam kesendirian dan penderitaan, ialah pemisahan dari Allah (Yesaya 59:2). Orang yang berdosa tidak dapat menghadap Allah (I Samuel 14:37-41). Hukuman yang paling hebat adalah dihapuskan dari ”kitab kehidupan” (Mazmur 69:29); sheol atau dunia orang mati menjadi tempat kediaman orang fasik (Mazmur 49:15).[24]
       Dosa dan kefasikan merupakan tembok pemisah antara Allah dan manusia, sehingga dengan demikian manusia tidak lagi dapat berkenan di hadapan Allah yang Maha Kudus dan dunia orang mati menjadi tempat kediaman orang fasik. Oleh karena dosa merupakan tembok pemisah antara Allah dan manusia maka Allah sendiri menyediakan pengantara bagi setiap anak-anak Tuhan yang berdosa.
       Harun hadiwijono menyatakan bahwa,
Selain hukuman Allah yang akan dinyatakan pada akhir zaman itu Alkitab juga memberitakan tentang hukuman Allah yang telah dinyatakan pada zaman sekarang ini. Roma 1:8 umpamanya mengatakan, bahwa murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia. Di sini dinyatakan, bahwa murka Allah dinyatakan “dari sorga”, atau dapat diterjemahkan dengan “dari langit”, dari atas, yang berarti, bahwa murka Allah tadi dinyatakan di hadapan segala umat, hingga dapat diketahui oleh setiap orang.[25]

       Alkitab menyatakan banyak penghakiman Allah di sepanjang sejarah sebagai lukisan-lukisan pendahuluan penghakiman terakhir. Penghakiman Allah dilukiskan sebagai yang akan datang  dalam tahapan-tahapan rencana Allah. Di satu segi, orang yang tidak bertobat sudah mengalami penghakiman (Yohanes 3:18), tetapi penghakiman yang terus menerus oleh Allah atas masyarakat dan individu berfungsi sebagai peringatan yang penuh rahmat bagi mereka agar meninggalkan kejahatan dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
       J. Wesley Brill menyatakan bahwa,
Hukuman dosa tidak lain daripada tindakan Allah terhadap dosa , karena kesucian-Nya. Hukuman ialah kesusahan atau kesakitan yang diberikan oleh yang memberi hukuman kepada orang yang telah melanggar hukum itu. Maksud yang terutama dari hukuman bagi dosa bukan untuk memperbaiki orang yang dihukum, dan bukan untuk menakut-nakuti orang-orang supaya jangan berbuat dosa, melainkan supaya kesucian Allah dibenarkan.[26]
       Begitu merusak dampak kejahatan terhadap dunia manusia dan alam sehingga seluruh ciptaan sekarang “sama-sama merasa sakit bersalin” (Roma 8:22), dan Allah memberikaan hukuman kepada manusia untuk menyatakan kebenaran-Nya serta betapa sucinya Allah yang telah mengadakan perjanjian yang dilanggar oleh manusia.
       Henry C. Thiessen menjelaskan bahwa,
Sekalipun benar bahwa sampai taraf tertentu akibat-akibat yang timbul dari dosa merupakan bagian dari hukuman terhadap dosa, kita harus ingat bahwa hukuman yang sepenuhnya berbeda sifatnya. Kebejatan dan kesalahan sebagai akibat dosa, dialami manusia sekarang ini, tetapi hukuman sepenuhnya akan dijatuhkan pada masa yang akan datang.[27]
       Hukuman Allah sepenuhnya akan dijatuhkan pada masa yang akan datang di mana masing-masing umat yang jahat dan umat pilihan Allah yang telah dibenarkan akan dipisahkan. Umat yang jahat akan tinggal di luar dan akan menjalani hukuman yang kekal (Wahyu 22:15), sementara orang benar atau umat pilihan Allah akan disambut ke dalam hadirat Allah untuk selamanya (Wahyu 21:3-4).


                [1] Thomy J. Matakupan & Julio Kristano, Doktrin Manusia dan Dosa- Studi Korespondensi Reformed Injili Indosesia (SKRII), Cet. Pertama, Momentum, Surabaya, 2005, h. 9-10.
                [2] Louis Berkhof, Teologi Sistematika-Doktrin Manusia, pen. Yudha Thianto, cet ke-8, Momentum, Surabaya, 2008, h. 65-66.
                [3] G. J. Baan, TULIP-Lima Pokok Calvinisme, peny. Irwan Tjulianto, cet ke-2, Momentum, Surabaya, 2010, h. 9.                                                                                             
                [4] J. Fraanje, Striving Together In The Divine Truths Of Scripture, Second Printing, United States of America, 1987, pg. 116-117.                                                                                                     
                [5] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, cet ke-17, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2011, h. 144.
                [6] Edwin Palmer, Lima Pokok Calvinisme, Peny. Elsye, Cet ke-2, Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1998, h. 215.
                [7] Bruce Milne, Mengenal Kebenaran, pen. Connie Item-Corputty, cet ke-3, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, h. 144.
                [8] Albert M. Wolters, Pemulihan Ciptaan, pen. Ichwei G. Indra, cet ke-2, Momentum, Surabaya, 2010, h. 64.
                [9] Loraine Boettner, The Reformed Doctrine Of Predestination, Presbyterian and Reformed Publishing Company philipsburg, New Jersey, pg. 63.
                [10] A. A Hodge, The Confession Of Faith, first published, The Banner Of Truth Trust, Pennsylvania, 1869, pg. 105.
                                                                                        
                [11] William W. Menzies & Stanley M. Harton, Doktrin Alkitab, Cet. Pertama, Gandum Mas, Malang, 1998, h. 76.
                [12] J. L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Cet ke-5, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, h. 59.
                [13] Derek Prime, Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, Cet ke-5, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2001, h. 51.
                [14] Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, (diseleksi) Th. Van Den End, Cet. Pertama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, h. 6.
                [15] Theol. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, cet ke-3, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, h. 103.
                [16] Thomas Watson, A Body Of Divinity, first published, The Banner Of Truth Trust, Pennsylvania, 1997, pg. 143.
               [17] Yohanes Calvin, Institutio – Pengajaran Agama Kristen, peny. Th. Van den End, pen. Winarsih Arifin, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1980, h. 47.
                [18] R. L. Dabney, Systematic Theology, Second edition, Presbyterian Publishing Company Of ST. LOUIS, Washington, 1878, pg. 321.

                [19] Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, cet. Ke-2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, h. 72-73.
               
                [20] J. Verkuyl, Aku Percaya, pen. Soegiarto, cet ke-16, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995, h. 82

                [21] R. Soedarmo, Lock Cit, h. 157.

                [22] Thomas Boston, Human Nature In Its Fourfold State, The Banner Of Truth Trust, Pennsylvania, 1997, pg. 60.

                [23] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, Vol. 1, Cet ke-9, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2004, h. 308.

                [24] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, cet ke-2, Gandum Mas, Malang, 1992, h. 92.
                [25] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, cet ke-12, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, h. 242.
                [26] J. Wesley Brill, Dasar Yang Teguh, cet ke- 7, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, t.t, h. 201.
                [27] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, Cet. Pertama, Gandum Mas, Malang, 1992, h. 297.

Tidak ada komentar:

Kata kata

Cintailah seseorang sepenuhnya, termasuk kekurangannya, dan suatu saat kamu akan pantas mendapatkan yang terbaik darinya.

SESUATU YANG BERHARGA

Terkadang, Tuhan menghilangkan sesuatu yang sangat berarti dari genggamanmu, agar kamu menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik.