aMSaL

BaGi DuNia KiTa HaNYaLaH SeSeoRaNG, BaGi SeSeoRaNG KiTaLaH DuNiaNYa

Jumat, 01 Februari 2013

GMKI: LIFE NOT JUST EXISTENCE

Sebuah refleksi theologis

HISTORIS
            GMKI mempunyai sejarah hidup yang tidak pendek. Dalam perjalanan hidupnya itu tentu ada dinamika yang bersifat “ideologis” dan dinamika yang bersifat praktis/pragmatis. Dinamika yang bersifat praktis/pragmatis mungkin amat sangat bervariasi, karena sangat kena mengena dengan keadaan sesewaktu dan mungkin agak “manusia sentris” (artinya agak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pribadi manusianya). Meskipun demikian dinamika yang bersifat praktis/pragmatis itu tentunya selalu berkaitan dengan dinamika yang bersifat “teologis” tadi. Sebaliknya dinamika yang bersifat “ideologis” mestinya tidak banyak bervariasi, tetapi “mengalir” terus seperti “benang merah” yang secara konsisten menghubungkan segala sesuatu yang ada dan hidup di dalam tubuh GMKI sepanjang sejarahnya. Dinamika yang bersifat “ideologis” itu mestinya merupakan “Leit Motif” yang menjadi semacam kerangka dasar, sumber inspirasi, sumber koreksi dan sekaligus pengarah bagi segala sesuatu yang dilakukan oleh GMKI sepanjang hidupnya. Segala sesuatu yang tumbuh, dilakukan dan tidak dilakukan oleh GMKI mestinya bersumber dari “Leit Motif” itu.
            Dinamika yang bersifat praktis/pragmatis dapat disimak dalam program-program dan kegiatan GMKI, sedangkan dinamika yang bersifat “ideologis” dapat disimak antara lain dalam tema-tema dan sub-sub tema serta uraian/deliberasinya yang dipakai dan dihasilkan dalam semua kegiatan sepanjang sejarah hidup tersebut.
            Sementara itu perlu juga dilakukan penilitian terhadap dinamika realitas kontekstual dimana GMKI selama ini hidup. Realitas kontekstual itu mencakup berbagai bidang, seperti gereja, masyarakat, bangsa, negara, ideologi, perguruan tinggi, mahasiswa, sosial-ekonomi-politik, agama, bahkan militer, secara nasional maupun internasional/global,  dengan semua kecenderungannya. Penilitian ini memang tidak ringan dan juga tidak murah. Tetapi dari kajian seperti itu akan nampak, apakah selama ini GMKI lebih merupakan organisasi yang mengacu kepada sebuah life atau living.
            Pokok ini rasanya menjadi makin urgent mengingat banyaknya pengamat yang mengatakan, bahwa beberapa tahun belakangan ini organisasi kemahasiswaan tradisional, khususnya di Indonesia, mengalami lesu darah dan disorientasi yang sangat serius. Sebaliknya organisasi kemahasiswaan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat rohani, pribadi dan fundamentalistis nampak makin “subur”. Pengamatan sekilas memberikan kesan bahwa “lesu darah” itu rupanya terjadi oleh dua hal. Pertama, ‘Leit Motif’ yang dirasa mampu dan handal, ternyata sekarang agak tumpul dan mandul. Kurang memberikan motivasi, semangat dan wawasan; ‘Leit Motif’ itu dirasa tidak lagi begitu menyapa dan menyentuh para mahasiswa, dan karena itu ia dibiarkan berjalan sendiri tanpa minat. Kedua, minat para mahasiswa sudah bergeser karena banyak hal yang semula diperjuangkannya sekarang sudah terpenuhi, baik oleh perjuangan mereka sendiri atau oleh kerja keras pihak lain. Mereka memerlukan hal yang baru yang lebih menarik dan menyapa mereka. Hal baru itu mereka cari (dan mungkin mereka temukan) diluar organisasi kemahasiswaan yang tradisional. Sementara itu realitas kontekstual para mahasiswa itu sudah berubah dan tidak lagi seperti dahulu, seiring dengan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, lahan yang menjadi ajang dan sasaran perjungan tradisional sudah makin sempit, atau bahkan mungkin tidak ada lagi, dan tiba-tiba saja organisasi bersangkutan menemukan dirinya disoriented. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa organisasi kemahasiswaan yang baru, yang tidak tradisional, memang benar-benar menyentuh dan menyapa para mahasiswa, apalagi secara radikal dan mendasar. Ada kemungkinan organsisasi kemahasiswaan yang baru tersebut lebih merupakan suatu gejala superfisial, yang juga akan segera “lesu darah” karena tidak mempunyai Leit Motif yang jelas dan konsisten.
            Lebih lanjut pengamatan kita memberikan kesan, bahwa munculnya semua gejala yang disebutkan diatas mempunyai hubungan yang erat dengan kenyataan, bahwa dewasa ini menjadi mahasiswa itu begitu mudah dan bersifat masal. Sehingga mutu mereka cenderung memprihatinkan. Menunaikan hak dan kewajiban mereka sebagai mahasiswa saja sudah merupakan persoalan, apalagi berorganisasi.
            Kalau secara historis kita bisa mengantisipasi realitas kontekstual yang akan datang secara akurat, barangkali organisasi kemahasiswaan termasuk GMKI, akan bisa lebih kreatif dalam mengungkapkan “Leit Motif” yang manjadi kekhasannya sedemikian rupa sehingga tidak lagi “lesu darah”.
LIFE NOT JUST EXISTENCE
            Ada baiknya kita berusaha untuk kesekian kalinya, mengkaji ulang dasar dan tujuan eksistensi organisasi ini. Usaha ini perlu dilakukan seobjektif mungkin, untuk menghindarkan sikap dogmatis dan fanatis. Masihkah semboyan Ut Omnes Unum Sint (Yohanes 17:11, 21) relevan dan tekstual untuk realitas sekarang? Atau mungkin sudah waktunya, sesuai dengan kekhasan sebagai organsiasi mahasiswa Kristen, mengartikulasikan eksistensinya dengan semboyan yang lain? Masalah ini menjadi makin mendesak kalau kita kaitkan dengan tujuan keberadaan organisasi ini. Pemahaman yang kontekstual tentang tujuan keberadaan suatu persekutuan Kristen, termasuk organisasi seperti GMKI, akan membantu artikulasi itu. Dalam hubungan ini ada baiknya kita secara sekilas melihat sejarah keberadaan persekutuan umat TUHAN seperti yang dituturkan dalam Alkitab.
            Sejak permulaan diciptakannya, persekutuan umat TUHAN itu selalu ditempatkan oleh TUHAN didalam panggung sejarah umat manusia secara kontekstual. Tidak pernah persekutuan umat TUHAN berada dalam suatu keberadaannya didalam realitas konteks itu umat TUHAN menjadi umat yang bukan hanya existing tetapi living. Masalahnya adalah mereka itu living untuk apa? Sejarah mereka menunjukkan, bahwa ada masa-masa tertentu dimana mereka berusaha keras untuk exist bagi diri mereka sendiri. Mereka berusaha menjadi bangsa yang besar, punya nama, bahkan menguasai bangsa-bangsa lain. Raja Daud adalah simbol ‘positif’ sedang Yunus adalah simbol ‘negatif’ dari keberadaan seperti ini. Tetapi tidak sedikit masa dimana umat TUHAN justru harus bergumul dengan dan di tengah-tengah kancah bangsa-bangsa secara luas, bukan utamanya untuk living tapi survive dan exist. Keberadaan mereka di tanah Mesir zaman Firaun, sebagian masa pembuangan ke Babel, dan umat Kristen zaman Perjanjian Baru, adalah contoh dari keberadaan seperti itu. Dilihat dari sudut pandang umat TUHAN sendiri, pengalaman sejarah seperti itu merupakan perjuangan untuk exist bagi diri mereka sendiri. Hal itu nampak wajar saja. Tapi dilihat sudut pandang theologis, kita dengan susah payah mengetahui, bahwa existence mereka itu bukanlah tujuan akhir mereka. Tujuan akhir mereka adalah living, dalam arti hidup bersama, di tengah-tengah dan bagi semua orang, bangsa dan umat di bumi. Semua introvertisme dan egoisme adalah sebagian kecil dari tujuan keberadaan mereka. Tujuan keberadaan mereka yang sejati adalah living bersama, di tengah-tengah dan bagi semua orang. Mereka pernah sangat enggan melakukan living seperti ini. Tapi TUHAN selalu mereorientasikan mereka kepada tujuan yang sejati, yaitu living and not just existing. Hal itu terbukti dari semua kegagalan yang meeka alami setiap kali mereka berusaha mengutamakan existence mereka sendiri. Malah kita bisa mengatakan, kelestarian existence mereka justru terjadi karena TUHAN memaksa mengutamakan living dan bukan existence. Existence itu mandeg, sebaliknya living itu berkesinambungan. Existence cenderung eksklusif, sedangkan living cenderung relasional dan bermakna. Ketaatan kepada TUHAN berarti memberlakukan living, sedangkan mementingkan diri sendiri berarti existence.
            Sejarah umat TUHAN sampai dengan abad ini masih berkisar pada dua pilihan itu: existence atau living. Memang umat Kristen pernah seperti berhasil mewujudkan existence-nya selama beberapa abad. Keberhasilan itu ditandai dengan adanya sebutan ‘Christendom’ yang kira-kira sama dengan hegemoni Kristen atau berlakunya kuasa kekristenan terhadap seluruh (?) dunia. Namun masa seperti itu sekarang tidak ada lagi. Bahkan banyak orang Kristen sendiri yang mulai meninggalkan sikap dan mental triumfalistis yang pernah dilekatkan pada kekristenan. Tahap mutakhir dari kesadaran akan pentingnya living di atas existence nampak dalam semboyan akhir-akhir ini, yaitu Justice, Peace and Integrated of Creation atau Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC).
            Konsekuensi logis dari sejarah umat TUHAN seperti itu ialah bahwa organisasi Kristen seperti GMKI tidak bisa punya pilihan lain kecuali taat kepada TUHAN-nya. Artinya satu-satunya pilihan adalah living and not just existing, atau live not just existence, hidup ditengah, bersama dan bagi semua orang. Selanjutnya pertanyaan besar yang muncul dalam kaitannya dengan living/life ini ialah: untuk apa life/living itu?
PRO-EXISTENCE (CON VIVENS)
            Sebelum menjawab pertanyaan besar itu, baiklah sekali lagi kita jelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah itu. Kita telah memakai dua istilah. Yang dimaksud dengan exist(ence) adalah hidup untuk diri sendiri, yang sering mandeg, eksklusif, egoistis, introvert, untuk kepentingan diri sendiri. Sedang yang dimaksud dengan life (living) adalah hidup ditengah, bersama dan bagi/untuk semua orang.
Dalam rangka menjawab pertanyaan besar tersebut, kita perlu mengamati apa yang selama ini terjadi dengan life/living itu, khususnya di kalangan persekutuan/ umat Kristen. Banyak orang dan persekutuan Kristen yang memang memberlakukan life/living itu, yaitu hidup ditengah-tengah, bersama dan bagi semua orang. Namun tingkat kebermaknaannya secara optimal baru sampai pada menjawab pertanyaan: bagaimana semua orang/pihak bisa hidup rukun satu dengan lain. Hal itu nampak baik, meskipun juga tidak sepi dari kelemahan. Diatas semua itu, dan ini jauh lebih mendasar dari segalanya, ada satu hal yang belum diberlakukan dengan sadar dan sengaja, yaitu bahwa sebenarnya semua orang/pihak bergantung satu dengan yang lain. Saling ketergantungan itu mempunyai implikasi, bahwa setiap orang/pihak memerlukan orang/pihak yang lain. Dia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Dia hidup justru oleh karena ada orang/pihak lain itu. Seandainya orang/pihak lain tidak ada, maka dia pun ikut tidak ada. Kehidupan yang seperti itulah yang sebenarnya menjadi tujuan dari life/living tadi. Dan tujuan life/living yang seperti itu yang sekarang ini disebut dengan istilah “pro-existence” atau “con vevens”. Dengan perkataaan lain, tujuan dari pro-existence atau con vivens, yaitu kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan lestari. Di dalam kehidupan seperti itu semua istilah yang berkonotasi perpecahan tidak berlaku. Disitu tidak ada orang/pihak yang menentukan dan yang ditentukan; tidak ada yang mendominasi dan yang didominasi; tidak ada yang kuat dan yang lemah; tidak ada yang mayor dan yang minor; dan seterusnya. Yang ada adalah saling ketergantungan yang menentukan nasib semua orang/pihak secara bersama-sama. Pro-existence atau con-vivens menjadi semakin urgen ditengah-tengah dinamika sejarah global yang jarang sehat dan rawan kehancuran ini.
G M K I
            Bahwa GMKI exist adalah sudah jelas. Apakah GMKI living? Pertanyaan ini perlu dijawab. Jawabannya adalah lewat program-program yang mengacu kepada tujuan living-nya itu. Masalahnya adalah bahwa untuk suatu masa bakti suatu kepengurusan yang hanya beberapa tahun saja, apa yang bisa dilakukan secara dasariah yang sekaligus mengacu kepada pro-existence atau con vivens itu. Beberapa pengamat telah mengatakan bahwa untuk kedepan masalah persatuan bangsa, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakmerataan, ketidakadilan sosial dan kemiskinan masih akan menjadi masalah dan tanggungjawan kita. Pengamat yang lain mengatakan bahwa masalah hukum – khususnya di Indoensia – jauh lebih serius. Yang lain mengatakan bahwa masalah pendidikan yang paling lebih serius. Dan yang lain mengatakan bahwa seragamisasi, khususnya yang dislogani dengan perkataan “demi/untuk pembangunan dll”, sesegala bidang merupakan kendala utama bagi kreatifitas masyarakat, dan demikian seterusnya, tergantung minat para pengamatnya. Sementara pembangunan berlangsung terus, meskipun fragmementaris (kurang terpadu), sehingga yang untung terus mendapatkan keuntungan. Dari situasi yang demikian, maka peluang yang dapat dilihat adalah bagaimana semua pihak saling membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi secara menyeluruh dan agar dapat dicari jalan keluar yang tepat secara bersama-sama pula.
            Dalam (mencari dan) memanfaatkan peluang itu, nampaknya ada semangat yang hampir diberlakukan oleh berbagai – kalau tidak semua – pihak, yaitu semangat saling berpacu. Berpacu itu nampaknya baik saja, karena bisa menggugah kreatifitas. Tapi kalau semua orang/pihak berpacu bersama-sama untuk memperjuangkan kemenangannya sendiri, maka cepat atau lambat mereka akan saling berbenturan (collided), yang pada gilirannya akan menghancurkan semua pihak. Karena itu seyogyanya GMKI menjauhkan diri dari semangat berpacu melawan pihak lain itu. Semangat berpacu yang harus ditumbuhkembangkan adalah justru semangat berpacu untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan benturan dan sebaliknya “menyelamatkan” semua pihak (pro-existence atau con vivens) dari kehancuran bersama itu. Disinilah iman, kesetiaan dan ketaatan kepada TUHAN yang Hidup, Yesus Sang KRISTUS, dan ROH Kudus, menjadi final. Artinya, kita mengusahakan semua yang dapat kita lakukan untuk pro-existence atau con vivens itu dengan yakin seyakin-yakinnya, bahwa apa yang kita lakukan adalah bagian dari yang dilakukan TUHAN, dan kita tidak memihak kepada siap-siapa kecuali kepada DIA saja. TUHANlah penolong dan kekuatan kita. Sama seperti nabi Yeheskiel, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Berhasil tidaknya bukan utamanya masalah kita. Tetapi celakalah kita kalau kita tidak melakukan panggilan kita sama sekali (Yeh. 3).
            Berdasarkan uraian di atas, maka tema dari Kitab Amos 5:6a rasanya sangat tepat: “carilah TUHAN, maka kamu akan hidup”. Tugas berikutnya adalah bagaimana kita menjabarkan dalam program-program nyata dan rata dalam kurun waktu masa bakti yang akan datang. Untuk itu perkenankan kami mengusulkan agar antara lain:
a.         Program-program itu bersifat nyata, melibatkan sebanyak mungkin anggota dimana-mana;
b.         Program-program itu bersifat pengembangan penalaran, dengan harapan bahwa disamping akan terjalin kerja juga tumbuh jaringan penalaran yang berbobot;
c.         Pemanfaatan media massa, khususnya media cetak yang ada, digalakkan dengan tulisan-tulisan pribadi para anggota GMKI di mana saja, yang mengungkapkan keprihatianan terhadap pokok-pokok yang disebut dalam uraian diatas (pro existence/con vivens);
d.        Lasat but not least, para anggota GMKI, baik pimpinan maupun anggota biasa di semua aras dan tempat, diminta untuk menjalin pergaulan pribadi yang sebaik-baiknya dengan oknum pejabat sipil dan militer, mengisis pergaulan itu dengan simpati terhadap tangggungjawab mereka yang tidak ringan (apapun isi tanggungjawab itu), dan sharing pokok pikiran, secara positif, realistis, kritis dan konstruktif; hindarkanlah sikap menuntut/claiming, sebab sikap seperti ini cenderung berkonotasi ‘menambah beban’ para oknum tersebut.
Sumber: Oleh : Prof. S. Wismoady Wahono, Ph. D| dian pustaka | no 4 thn II, mei 1992 | hal 60-65.

“Kalau semua orang tidak menyukai sesuatu, mak itu harus dipertimbangkan.
Kalau semua orang menyukainya, maka itu harus dipertimbangkan” (Khong Hu Tju)

Kata kata

Cintailah seseorang sepenuhnya, termasuk kekurangannya, dan suatu saat kamu akan pantas mendapatkan yang terbaik darinya.

SESUATU YANG BERHARGA

Terkadang, Tuhan menghilangkan sesuatu yang sangat berarti dari genggamanmu, agar kamu menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik.