a. Perjanjian Kerja
Di dalam berbicara tentang kovenan atau
perjanjian adalah cara utama dalam Alkitab untuk melukiskan hubungan antara
Allah dan umat-Nya dan kadang-kadang dengan umat manusia pada umumnya. Meskipun
banyak hubungan horisontal dilukiskan sebagai perjanjian kovenan, namun konsep
Alkitab tentang kovenan berfokus terutama pada kovenan antara Allah dan
manusia.
Thomy
J. Matakupan & Julio Kristano menjelaskan demikan,
Di dalam Perjanjian Lama, kata yang
kemudian diterjemahkan sebagai “kovenan” adalah berit, sedangkan dalam Perjanjian Baru menggunakan istilah diatheke. Konsep kovenan muncul di dalam
peristiwa penciptaan. Memang perlu diakui bahwa istilah itu sendiri tidak ada
di dalam tiga pasal pertama Alkitab; namun demikian, ide tentang perjanjian
sangat kuat muncul di sana. Apakah yang dimaksud dengan “kovenan”? kovenan
adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk sesuatu hal tertentu
dengan menetapkan berbagai persyaratan. Di dalamnya terdapat janji pahala bagi
ketaatan dan hukuman bagi ketidaktaatan atau pelanggaran. Kovenan ini disebut
sebagai “Kovenan kerja” karena adanya kondisi kerja yang ditetapkan bersama.
Kerap juga disebut sebagai “Kovenan Kehidupan” karena berisi janji kehidupan,
atau “Kovenan Legal” karena adanya tuntutan ketaatan sempurna kepada hukum
Allah.[1]
Istilah tentang kovenan tidak muncul
dalam tiga pasal pertama, tetapi perlu diketahui bahwa ketika pembaca membaca
ketiga pasal tersebut di sana konsep perjanjian sangat nampak atau kuat,
sehingga dengan jelas dapat dikatakan bahwa kovenan itu adalah kesepakatan
antara dua pihak yang disertai dengan aturan yang harus diikuti dengan sempurna
karena yang memberi hukum itu sendiri adalah sempurna.
Louis
Berkhof menyatakan
bahwa:
Pembicaraan
tentang keadaan manusia mula-mula atau status integritatis tidaklah lengkap
tanpa membicarakan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia, dan terutama
asal mula dan natur religius manusia. Hidup berakar pada perjanjian ini
(covenant). Demikian pula hidup orang kristen pada zaman sekarang, dan
perjanjian ini sering dikenal sebagai perjanjian alam, perjanjian hidup,
perjanjian Eden dan perjanjian kerja. Istilah perjanjian alam dulu banyak
dipakai, lama kelamaan tidak dipakai lagi sebab nama ini bisa memberikan kesan
bahwa perjanjian ini hanyalah bagian dari hubungan alamiah di mana manusia
berdiri di hadapan Allah. Perjanjian hidup dan perjanjian Eden tidak cukup dan
dapat juga dimasukan dalam perjanjian anugerah, dan juga dimulai di Eden (Kej
3:15). Karena itu nama “Perjanjian Kerja” (covenant
of works) lebih dapat diterima.[2]
Di sana dikatakan bahwa tidaklah lengkap
apabila hanya berbicara tentang keadaan manusia mula-mula tanpa membicarakan
hubungan timbal balik antara Allah dan manusia, dan terutama asal mula dan
natur religius manusia. Hubungan yang mula-mula antara Allah dan umat-Nya
dianggap sebagai bersifat “alamiah”. Maksudnya Allah dianggap sebagai dewa
suku, hampir-hampir bagaikan lambang dari suku tersebut. Iman yang mula-mula
ini menjadi matang pada zaman nabi klasik. Mereka menambahkan unsur etik dalam
agama, pada saat itu dimengerti sebagai suatu “perjanjian” antara Allah dan
umat-Nya. Pemahaman ini dikembangkan dalam kehidupan Israel yang mula-mula.
G.
J. Baan menyatakan
bahwa:
Adam
juga adalah kepala kovenan kerja. Kovenan ini menyatakan bahwa jikalau Adam
menuruti perintah percobaan Allah, ia akan diberi kebahagiaan kekal oleh karena
ketaatan itu [itulah sebabnya kovenan ini disebut kovenan kerja]. Sebaliknya,
jika dia melanggar, ia juga akan menanggung kematian kekal sebagai hukumannya.
Karena adam adalah kepala kovenan kerja, perbuatan-perbuatannya akan membawa
dampak bagi seluruh umat manusia. Jelas bahwa semua manusia terisap di dalam
Adam, dan oleh sebab itu perbuatan-perbuatannya akan membawa dampak bagi semua
manusia (seperti yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Roma 5:12-21).[3]
Allah
mengadakan perjanjian dengan Adam agar Adam hidup dalam kesempurnaan dan
memuliakan Allah. Akan tetapi Adam tidak hidup dalam perjanjian itu ia lebih
memilih untuk melawan Allah dengan melanggar perjanjian yang diberikan oleh
Allah, sehingga oleh ketidaktaatannya ia berada di bawah murka Allah, bahkan
semua keturunannya berada di bawah murka Allah sebagai akibat dari
ketidaktaatan Adam.
J. Fraanje: Adam was created by God in the state
of rectitude. He was made in the image of God and was perfect. He was the
“head” of all persons that would be born after him. But besides the fact that
he was the father of the whole human race, God made a covenant with him and
appointed him head of that covenant; that is to say, he represents all mankind.
In this way God, through Adam, establishes the covenant with all people yet to
come.[4]
Adam diciptakan oleh Allah dalam keadaan kejujuran. Dia diciptakan menurut
gambar Allah dan sempurna. Ia adalah "kepala" dari semua orang yang
akan lahir setelah dia. Namun selain fakta bahwa ia adalah ayah dari seluruh
umat manusia, Tuhan membuat perjanjian dengan dia dan dia diangkat kepala
perjanjian itu; artinya, dia mewakili seluruh umat manusia. Dengan cara ini
Allah, melalui Adam, mengatur perjanjian dengan semua orang belum datang.
Allah menciptakan Adam
dengan begitu sempurna seturut dan sesuai gambar dan rupa Allah, artinya ketika
Adam diciptakan memiliki kekudusan dan kebenaran dan Allah mengadakan
perjanjian dengan Adam dan untuk semua keturunannya, sehingga dengan demikian
Adam adalah kepala dari perjanjian tersebut.
R. Soedarmo menyatakan:
Manusia
dijadikan oleh Tuhan sedemikian, hingga dapat difirmankan di dalam Kitab Suci:
sesungguhnya amat baik (Kej. 1). Artinya: tidak ada kekurangan sesuatu pun.
Jadi meskipun perjanjian itu ada dua pihaknya, di sini sebenarnya hanya pihak
Tuhan yang bertindak: Tuhan memberi perjanjian dan Tuhan memungkinkan memenuhi
perjanjian itu. Tuhan memberi perjanjian, sekarang Tuhan terikat. Akan tetapi
Tuhan mengikat diri, jadi bukannya sesuatu di luarnya yang mengikatnya.
Perbuatan ini pun menunjukan kemerdekaan Tuhan dan kesetiaan-Nya.[5]
Manusia diciptakan sungguh amat baik dan
Allah mengadakan perjanjian dengan manusia untuk memuliakan diri-Nya, dalam hal
ini Allah bertindak sebagai Pemberi perjanjian dan Allah terikat dalam
perjanjian-Nya sendiri sehingga perjanjian itu akan terlaksana dengan sempurna
dalam kehendak dan rencana Allah sendiri tanpa ada sesuatu dari luar yang
mengikatnya, inilah bukti kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya.
Edwin
Palmer menjelaskan:
Perjanjian yang pertama kali dibuat dengan manusia adalah perjanjian kerja,
dengan mana kehidupan dijanjikan kepada Adam, dan di dalam dia untuk
ketrunannya, di atas kondisi ketaatan yang sempurna dan pribadi.[6]
Ketika Allah membuat perjanjian dengan
Adam, Allah menjanjikan suatu kehidupan kepada Adam dengan keturunannya,
apabila ia menaati perjanjian tersebut dengan sempurna. Allah menghendaki agar
supaya Adam hidup dalam ketaatan kepada Allah untuk memuliakan Allah.
b. Kejatuhan Manusia
Kejatuhan manusia merupakan suatu
perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang ideal atau dari kehidupan yang
makmur menjadi malapetaka. Jatuh dari keadaan yang tidak berdosa adalah sebuah
kemerosotan dari ketidakbersalahan secara moral kepada keadaan berdosa.
Kejatuhan yang sesungguhnya terjadi karena ketidaktaatan melakukan apa yang
telah dilarang oleh Allah dengan hukuman kematian.
Bruce
Milne menyatakan
bahwa: Kejadian 3:1-7 mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia, dan ada
juga banyak lagi bahan Alkitab yang mengacu pada kejatuhan manusia ini (lihat
akhir pasal ini). Lagi pula, terlepas dari acuan-acuan eksplisit itu, kejatuhan
merupakan bagian integral dari seluruh berita Alkitab.[7]
Ketika membaca kisah tentang Kejatuhan dalam dosa dengan semua implikasi yang
mengerikan, kita tidak merasa bahwa peristiwa ini memang tak dapat dihindarkan.
Akibat yang wajar dari kebebasan adalah bahwa manusia dapat meragukan dan tidak
menaati Firman Allah.
Albert
M. Wolters menyatakan
bahwa:
Pertama-tama,
kita harus menekankan bahwa Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa kejatuhan
Adam dan Hawa ke dalam dosa bukan merupakan suatu tindakan ketidaktaatan yang
terisolasi, tetapi peristiwa yang memiliki signifikansi yang sangat besar bagi
ciptaan secara keseluruhan. Tidak hanya seluruh umat manusia, tetapi seluruh
makhluk hidup juga terperangkap dalam kereta kegagalan Adam dalam memperhatikan
perintah dan peringatan tegas Allah. Dampak dari dosa Adam menyentuh seluruh
ciptaan; pada prinsipnya tidak ada sesuatu yang diciptakan yang tidak tersentuh
oleh dampak yang merusak dari kejatuhan.[8]
Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa
tidak saja berdampak dalam diri mereka sendiri, tetapi hal itu berdampak bagi
semua keturunannya dan semua makhluk hidup yang diciptakan Allah. Rasul Paulus
mengatakan dalam Roma 5:12 “Sebab, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia
oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikanlah maut itu telah
menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berdosa”. Semua orang
dikandung dan dilahirkan dalam keadaan berdosa tanpa terkecuali.
Loraine boettner: In other words, fallen man is so
morally blind that he uniformly prefers and chooses evil instead of God, as do
the fallen angels or demons. When the Christian is completely sanctified he
reaches a state in which he uniformly prefers and chooses good, as do the holy
angels. Both of these states are consistent with freedom and responsibility of
moral agents.[9]
Dengan kata lain, manusia yang jatuh secara moral begitu buta bahwa ia
lebih memilih yang jahat bukan
Tuhan, seperti halnya malaikat yang jatuh atau setan. Ketika orang Kristen
benar-benar disucikan dia mencapai keadaan di mana ia lebih suka memilih yang
baik, seperti halnya malaikat-malaikat kudus.
Dari penjelasan di atas jelas dikatakan
bahwa manusia yang telah jatuh akan lebih cenderung kapada yang jahat daripada
menaati perintah Tuhan, dan orang-orang pilihan yang benar-benar telah
diperbaharui oleh Allah sendiri akan tetap setia dalam melaksanakan perintah
Allah.
A. A. Hodge: It
appears to be God’s general plan, and one eminently wise and righteous, to
introduce all the new-created subjects of moral government into a state of
probation for a time, in which he makes their permanent character and destiny
depend upon their own action. He creates them holy, yet capable of falling.[10]
Tampaknya rencana umum Allah, dan itu sungguh
bijaksana dan benar, untuk memperkenalkan semua yang baru-dibuat subyek
pemerintahan moral yang dalam kondisi
masa percobaan untuk sementara waktu, di mana dia membuat karakter permanen
mereka dan tergantung pada tindakan mereka sendiri. Dia menciptakan mereka
suci, namun mampu jatuh.
Manusia diciptakan dengan begitu sempurna
serta memiliki kehendak bebas, manusia dapat beralih dari keadaan tak bersalah
kepada keadaan kebebasan moral yang tanpa kendali hanya dengan tindakan penentuan
mereka sendiri dan itulah suatu keputusan yang melibatkan semua ciptaan.
William
W. Menzies & Stanley M. Horton menyatakan,
Manusia
diciptakan baik dan jujur; karena Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26). Akan tetapi, dengan sengaja
manusia telah melakukan pelanggaran dan oleh karena itu tidak hanya
mendatangkan kematian jasmani tetapi juga rohani, yang memisahkan manusia dari
Allah (Kej. 1:26-27; 2:17; 3:6; Rm. 5:12-19).[11]
Sangat jelas dalam kebenaran Firman Allah
bahwa manusia diciptakan dengan begitu sempurna, akan tetapi manusia lebih
memilih untuk memberontak kepada Allah dan memilih untuk menaati perintah iblis
sehingga persekutuan antara Allah dan manusia menjadi rusak.
J.
L. Ch. Abineno
menyatakan bahwa,
Dosa
bukanlah sesuatu yang datang dari luar manusia, seperti yang kita baca dalam
buku-buku dogmatika lama. Dosa adalah perbuatan manusia sendiri melawan Allah. Kepada
manusia Allah-seperti yang kita katakan dalam karangan yang lalu-berikan
kebebasan untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia. Tetapi ia tidak
melakukan hal itu. Ia melakukan yang sebaliknya. Ia menolak untuk menunaikan
tugasnya sebagai partner Allah dan partner sesamanya manusia.[12]
Kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa
dilakukan atas kehendak mereka sendiri. Segala dosa disebabkan oleh pilihan
kehendak manusia sendiri. Oleh sebab manusia telah diciptakan dengan sempurna
tanpa dosa, maka dosa itu datang dari luar manusia. Dosa itu asalnya dari Iblis
dengan perantaraan ular. Dosa Adam dan keturunannya tidak lain daripada dosa
karena tidak taat akan perintah Allah.
Derek
Prime menjelaskan
dalam bentuk pertanyaan dan jawab,
Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa? Jawab: Maksudnya
ialah peristiwa sejarah dengan mana dosa masuk ke dalam dunia oleh seorang
manusia dan maut oleh dosa itu.[13]
Kejatuhan manusia dalam dosa merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi
yang telah membawa dampak yang buruk bagi semua manusia dan seluruh tatanan
ciptaan tanpa terkecuali dan hal ini telah dikatakan oleh Rasul Paulus dalam
Roma 5:12-21 yang menempatkan ketidaktaatan Adam pada tingkat yang sama dengan
ketaatan Kristus untuk melukiskan solidaritas manusia dalam dosa dan dalam
kebenaran.
c. Dosa Keturunan
Dosa keturunan atau yang biasa juga
disebut dosa warisan merupakan hasil dari kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa
yang diturunkan kepada semua keturunannya melalui perkembangan alami, sehingga
semua manusia berada di bawah kutuk Allah.
Enam
Belas Dokumen Calvinisme yang diseleksi oleh Th. Van Den
End,
Kita percaya, bahwa seluruh
keturunan Adam terjangkit oleh penyakit menular, yaitu dosa asli dan cacat
turunan, bukan hanya peniruan, sebagaimana hendak dinyatakan kaum pengikut
Pelagius. Kita menjijikkan mereka ini karena ajaran sesat mereka, dan kita
menganggap tidak perlu menyelidiki bagaimana cara dosa menjalar dari seorang
manusia kepada manusia lain, sebab sudah cukuplah bahwa apa yang Allah kenakan
kepadanya dimaksud
bukan hanya bagi dirinya saja, melainkan juga bagi seluruh keturunannya. Maka
dalam dirinya kita telah kehilangan segala kebaikan dan tersandung sehingga
kita bergelimang kemalangan dan kutuk.[14]
Semua orang dilahirkan di dalam dosa,
yaitu mereka mempunyai sifat dosa, semua orang telah berdosa. “Tidak ada yang
benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10). Seperti yang telah dikatakan bahwa
ajaran Pelagius merupakan ajaran sesat yang mengatakankan bahwa dosa turunan
itu hanyalah tiruan dari dosa Adam ini merupakan pandangan yang tidak
Alkitabiah. Jika seandainya demikian bagaimana mungkin orang yang sudah jatuh
dalam dosa dapat memperanakkan orang yang suci atau seperti peribahasa yang
mengatakan, Tanam lalang, tidak akan tumbuh padi. Dosa telah menjalar kepada
manusia sewaktu manusia ada dalam kandungan, jadi tidak seorang pun dapat
berdalih dan mengira bahwa mereka hanya bersalah kepada sesama manusia saja.
Theol.
Dieter Becker menyatakan
bahwa,
Dalam Konfesi Augsburg mengenai dosa
warisan dikatakan, bahwa “semenjak kejatuhan Adam, semua manusia yang
dilahirkan dalam keadaan berdosa, yaitu semua manusia penuh dengan nafsu dan
kecenderungan yang jahat sejak dari kandungan ibunya dan tidak merasa takut akan
Allah serta tidak mempunyai iman sejati kepada Allah. Dengan demikian, dosa
diartikan sebagai berkurangnya rasa takut terhadap Allah dan yang mengaburkan
iman sejatinya serta yang menimbulkan nafsu dan kecenderungan yang jahat dari
manusia.[15]
Dosa
telah menyerang kehidupan manusia sampai pada akar-akarnya yang terdalam.
Manusia telah mati dalam dosa dan kesalahan. Manusia telah menjadi hamba dosa
dan tidak dapat melakukan sesuatu yang baik dan hanya cenderung kepada yang
jahat saja, oleh sebab itu harus ada seorang penolong yang mampu melepaskan
manusia dari semua itu.
Thomas Watson: Original sin has become co-natural to us. A man by nature cannot but
sin; though there were no devil to tempt, no bad examples to imitate, yet there
is such an innate principle in him that he cannot forbear sinning. 2 Pet. 2:14.
A peccato cessare nesciunt, who cannot cease to sin, as a horse that is lame
cannot go without halting.[16]
Dosa asal telah menjadi rekan alami
bagi kita. Seorang pria secara alami
tidak bisa tidak dosa, meskipun tidak ada setan untuk
menggoda, tidak ada contoh buruk
untuk meniru, namun ada semacam prinsip bawaan
dalam dirinya bahwa ia tidak dapat
menahan diri berbuat dosa. 2 Petrus 2:14. Sebuah tabiat yang tidak bisa
berhenti untuk berbuat dosa, seperti kuda yang lumpuh
tidak bisa pergi tanpa tersendat-sendat.
Manusia
memiliki tabiat dosa atau dosa asal yang merupakan sifat alami yang diwarisi
Adam, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ketika seseorang bersalah ia meniru
dosa Adam seperti yang diajarkan oleh kaum Pelagius, yang merupakan suatu
ajaran sesat untuk mengaburkan kebenaran Firman Allah.
Yohanes
Calvin menjelaskan
demikian,
Sebagaimana kehidupan rohani Adam
terletak dalam hubungan dan persahabatan yang akrab dengan Penciptanya, begitu
pula keterpisahan dari Penciptanya berarti kematian jiwanya; dan tidaklah akan
mengherankan kalau ia telah membawa kebinasaan kepada seluruh keturunannya
dengan pemberontakannya itu, sebab telah dirusaknya seluruh tertib alam di
langit dan di bumi. Setelah gambar surgawi hapus dari dalam hatinya, bukan
hanya dia yang menanggung hukuman ini-yaitu bahwa sebagai ganti hikmat,
kebajikan, kesucian, kebenaran dan keadilan yang telah merupakan bakat yang
menghiasi dia, ia dirundung penyakit-penyakit yang menjijikkan, yaitu
kebutaan, ketidak-mampuan, kecemaran, kesombongan dan ketidakadilan. Olehnya
seluruh keturunannya ikut terlibat, bahkan ikut terjerumus dalam kesengsaraan
demikian.[17]
Semua
keturunan Adam telah terjangkit oleh dosa Adam dan juga ikut terjerumus dalam
kesengsaraan sebagai akibat dari pelanggaran Adam tanpa ada pengecualian.
Apabila manusia melihat hidupnya dalam terang Alkitab, maka manusia akan tahu,
bahwa sesungguhnya ia tidak hanya sakit sedikit saja, tidak hanya lemah sedikit
saja, melainkan bahwa manusia terserang penyakit yang mendatangkan maut, oleh
sebab itu manusia memerlukan tabib Ilahi.
R.
L. Dabney: The
sinfulness of that estate whereinto man fell, consists of the guilt of Adam’s
first sin, the want of original righteousness, and the corruption of his whole
nature, which is commonly called original sin; together with all actual
transgression which procced from it.[18]
Keberdosaan yang real yang mana manusia jatuh, merupakan kesalahan dosa
pertama Adam, yang
menginginkan kebenaran asli, dan
kebobrokan dari
sifat keseluruhan, yang biasanya
disebut dosa asal.
Arie
Jan Plaisier menyatakan
bahwa,
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran
dosa warisan sering salah dipahami. Umpamanya, kalau dikatakan bahwa
pelanggaran Adam langsung diperhitung kepada orang yang baru lahir menjadi
kesalahan mereka sendiri. Sebenarnya, manusia tidak bersalah karena ia lahir.
Juga tidak karena ia lahir dari orang tua yang telah berdosa. Andaikata begitu,
maka dosa otomatis dikaitkan dengan fakta biologis. Hidup dan lahir bukanlah
hal yang salah. Juga tidak mungkin mempersalahkan bayi yang lahir karena ia
lahir sebagai hasil persetubuhan. Pandangan ini barang kali dilatarbelakangi
paham yang negatif terhadap seksualitas, tetapi paham itu tidak sesuai dengan
ajaran Alkitab. Begitu pula tidak tepat kalau dalam ajaran tentang Yesus orang
berkata bahwa Yesus adalah manusia tanpa dosa oleh sebab Dia lahir dari anak
dara Maria, tanpa proses persetubuhan. Kalau begitu, alasan Yesus tidak berdosa
bersifat biologis pula.[19]
Berbicara
tentang dosa warisan, bukanlah faktor biologisnya yang mau ditekankan, akan
tetapi sebagaimana dikatakan bahwa Adam adalah kepala dari perjanjian kerja dan
oleh karena Adam telah melanggar perjanjian tersebut, maka semua keturunannya
juga ikut terjangkit dan terjerumus dalam dosa Adam. Untuk mengetahui bagaiman
dosa itu menjalar dalam kehidupan manusia itu tidaklah penting untuk kita
ketahui, sebab manusia yang najis tidak bisa melahirkan yang suci.
d. Dosa Perbuatan
Adapun dosa perbuatan adalah dosa
yang diperbuat oleh masing-masing pribadi, seperti dosa membunuh, mencuri,
berzinah, dan lain sebagainya. Dosa perbuatan ini menjadi tanggung jawab
masing-masing pribadi. Dosa perbuatan seorang anak tidak akan ditanggung oleh
orang tuanya. Dosa orang tuanya, tidak ditanggung oleh anaknya ataupun oleh
cucunya.
Hal tersebut dapat kita baca dalam Yehezkiel 18:20 :
Hal tersebut dapat kita baca dalam Yehezkiel 18:20 :
“Orang yang berbuat dosa, itu yang harus
mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan
turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat
kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya”.
J.
Verkuyl menjelaskan
demikian,
Berdosa
dengan perbuatan, perkataan dan pikiran. Ini suatu pembedaan penting.
Orang-orang Farisi (dari segala zaman) hanyalah mengenal dosa dalam perbuatan.
Mereka anggap, bahwa seseorang tidak berzinah, apabila ia tidak berbuat zinah.
Mereka mengira, bahwa mereka bukan pembunuh, apabila mereka belum pernah
membunuh orang. Mereka mengira, bahwa mereka bukan pencuri apabila mereka belum
pernah mencuri.[20]
Dosa
perbuatan bukan saja dapat dikatakan ketika seseorang sedang melakukan zinah,
akan tetapi sudah dikatakan zinah apabila ia memandang perempuan serta
mengingininya dalam hati, demikian juga halnya dengan membunuh, mencuri, sudah
dikatakan pembunuh, pencuri, apabila sudah ada keinginan tersebut dalam
hatinya, sekalipun belum melakukannya secara fisik. Dengki, benci, amarah, dan
dendam kesumat itu semua sama dengan pembunuhan, demikian juga halnya dengan
pencurian, segala tipu daya, sifat kikir, dan segala pemborosan serta pemakaian
dengan sia-sia atas pemberian-pemberian-Nya.
R.
Soedarmo menyatakan
bahwa,
Selain dosa yang kita terima dari
keturunan kita, kita juga berbuat dosa sendiri. Sudah barang tentu untuk dosa
perbuatan ini dosa warisan juga berpengaruh. Terutama kerusakan warisan ini
mendatangkan kelemahan kita, hingga kita tidak dapat berbuat yang baik dan
cenderung kepada yang jahat. Akan tetapi manusia tetap menjadi manusia, makhluk
yang berbudi, maka ia dapat memilih. Maka manusia juga yang bertindak sendiri
atau yang berbuat dosa. Dosa inilah yang disebut: Dosa perbuatan.[21]
Adanya
dosa perbuatan merupakan dampak dari dosa warisan yang tetap ada dalam diri
manusia, sehingga manusia tidak mampu lagi berbuat yang baik, dosa adalah pemutusan
kesetiaan kepada Allah. Dan pemutusan ini dimulai di dalam hati.
Thomas Boston: Corruption of life, wickedness,
great wickedness. I understand this of the wickedness of their lives; for it is
plainly distinguished from the wickedness of their hearts. The sin of their
outward conversation were great in the nature of them, and greatly aggravated
by their attendant circumstances: and this not only among those of the race of
cursed Cain, but those of holy seth; the wickedness of man was great.[22]
Korupsi kehidupan, kejahatan, kejahatan besar. Saya mengerti ini dari
kejahatan kehidupan mereka, karena itu jelas dibedakan dari kejahatan hati
mereka. Dosa percakapan lahiriah mereka yang besar dalam sifat mereka, dan
sangat diperparah oleh keadaan penjaga mereka: dan ini tidak hanya di kalangan
orang-orang dari ras mengutuk Kain, tetapi mereka suci seth; kejahatan manusia
besar.
Charles
C. Ryrie menyatakan bahwa,
Semua
orang melakukan dosa secara pribadi, kecuali bayi. Yakobus menegaskan hal
ketika ia mengatakan bahwa kita semua bersalah dalam banyak hal (Yakobus 3:2).
Sebelumnya Paulus juga menderetkan sejumlah dosa dalam Roma pasal 3, ketika ia
mengatakan bahwa semua orang, baik orang Yahudi maupun non – Yahudi, berada di
bawah kuasa dosa (ayat 9). Kemudian ia menegaskan kembali fakta itu dalam ayat
23 bahwa semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah.[23]
Sekalipun bayi yang baru dilahirkan belum
bisa melakukan dosa pribadi, tetapi ia tidak dilahirkan sebagai kertas putih
tanpa noda, ia dikandung dalam dosa sehingga ia juga berada di bawah kuasa
dosa, karena ia memiliki tabiat dosa sehingga memungkin dalam pertumbuhannya
akan melakukan kejahatan, karena sesungguhnya semua orang telah kehilangan
kemuliaan Allah.
e. Hukuman Allah atas Dosa
Berbicara mengenai hukuman Allah atas
dosa merupakan suatu tindakan Allah atas dosa yang diperbuat manusia secara
tepat untuk membedakan yang salah dan benar dan mengakhiri dengan sebuah
keputusan yang benar berdasarkan hukum Allah.
William
Dyrness menyatakan
demikian,
Hukuman Allah pada akhirnya, datang
sebagai tanggapan yang pasti terhadap dosa. “Bahwa dosamu itu akan menimpa
kamu” (Bilangan 32:23). Unsur dasar dalam penghukuman, bahkan ketika dinyatakan
dalam kesendirian dan penderitaan, ialah pemisahan dari Allah (Yesaya 59:2).
Orang yang berdosa tidak dapat menghadap Allah (I Samuel 14:37-41). Hukuman yang
paling hebat adalah dihapuskan dari ”kitab kehidupan” (Mazmur 69:29); sheol
atau dunia orang mati menjadi tempat kediaman orang fasik (Mazmur 49:15).[24]
Dosa
dan kefasikan merupakan tembok pemisah antara Allah dan manusia, sehingga
dengan demikian manusia tidak lagi dapat berkenan di hadapan Allah yang Maha
Kudus dan dunia orang mati menjadi tempat kediaman orang fasik. Oleh karena
dosa merupakan tembok pemisah antara Allah dan manusia maka Allah sendiri
menyediakan pengantara bagi setiap anak-anak Tuhan yang berdosa.
Harun
hadiwijono menyatakan
bahwa,
Selain
hukuman Allah yang akan dinyatakan pada akhir zaman itu Alkitab juga
memberitakan tentang hukuman Allah yang telah dinyatakan pada zaman sekarang
ini. Roma 1:8 umpamanya mengatakan, bahwa murka Allah nyata dari sorga atas
segala kefasikan dan kelaliman manusia. Di sini dinyatakan, bahwa murka Allah
dinyatakan “dari sorga”, atau dapat diterjemahkan dengan “dari langit”, dari
atas, yang berarti, bahwa murka Allah tadi dinyatakan di hadapan segala umat,
hingga dapat diketahui oleh setiap orang.[25]
Alkitab menyatakan banyak penghakiman
Allah di sepanjang sejarah sebagai lukisan-lukisan pendahuluan penghakiman terakhir.
Penghakiman Allah dilukiskan sebagai yang akan datang dalam tahapan-tahapan rencana Allah. Di satu
segi, orang yang tidak bertobat sudah mengalami penghakiman (Yohanes 3:18),
tetapi penghakiman yang terus menerus oleh Allah atas masyarakat dan individu
berfungsi sebagai peringatan yang penuh rahmat bagi mereka agar meninggalkan
kejahatan dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
J.
Wesley Brill menyatakan
bahwa,
Hukuman dosa tidak lain daripada
tindakan Allah terhadap dosa , karena kesucian-Nya. Hukuman ialah kesusahan
atau kesakitan yang diberikan oleh yang memberi hukuman kepada orang yang telah
melanggar hukum itu. Maksud yang terutama dari hukuman bagi dosa bukan untuk
memperbaiki orang yang dihukum, dan bukan untuk menakut-nakuti orang-orang
supaya jangan berbuat dosa, melainkan supaya kesucian Allah dibenarkan.[26]
Begitu merusak dampak kejahatan terhadap
dunia manusia dan alam sehingga seluruh ciptaan sekarang “sama-sama merasa
sakit bersalin” (Roma 8:22), dan Allah memberikaan hukuman kepada manusia untuk
menyatakan kebenaran-Nya serta betapa sucinya Allah yang telah mengadakan
perjanjian yang dilanggar oleh manusia.
Henry
C. Thiessen menjelaskan
bahwa,
Sekalipun benar bahwa sampai taraf
tertentu akibat-akibat yang timbul dari dosa merupakan bagian dari hukuman
terhadap dosa, kita harus ingat bahwa hukuman yang sepenuhnya berbeda sifatnya.
Kebejatan dan kesalahan sebagai akibat dosa, dialami manusia sekarang ini,
tetapi hukuman sepenuhnya akan dijatuhkan pada masa yang akan datang.[27]
Hukuman
Allah sepenuhnya akan dijatuhkan pada masa yang akan datang di mana
masing-masing umat yang jahat dan umat pilihan Allah yang telah dibenarkan akan
dipisahkan. Umat yang jahat akan tinggal di luar dan akan menjalani hukuman
yang kekal (Wahyu 22:15), sementara orang benar atau umat pilihan Allah akan
disambut ke dalam hadirat Allah untuk selamanya (Wahyu 21:3-4).
[10]
A. A Hodge, The Confession Of Faith, first published, The Banner Of Truth
Trust, Pennsylvania, 1869, pg. 105.
[18]
R. L. Dabney, Systematic Theology, Second edition,
Presbyterian Publishing Company Of ST. LOUIS, Washington, 1878, pg. 321.
[22]
Thomas Boston, Human Nature In Its Fourfold State, The
Banner Of Truth Trust, Pennsylvania, 1997, pg. 60.
[24]
William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama,
cet ke-2, Gandum Mas, Malang, 1992, h. 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar