aMSaL

BaGi DuNia KiTa HaNYaLaH SeSeoRaNG, BaGi SeSeoRaNG KiTaLaH DuNiaNYa

Jumat, 01 Februari 2013

GMKI: LIFE NOT JUST EXISTENCE

Sebuah refleksi theologis

HISTORIS
            GMKI mempunyai sejarah hidup yang tidak pendek. Dalam perjalanan hidupnya itu tentu ada dinamika yang bersifat “ideologis” dan dinamika yang bersifat praktis/pragmatis. Dinamika yang bersifat praktis/pragmatis mungkin amat sangat bervariasi, karena sangat kena mengena dengan keadaan sesewaktu dan mungkin agak “manusia sentris” (artinya agak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pribadi manusianya). Meskipun demikian dinamika yang bersifat praktis/pragmatis itu tentunya selalu berkaitan dengan dinamika yang bersifat “teologis” tadi. Sebaliknya dinamika yang bersifat “ideologis” mestinya tidak banyak bervariasi, tetapi “mengalir” terus seperti “benang merah” yang secara konsisten menghubungkan segala sesuatu yang ada dan hidup di dalam tubuh GMKI sepanjang sejarahnya. Dinamika yang bersifat “ideologis” itu mestinya merupakan “Leit Motif” yang menjadi semacam kerangka dasar, sumber inspirasi, sumber koreksi dan sekaligus pengarah bagi segala sesuatu yang dilakukan oleh GMKI sepanjang hidupnya. Segala sesuatu yang tumbuh, dilakukan dan tidak dilakukan oleh GMKI mestinya bersumber dari “Leit Motif” itu.
            Dinamika yang bersifat praktis/pragmatis dapat disimak dalam program-program dan kegiatan GMKI, sedangkan dinamika yang bersifat “ideologis” dapat disimak antara lain dalam tema-tema dan sub-sub tema serta uraian/deliberasinya yang dipakai dan dihasilkan dalam semua kegiatan sepanjang sejarah hidup tersebut.
            Sementara itu perlu juga dilakukan penilitian terhadap dinamika realitas kontekstual dimana GMKI selama ini hidup. Realitas kontekstual itu mencakup berbagai bidang, seperti gereja, masyarakat, bangsa, negara, ideologi, perguruan tinggi, mahasiswa, sosial-ekonomi-politik, agama, bahkan militer, secara nasional maupun internasional/global,  dengan semua kecenderungannya. Penilitian ini memang tidak ringan dan juga tidak murah. Tetapi dari kajian seperti itu akan nampak, apakah selama ini GMKI lebih merupakan organisasi yang mengacu kepada sebuah life atau living.
            Pokok ini rasanya menjadi makin urgent mengingat banyaknya pengamat yang mengatakan, bahwa beberapa tahun belakangan ini organisasi kemahasiswaan tradisional, khususnya di Indonesia, mengalami lesu darah dan disorientasi yang sangat serius. Sebaliknya organisasi kemahasiswaan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat rohani, pribadi dan fundamentalistis nampak makin “subur”. Pengamatan sekilas memberikan kesan bahwa “lesu darah” itu rupanya terjadi oleh dua hal. Pertama, ‘Leit Motif’ yang dirasa mampu dan handal, ternyata sekarang agak tumpul dan mandul. Kurang memberikan motivasi, semangat dan wawasan; ‘Leit Motif’ itu dirasa tidak lagi begitu menyapa dan menyentuh para mahasiswa, dan karena itu ia dibiarkan berjalan sendiri tanpa minat. Kedua, minat para mahasiswa sudah bergeser karena banyak hal yang semula diperjuangkannya sekarang sudah terpenuhi, baik oleh perjuangan mereka sendiri atau oleh kerja keras pihak lain. Mereka memerlukan hal yang baru yang lebih menarik dan menyapa mereka. Hal baru itu mereka cari (dan mungkin mereka temukan) diluar organisasi kemahasiswaan yang tradisional. Sementara itu realitas kontekstual para mahasiswa itu sudah berubah dan tidak lagi seperti dahulu, seiring dengan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, lahan yang menjadi ajang dan sasaran perjungan tradisional sudah makin sempit, atau bahkan mungkin tidak ada lagi, dan tiba-tiba saja organisasi bersangkutan menemukan dirinya disoriented. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa organisasi kemahasiswaan yang baru, yang tidak tradisional, memang benar-benar menyentuh dan menyapa para mahasiswa, apalagi secara radikal dan mendasar. Ada kemungkinan organsisasi kemahasiswaan yang baru tersebut lebih merupakan suatu gejala superfisial, yang juga akan segera “lesu darah” karena tidak mempunyai Leit Motif yang jelas dan konsisten.
            Lebih lanjut pengamatan kita memberikan kesan, bahwa munculnya semua gejala yang disebutkan diatas mempunyai hubungan yang erat dengan kenyataan, bahwa dewasa ini menjadi mahasiswa itu begitu mudah dan bersifat masal. Sehingga mutu mereka cenderung memprihatinkan. Menunaikan hak dan kewajiban mereka sebagai mahasiswa saja sudah merupakan persoalan, apalagi berorganisasi.
            Kalau secara historis kita bisa mengantisipasi realitas kontekstual yang akan datang secara akurat, barangkali organisasi kemahasiswaan termasuk GMKI, akan bisa lebih kreatif dalam mengungkapkan “Leit Motif” yang manjadi kekhasannya sedemikian rupa sehingga tidak lagi “lesu darah”.
LIFE NOT JUST EXISTENCE
            Ada baiknya kita berusaha untuk kesekian kalinya, mengkaji ulang dasar dan tujuan eksistensi organisasi ini. Usaha ini perlu dilakukan seobjektif mungkin, untuk menghindarkan sikap dogmatis dan fanatis. Masihkah semboyan Ut Omnes Unum Sint (Yohanes 17:11, 21) relevan dan tekstual untuk realitas sekarang? Atau mungkin sudah waktunya, sesuai dengan kekhasan sebagai organsiasi mahasiswa Kristen, mengartikulasikan eksistensinya dengan semboyan yang lain? Masalah ini menjadi makin mendesak kalau kita kaitkan dengan tujuan keberadaan organisasi ini. Pemahaman yang kontekstual tentang tujuan keberadaan suatu persekutuan Kristen, termasuk organisasi seperti GMKI, akan membantu artikulasi itu. Dalam hubungan ini ada baiknya kita secara sekilas melihat sejarah keberadaan persekutuan umat TUHAN seperti yang dituturkan dalam Alkitab.
            Sejak permulaan diciptakannya, persekutuan umat TUHAN itu selalu ditempatkan oleh TUHAN didalam panggung sejarah umat manusia secara kontekstual. Tidak pernah persekutuan umat TUHAN berada dalam suatu keberadaannya didalam realitas konteks itu umat TUHAN menjadi umat yang bukan hanya existing tetapi living. Masalahnya adalah mereka itu living untuk apa? Sejarah mereka menunjukkan, bahwa ada masa-masa tertentu dimana mereka berusaha keras untuk exist bagi diri mereka sendiri. Mereka berusaha menjadi bangsa yang besar, punya nama, bahkan menguasai bangsa-bangsa lain. Raja Daud adalah simbol ‘positif’ sedang Yunus adalah simbol ‘negatif’ dari keberadaan seperti ini. Tetapi tidak sedikit masa dimana umat TUHAN justru harus bergumul dengan dan di tengah-tengah kancah bangsa-bangsa secara luas, bukan utamanya untuk living tapi survive dan exist. Keberadaan mereka di tanah Mesir zaman Firaun, sebagian masa pembuangan ke Babel, dan umat Kristen zaman Perjanjian Baru, adalah contoh dari keberadaan seperti itu. Dilihat dari sudut pandang umat TUHAN sendiri, pengalaman sejarah seperti itu merupakan perjuangan untuk exist bagi diri mereka sendiri. Hal itu nampak wajar saja. Tapi dilihat sudut pandang theologis, kita dengan susah payah mengetahui, bahwa existence mereka itu bukanlah tujuan akhir mereka. Tujuan akhir mereka adalah living, dalam arti hidup bersama, di tengah-tengah dan bagi semua orang, bangsa dan umat di bumi. Semua introvertisme dan egoisme adalah sebagian kecil dari tujuan keberadaan mereka. Tujuan keberadaan mereka yang sejati adalah living bersama, di tengah-tengah dan bagi semua orang. Mereka pernah sangat enggan melakukan living seperti ini. Tapi TUHAN selalu mereorientasikan mereka kepada tujuan yang sejati, yaitu living and not just existing. Hal itu terbukti dari semua kegagalan yang meeka alami setiap kali mereka berusaha mengutamakan existence mereka sendiri. Malah kita bisa mengatakan, kelestarian existence mereka justru terjadi karena TUHAN memaksa mengutamakan living dan bukan existence. Existence itu mandeg, sebaliknya living itu berkesinambungan. Existence cenderung eksklusif, sedangkan living cenderung relasional dan bermakna. Ketaatan kepada TUHAN berarti memberlakukan living, sedangkan mementingkan diri sendiri berarti existence.
            Sejarah umat TUHAN sampai dengan abad ini masih berkisar pada dua pilihan itu: existence atau living. Memang umat Kristen pernah seperti berhasil mewujudkan existence-nya selama beberapa abad. Keberhasilan itu ditandai dengan adanya sebutan ‘Christendom’ yang kira-kira sama dengan hegemoni Kristen atau berlakunya kuasa kekristenan terhadap seluruh (?) dunia. Namun masa seperti itu sekarang tidak ada lagi. Bahkan banyak orang Kristen sendiri yang mulai meninggalkan sikap dan mental triumfalistis yang pernah dilekatkan pada kekristenan. Tahap mutakhir dari kesadaran akan pentingnya living di atas existence nampak dalam semboyan akhir-akhir ini, yaitu Justice, Peace and Integrated of Creation atau Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC).
            Konsekuensi logis dari sejarah umat TUHAN seperti itu ialah bahwa organisasi Kristen seperti GMKI tidak bisa punya pilihan lain kecuali taat kepada TUHAN-nya. Artinya satu-satunya pilihan adalah living and not just existing, atau live not just existence, hidup ditengah, bersama dan bagi semua orang. Selanjutnya pertanyaan besar yang muncul dalam kaitannya dengan living/life ini ialah: untuk apa life/living itu?
PRO-EXISTENCE (CON VIVENS)
            Sebelum menjawab pertanyaan besar itu, baiklah sekali lagi kita jelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah itu. Kita telah memakai dua istilah. Yang dimaksud dengan exist(ence) adalah hidup untuk diri sendiri, yang sering mandeg, eksklusif, egoistis, introvert, untuk kepentingan diri sendiri. Sedang yang dimaksud dengan life (living) adalah hidup ditengah, bersama dan bagi/untuk semua orang.
Dalam rangka menjawab pertanyaan besar tersebut, kita perlu mengamati apa yang selama ini terjadi dengan life/living itu, khususnya di kalangan persekutuan/ umat Kristen. Banyak orang dan persekutuan Kristen yang memang memberlakukan life/living itu, yaitu hidup ditengah-tengah, bersama dan bagi semua orang. Namun tingkat kebermaknaannya secara optimal baru sampai pada menjawab pertanyaan: bagaimana semua orang/pihak bisa hidup rukun satu dengan lain. Hal itu nampak baik, meskipun juga tidak sepi dari kelemahan. Diatas semua itu, dan ini jauh lebih mendasar dari segalanya, ada satu hal yang belum diberlakukan dengan sadar dan sengaja, yaitu bahwa sebenarnya semua orang/pihak bergantung satu dengan yang lain. Saling ketergantungan itu mempunyai implikasi, bahwa setiap orang/pihak memerlukan orang/pihak yang lain. Dia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Dia hidup justru oleh karena ada orang/pihak lain itu. Seandainya orang/pihak lain tidak ada, maka dia pun ikut tidak ada. Kehidupan yang seperti itulah yang sebenarnya menjadi tujuan dari life/living tadi. Dan tujuan life/living yang seperti itu yang sekarang ini disebut dengan istilah “pro-existence” atau “con vevens”. Dengan perkataaan lain, tujuan dari pro-existence atau con vivens, yaitu kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan lestari. Di dalam kehidupan seperti itu semua istilah yang berkonotasi perpecahan tidak berlaku. Disitu tidak ada orang/pihak yang menentukan dan yang ditentukan; tidak ada yang mendominasi dan yang didominasi; tidak ada yang kuat dan yang lemah; tidak ada yang mayor dan yang minor; dan seterusnya. Yang ada adalah saling ketergantungan yang menentukan nasib semua orang/pihak secara bersama-sama. Pro-existence atau con-vivens menjadi semakin urgen ditengah-tengah dinamika sejarah global yang jarang sehat dan rawan kehancuran ini.
G M K I
            Bahwa GMKI exist adalah sudah jelas. Apakah GMKI living? Pertanyaan ini perlu dijawab. Jawabannya adalah lewat program-program yang mengacu kepada tujuan living-nya itu. Masalahnya adalah bahwa untuk suatu masa bakti suatu kepengurusan yang hanya beberapa tahun saja, apa yang bisa dilakukan secara dasariah yang sekaligus mengacu kepada pro-existence atau con vivens itu. Beberapa pengamat telah mengatakan bahwa untuk kedepan masalah persatuan bangsa, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakmerataan, ketidakadilan sosial dan kemiskinan masih akan menjadi masalah dan tanggungjawan kita. Pengamat yang lain mengatakan bahwa masalah hukum – khususnya di Indoensia – jauh lebih serius. Yang lain mengatakan bahwa masalah pendidikan yang paling lebih serius. Dan yang lain mengatakan bahwa seragamisasi, khususnya yang dislogani dengan perkataan “demi/untuk pembangunan dll”, sesegala bidang merupakan kendala utama bagi kreatifitas masyarakat, dan demikian seterusnya, tergantung minat para pengamatnya. Sementara pembangunan berlangsung terus, meskipun fragmementaris (kurang terpadu), sehingga yang untung terus mendapatkan keuntungan. Dari situasi yang demikian, maka peluang yang dapat dilihat adalah bagaimana semua pihak saling membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi secara menyeluruh dan agar dapat dicari jalan keluar yang tepat secara bersama-sama pula.
            Dalam (mencari dan) memanfaatkan peluang itu, nampaknya ada semangat yang hampir diberlakukan oleh berbagai – kalau tidak semua – pihak, yaitu semangat saling berpacu. Berpacu itu nampaknya baik saja, karena bisa menggugah kreatifitas. Tapi kalau semua orang/pihak berpacu bersama-sama untuk memperjuangkan kemenangannya sendiri, maka cepat atau lambat mereka akan saling berbenturan (collided), yang pada gilirannya akan menghancurkan semua pihak. Karena itu seyogyanya GMKI menjauhkan diri dari semangat berpacu melawan pihak lain itu. Semangat berpacu yang harus ditumbuhkembangkan adalah justru semangat berpacu untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan benturan dan sebaliknya “menyelamatkan” semua pihak (pro-existence atau con vivens) dari kehancuran bersama itu. Disinilah iman, kesetiaan dan ketaatan kepada TUHAN yang Hidup, Yesus Sang KRISTUS, dan ROH Kudus, menjadi final. Artinya, kita mengusahakan semua yang dapat kita lakukan untuk pro-existence atau con vivens itu dengan yakin seyakin-yakinnya, bahwa apa yang kita lakukan adalah bagian dari yang dilakukan TUHAN, dan kita tidak memihak kepada siap-siapa kecuali kepada DIA saja. TUHANlah penolong dan kekuatan kita. Sama seperti nabi Yeheskiel, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Berhasil tidaknya bukan utamanya masalah kita. Tetapi celakalah kita kalau kita tidak melakukan panggilan kita sama sekali (Yeh. 3).
            Berdasarkan uraian di atas, maka tema dari Kitab Amos 5:6a rasanya sangat tepat: “carilah TUHAN, maka kamu akan hidup”. Tugas berikutnya adalah bagaimana kita menjabarkan dalam program-program nyata dan rata dalam kurun waktu masa bakti yang akan datang. Untuk itu perkenankan kami mengusulkan agar antara lain:
a.         Program-program itu bersifat nyata, melibatkan sebanyak mungkin anggota dimana-mana;
b.         Program-program itu bersifat pengembangan penalaran, dengan harapan bahwa disamping akan terjalin kerja juga tumbuh jaringan penalaran yang berbobot;
c.         Pemanfaatan media massa, khususnya media cetak yang ada, digalakkan dengan tulisan-tulisan pribadi para anggota GMKI di mana saja, yang mengungkapkan keprihatianan terhadap pokok-pokok yang disebut dalam uraian diatas (pro existence/con vivens);
d.        Lasat but not least, para anggota GMKI, baik pimpinan maupun anggota biasa di semua aras dan tempat, diminta untuk menjalin pergaulan pribadi yang sebaik-baiknya dengan oknum pejabat sipil dan militer, mengisis pergaulan itu dengan simpati terhadap tangggungjawab mereka yang tidak ringan (apapun isi tanggungjawab itu), dan sharing pokok pikiran, secara positif, realistis, kritis dan konstruktif; hindarkanlah sikap menuntut/claiming, sebab sikap seperti ini cenderung berkonotasi ‘menambah beban’ para oknum tersebut.
Sumber: Oleh : Prof. S. Wismoady Wahono, Ph. D| dian pustaka | no 4 thn II, mei 1992 | hal 60-65.

“Kalau semua orang tidak menyukai sesuatu, mak itu harus dipertimbangkan.
Kalau semua orang menyukainya, maka itu harus dipertimbangkan” (Khong Hu Tju)

Selasa, 22 Januari 2013

KEDATANGAN AGAMA MASEHI DI INDONESIA (2)


BEBERAPA PERATURAN POKOK:
            Beberapa peraturan pokok yang berkenan dengan Agama Masehi dari masa Pemerintahan Hindia Belanda dapar dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
1.      Mengenai Agama pada umumnya;
2.      Mengenai penyiaran dan;
3.      Mengenai kegerejaan, sebagai berikut:
Mengenai Agama pada umumnya: Indische Staatsregeling 1854:
Pasal 173: Leder belijd zijn godsdienstige meeningen met volkomen vrijheid, behoudens de besscherming der maatschapij en harer leden tegen de overtreding der algemeene verordeningen op het strafrecht ( Tiap-tiap orang menganut paham agamanya masing-masing dengan kemerdekaan yang penuh dengan tidak mengurangi perlindungan masyarakat dan anggota-anggotanya terhadap pelanggaran Peraturan Pemerintah mengenai hukum pidana.)
Pasal 174 : (1) Alle openbare godsdienstoefening binnen gebouwen en besloten plaatsen wordt toegelaten, voor zoorver die geene stoornis aan de openbare orde toebrengt. (semua peribadatan di dalam rumah dan tempat-tempat tertutup diijinkan asal tidak mengganggu ketentraman umum.)
                   (2) Tot openbare godsdienstoefening buiten gebouwen en beslooten plaatsen wordt het verlof des Bestuurs vereischt. (Semua peribadatan di luar rumah dan tempat-tempat tertutup harus ada ijin dari Pemerintah.)
Pasal 175 : De Gouverneur Generaal zorgt, dat alle godsdienstige gezindhedenzich houden binnen de palen van gehoorzaamheid aan de algemeene verordeningen. (Gubernur Jenderal menjaga semua aliran-aliran agama tunduk kepada Peraturan-peraturan Pemerintah.)
Pasal-pasal tersebut tidak memerlukan penjelasan dan maksudnya ialah menjaga yang dinamakan “algemeene rust en orde” (keamanan dan ketertiban umum) pada waktu itu.
Mengenai Penyiaran (Indesche Staatsregeling)
Pasal 177:  (1) De Christenleeraars, priester en zendelingen moeten voorzien zijn van eene door of namens den Gouverneur Generaal te verleenen byzondere toelating, om hun dienstwerk in eenig bepaald gedeelte van Nederlandsch Indie te mogen verrchten. (Guru-guru Agama Kristen, Pendeta-pendeta dan padri-padri harus ada ijin masuk yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk mengerjakan kewajiban dalam suatu bagian yang tertentu di Indonesia.)
                   (2) Wanneer die toelating schadelijk wordt bevonden, of de voorwaarden daarvan niet worden nageleefd kan zij door den Gouverneur Generaal worden ingetrokken. (Jika ijin masuk itu dianggap berbahaya, atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditaati, ijin itu dapat ditarik kembali oleh Gubernur Jenderal.
            Pasal ini perlu ditinjau lebih lanjut dan telah menjadi pokok perhatian berbagai pihak, baik di kalangan pemerintahan, lebih-lebih di kalangan umat Kristen, bahkan juga menarik perhatian golongan-golongan lain.
Golongan Penyiar Agama
a). Gereja Masehi Protestan:
            Pasal 177 I.S. tersebut sama bunyinya dengan pasal 123 Regeeringsreglement 1855. Gereja Masehi Protestan telah mulai bekerja sebelum Regeeringsreglemet, sehingga pasal 123 dari peraturan itu tidak berlaku bagi Gereja Masehi Protestan. Untuk tiga jenis golongan pelayanan yang pada waktu itu telah ada, yakni : Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars, baik untuk pengangkatan, pemindahan dan sebagainya telah ada peraturan yang tertentu untuk itu. Tiga golongan pelayanan Gereja tersebut tak perlu harus mempunyai surat ijin seperti yang dimaksudkan dalam pasal 177 I.S. Tetapi kemudian Gereja Masehi Protestan mempunyai pelayan-pelayan yang dinamakan Inslandsch Leeraar (tamatan STOVIL) yang diperlukan untuk pelayanan Jemaat Pribumi. Inslandsch Leeraars ini harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S.
            Setelah diadakan pemisahan administrasi antara Gereja dan Negara (Administratieve Scheiding tusschen Kerk en Staat) pada tahun 1935, maka pengangkatan, penempatan dan sebagainya para Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars dari Gereja Masehi Protestan diserahkan kepada Gereja itu sendiri dengan cara-cara menurut formulier A.B.C. sedangkan ijin menurut pasal 177 masih tetap berlaku bagi Inslandsch Leeraars.
b). Gereja Rum Katolik:
            yang mengenai Gereja Rum Katolik telah ditetapkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan “Nota der punten betreffende de Roomsch Katholieke Kerkaanngelegenheden in Nederlandsch Indie”, yang dicapai antara Mentri Jajahan dengan Wakil Roma, terdiri dari 11 pasal. Dalam penyelesaian sesuatu yang bersangkut paut dengan penempatan para pendeta kita mengenai istilah “Argeatie”. Arti Nota perjanjian tersebut sama dengan arti “Administratieve Scheiding tusschen Kerk en Staat” bagi Gereja Masehi Protestan dan diselesaikan setelah ada persengketaan antara seorang Pastoor dengan Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta.
c). Golongan-Golongan lainnya :
            Semua penyiar agama Masehi yang tidak termasuk dua golongan di atas itu pada azasnya harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S. tadi. Kenyataan yang sebenarnya tidak demikian. Hal itu disebabkan oleh perkataan “dienstwerk” yang dapat ditafsirkan bermacam-macam. Pemerintah dan umum  rupanya menyetujui tafsiran “dienstwerk” dapat berarti khusus pelayanan sesuatu jemaat atau “parochiaal werk” (pekerjaan di kalangan  Jemaat sendiri), sehingga Pendeta-Pendeta gereformeerd Belanda yang melayani Jemaat Gereformeerd Belanda tidak meminta dan tidak mempunyai ijin khusus pasal 177 I.S,. sehingga pendeta-pendeta (Zendelingen, Missionaire Predikanten) dari berbagai golongan yang bekerja di Indonesia meminta dan mempunyai ijin tersebut.
Ada pula para penyiar agama (Guru-guru Injil) yang tidak mempunyai surat ijin itu, karena mereka berkedudukan sebagai pembantu pendeta-pendeta yang telah mempunyai ijin itu, sehingga jaminan terhadap mereka itu diberi oleh pendeta-pendeta yang sudah mempunyainya. Begitu pula oleh Pendeta-pendeta Gereja-Gereja Jawa Timur yang telah berdiri sendiri dan oleh Pendeta Gereja-gereja Jawa Gereformeerd di Jawa Tengah Selatan, ijin tidak diminta, oleh karena mereka beranggapan, bahwa pekerjaannya adalah semata-mata bersifat pelayanan Jemaat dalam lingkungan Gerejanya.
            Dengan singkat dapatlah dikatakan ijin menurut pasal 177 I.S. itu diperlukan dan diberikan, apabila pekerjaan seseorang pendeta atau Guru Injil itu bersifat penyiaran agama keluar, dan dapat dicabut, apabila berbahaya.
Selanjutnya golongan-golongan lainnya seperti Bala Keselamatan (Leger des Heils), Advent, Pentakosta, atau orang-orang yang tiada terikat kepada sesuatu organisasi semuanya mendapat ijin menurut pasal 177 I.S., meskipun kadang-kadang dengan pembatasan.
            Ijin menurut pasal 177 I.S. dapat dicabut dan atau tidak dapat diberikan, apabila, dari pihak instansi-instansi pemerintah yang lain dikemukakan keberatan-keberatan yang penting. Penyelesaian segala sesuatu yang berpautan den pemberian ijin menurut artikel 177 I.S. dilakukan oleh Departemen Onderwijs en Eeredienst, yang kadang-kadang meminta pendapat pula dari Zendingskonsulaat di Jakarta, atau kalau perlu dari instansi Pemerintah lainnya.
            Maksud artikel tersebut ialah untuk menjaga ketertiban umum bagi Pemerintah pada waktu itu serta untuk menjaga apa yang dinamakan “double zending” (penyiar ganda) dalam sesuatu daerah, yang dapat menyebabkan timbulnya persengketaan antara golongan-golongan yang bekerja di daerah tersebut.
            Golongan Masehi berpendapat, bahwa sebenarnya artikel 177 I.S. itu tidak perlu lagi, atau sekurang-kurangnya harus diubah, sebab dianggap adanya soal-soal istimewa yang perlu diperhatikan karena memberi kesukaran dalam pelaksanaannya dengan tepat.
Mengenai kegerejaan: (Indische Staatsregeling);
Pasal 176: In de bestaande inrichting en het bestuur der Christelijke kerkgenootschappen wordt geen verandering gebracht dan met wederzijde goevinden van den Koning en het bestuur van het betrokken kerkgenootschap. (Dalam susunan dan pengurus perkumpulan Kristen yang sudah ada tidak diadakan perubahan kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak. Raja dan Perkumpulan Agama yang bersangkutan).
Pasal ini tidak mengenai Gereja-gereja lain dari pada Gereja Masehi Protestan yang sejak mula ada hubungan khusus dengan pemerintah. Peraturan tentang Gereja-gereja sebagai Badan Hukum, (Rechtspositie van Kerkgenootschappen) yang termaktub dalam Staatsblad tahun 1927 No. 156, 532.
            Keputusan Raja Belanda tahun 1835 mengatakan, bahwa orang-orang Kristen di Indonesia semuanya  termasuk dalam satu Gereja Masehi Protestan yang dipimpin oleh suatu pengurus pusat yang dinamakan Kerkbestuur (Pengurus Jemaat Pusat). Dengan demikian berarti pula bahwa tidak satu jemaat lain akan dapat diakui sah di luar Gereja Masehi Protestan tersebut, kecuali bilamana ia mendapat suatu “akta pemisahan” dari Gereja itu (Ini tidak mengenai Gereja Ingris dan Armenia yang telah disebut di atas).
            Dalam pertengahan abad ke-19 di negeri Belanda terjadi pemisahan Gereja-gereja Gereformeerd dari Gereja yang umum, yang disebut Hervorme Kerk. Setelah itu, di antara Belanda yang datang di Indonesia, terdapat juga penganut/pengikut aliran Gereja Gereformerd tersebut, dan tidak mau dimasukkan dalam Gereja Masehi Protestan; tetapi juga tidak dianggap sebagai golongan yang telah memisahkan diri dari Gereja Masehi Protestan, sehingga Jemaat yang mereka dirikan tidak mau meminta “akte pemisahan” yang disebut tadi. Dengan demikian timbullah kesukaran. Dipandang dari Hukum, Jemaat Belanda Gereformerd itu harus mendapat pengakuan sebagai suatu badan hukum kegerejaan sedangkan aturan untuk menetapkan suatu badan sebagai Gereja yang berbadan hukum belum ada. Untuk diakui sebagai badan hukum, maka Jemaat tersebut harus dikenakan peraturan untuk perkumpulan seperti tercantum dalam Staatblad tahun 1870 no. 64, sedangkan sesuatu Gereja itu bukanlah suatu perkumpulan yang biasa, mengingat akan riwayatnya, tujuannya dan kedudukan para anggotanya dan sebagainya. Karena itu penyelesaian soal-soal yang demikian tidaklah dapat segera diselesaikan. Soal ini baru dapat diselesaikan dengan peraturan dalam Staatblad tahun 1927 No. 156, 532 tadi. Setelah ada peraturan tersebut, maka dilakukan pengakuan terhadap Gereja-gereja lain juga, yang tumbuh oleh pekerjaan berbagai Gereja dan Zending yang bekerja di Indonesia. Berhubung dalam menentukan pengakuan kadang-kadang sukar untuk mencari dan mendapat syarat, maka dikeluarkan penjelasan berkenaan dengan peraturan tadi, yang dimuat dalam Bijblad No. 14332.
            Pada tahun 1927 tanggal 5 Mei dilakukan pengakuan sebagai Gereja terhadap Gereja-gereja Masehi Protestan dan Jemaat-jemaatnya, baik yang pribumi maupun yang Belanda dan kepada Ressort-ressort begitu pula Seminari-seminari. Setelah itu dilakukan pengakuan terhadap pelbagai Gereja yang lain.
            Di samping Gereja-gereja yang telah berdiri sendiri yang telah dan atau belum mendapat pengakuan resmi sebagai Gereja yang berbadan hukum, masih kedapatan perserikatan-perserikatan dan golongan-golongan yang mempunyai pengakuan menurut Staatsblad 1870 No. 64 dan ada pula yang sama sekali tidak mempunyai tanda pengakuan yang resmi. Kepada umum kelihatannya sama saja, sebab mereka mengadakan kebaktian seperti Gereja biasa. Perbedaannya hanya terletak pada hak-haknya sebagai sesuatu badan yang mempunyai hak milik. Mengenai kebaktian diatur dalam peraturan lain tersendiri yaitu pasal 174 I.S. dan bagi mereka yang tidak termasuk suatu organisasi berlaku pasal 177 I.S. sepenuhnya.
            Pengakuan Gereja sebagai Badan Hukum dilakukan oleh Gubernur Jenderal dengan bantuan Departemen van Onderwijen Eeredienst, yang ada kalanya meminta pendapat Zendingsconsulaat di Jakarta.
MASYARAKAT KRISTEN DI INDONESIA:
            Sebelum I Regeeringsreglement (1855) masih ada keraguan tentang kedudukan orang Indonesia yang beragama Masehi. Istilah untuk mereka ialah “Inlandsche Christenen” (Kristen Bumi Putera). Pemakaian istilah demikian yang lebih menekankan kepada segi keagamaan Kristennya dari pada kebangsaannya, menyebabkan ditempatkannya umat Kristen pada kedudukan yang khusus. Perkembangan keadaan itu menimbulkan adanya pendapat bahwa orang Kristen Indonesia itu dapat disamakan dengan bangsa Eropa (metEuropeanan gelijkgesteld) dan dalam teorinya sampai tahun 1847 mereka itu dianggap seolah-olah disamakan dengan bangsa Eropa. Tetapi dapat pula dimengerti bahwa kedudukan seperti itu menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri. Karena itulah dipakai istilah Christen Inlanders (Boemipoetra Kristen); dengan demikian soal kedudukan tidak lagi menjadi sulit. Mereka itu meskipun agamanya berlainan dengan Bumiputra lainnya yang pada umumnya beragama Islam yang lain masuk lingkungan hukum adat agama sendiri. Perhatian Pemerintah seperti tergambar dalam riwayat Gereja Masehi Protestan, serta perhatian khusus dari pihak Pemerintah Belanda kepada usaha-usaha sosial Zending, menimbulkan anggapan yang istimewa di kalangan yang bukan Kristen terhadap golongan “Boemipoetra Kristen” tersebut.
            Dalam hal Staatblad tahun 1935 No. 74, 75 antara lain ditetapkan syarat-syarat yang dapat dianggap suatu bukti, bahwa seseorang Indonesia adalah “Boemi Poetra Kristen” yaitu sedikitnya memenuhi lima syarat, yaitu: Pencatatan jiwa, termasuk kelahiran, nikah dan perceraian sebagaimana ditetapkan dalam Stbld tahun 1935 No. 74, 75 tersebut di atas, dan berlaku untuk mereka yang berdomisili di Jawa, Madura, Ambon dan Minahasa.
            Prinsip perbedaan, lebih-lebih pertentangan agama dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian ada hal-hal uyang oleh golongan Islam maupun Kristen dianggap kurang adil, Pemerintah kolonial memegang prinsip pertentangan ini dengan teguh, malahan dipakai siasat dalam menjalankan pemerintahannya yang dikenal dengan “verdeel en heers politik” atau “didivde et impera” (memecah dan menguasai) sehingga menjauhkan kedua golongan satu sama lain, padahal mereka sebenarnya adalah satu bangsa. Antara kedua golongan tersebut timbul jurang pemisah, pertentangan bahkan permusuhan yang meskipun tidak nampak tetapi sungguh ada.
MASA PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG :
            Pemerintah fascis Jepang yang ingin memikat hati golongan Islam mencari pengaruh melalui lapangan keagamaan, dengan jalan memperketat penekanan kepada umat Kristen banyak Gereja-gereja dijadikan markas tentara Jepang, demikian pula Sekolah-sekolah, sehingga banyak penderitaan yang dialami oleh umat Kristen. Kepada umat Islam diberikan kebebasan yang semu, sebab pada hakekatnya merekapun diawasi dari jauh, agar tidak memupuk kekuatan yang membahayakan pemerintah pendudukan.
MASA PERALIHAN
            Kejadian-kejadian yang dialami oleh umat Kristen pada kedua penjajahan/pendudukan itu memberikan pelajaran bahwa kedua pemerintahan itu pada hakekatnya mempunyai sifat yang sama yaitu hanya ingin menguasai dan tidak senang melihat Indonesia merdeka. Oleh karena itulah bangsa Indonesia melaksanakan gerakan-gerakan politiknya untuk meningkatkan kesadaran nasional sebagai persiapan untuk menuju kepada perjuangan merebut kembali kemerdekaan yang telah tiga setengah abad dirampas oleh kaum umperialis.
MASA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA :
            Titik kulminasi dari pada gerakan kebangsaan dan gerakan politik yang bersumber dari pengalaman pahit akibat kejamnya penjajahan telah berpuncak pada Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang juga berarti berakhirnya masa penjajahan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 yang disahkan sehari sesudah Proklamasi itu sendiri memberikan corak baru dari pada masyarakat yang dicita-citakan oleh kemerdekaan itu.
            Pernyataan kemerdekaan tersebut dengan segera diikuti oleh suatu pememrintahan nasional. Sejak saat itu berjalanlah pemerintahan nasional, pemerintahan bangsa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Negara Republik Indonesia lahir dan memperkenalkan diri kepada dunia, dan mendapat pengakuan dari dunia internasional. Ia sanggup berdiri, membela hak hidupnya dan membangun kesejahteraannya.
KEADAAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA
            Pada bagian terdahulu telah diterangkan bahwa Agama Kristen datang di Indonesia sejak permulaan abad 16 bersamaan dengan kedatangan pedagang-pedagang bangsa Portugis yang beragama Rum Katolik, dan mereka tinggal di Maluku. Pada akhir abad 16 kedudukan pedagang bangsa Portugis digantikan oleh pedagang-pedagang Belanda, yang tergabung dalam Kongsi Dagang yang disebut VOC, selama dua abad lamanya, sampai dibubarkan dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda sendiri. Pemerintah Belanda melanjutkan tugas VOC yang dahulu diserahi tugas pemerintahan dari tahun 1605-1942 sampai datangnya Pemerintahan pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai dengan 16 Agustus 1945 dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka.
            Apa yang perlu kita catat dari fase-fase tersebut ialah, bahwa sejak tahun 1511 (kedatangan bangsa Portugis) sampai tahun 1799 tahun penghapusan VOC yang berkuasa sejak akhir abad 16, jumlah orang Kristen di Indonesia sangat sedikit sekali dan terdapat di Maluku (1514) di Minahasa (1563) di Jakarta (1609) di Timor tahun 1612 dsb. Yang di Maluku dan Minahasa pada mulanya beragama Masehi Roma Katolik dan sejak kedatangan bangsa belanda tahun 1596 berangsur-angsur menjadi Kristen Protestan. Hampir tidak ada data yang diperoleh selama olebih dua ratus tahun itu. Hal itu adalah disebabkan kurangnya perhatian bangsa Belanda terhadap agama Kristen dan tujuan utama mereka adalah berdagang untuk mendapatkan kuntungan yang sebesar-besarnya. Mungkin yang terpenting dicatat selama waktu itu adalah tentang berdirinya Gereja Masehi Protestan ( de Protestansche Kerk) di Indonesia tahun 1621.
            Setelah kekuasan VOC beralih ke tangan Pemerintahan Belanda, dan sejalan dengan perkembangan dan perubahan pandangan terhadap kehidupan keagamaan di negeri Belanda, yang ternyata juga telah masuk ke Indoensia adalah antara lain :
1.      Dilanjtukanya pemeliharaan Gereja Masehi Protestan sebgai Gereja Negara (Staatskerk) di mana semua administrasi dan keuangan Gereja diatur oleh Pemerintah melalui suatu badan yang disebut KERKBESTUUR. Gereja Masehi Protestan yang pada mulanya didirikan untuk kepentingan orang-orang Belanda, terutama yang berasal dari Maluku, Minahasa, Timor dan Jakarta. Kemudia jemaat-jemaat ini mendewasakan diri dengan nama Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Protestan di Indonesia bagian Bara (GPIB) yang bernaung di bawah Gereja Protestan Indonesia (GPI). Dikemudian hari Gereja-Gereja yang bernaung di bawah GPI bertambah lagi dengan Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo, Gereja Protestan Indonesia Buol Toli-Toli, dan Gereja Protestan Indonesia di Palu Donggala.
2.      Gereja GPI dengan cabang-cabangnya yang berdiri sendiri seperti tersebut di atas itu kemudian mengalami perubahan sejalan deng perubahan pandangan pemerintahan Belanda terhadap Agama dan Negara. Berdasarkan pandangan baru yang leberal itu, yang dikenal dengan sebutan: “Pemisahan antara Gereja dan Negara” maka di Indoensia pemerintah melaksanakan  itu secara bertahap. Pada tahun 1935 diadakan pemisahan Administrasi, yaitu pemerintah menyerahkan tugas administrasi sepenuhnya kepada wewenang Gereja GPI dan anggota-anggotanya, sedangkan mengenai keuangan baru dilaksanakan tahun 1950.
3.      Pada mulanya hanya ada satu Gereja di Indonesia, yaitu Gereja Masehi Protestan yang langsung diurus oleh pemerintah Belanda. Tetapi pada abad ke 19, sebagai akibat perkembangan rohani di Eropa, maka di Indoensia pun mulailah penyebaran agama melalui Badan-badan Zending. Badan-badan Zending yang bekerja di Indonesia adalah :
Reinische Mission Gezellschaft dari jerman yang bekerja di Tapanuli dan melahirkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan di Nias, melahirkan Gereja Banua Niha Kariso Protestan (BNKP).
Bazel Mission dari Swis yang bekerja di Kalimantan, melahirkan Gereja Kalimantan Evangelis.
Nederlansche Zending Genootschap yang bekerja di Sumba dan tanah Toraja, melahirkan Gereja Sumba di Waingapu dan Gereja Toraja di Rantepao (Sulawesi Selatan), dan kemudian di Sumatra Utara melahirkan Gereja Batak Karo Protestan di Kabanjahe.
Beberapa Badan Zending dari Amerika memperoleh ijin bekerja di beberapa daerah yaitu:
Seventh Day di Bandung melahirkan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.
Baptast Mission yang bekerja di Semarang yang melahirkan Gereja Baptis Indonesia.
Salvation Army yang bekerja di Bandung dan melahirkan Bala Keselamatan di Bandung.
Methodist Mission yang bekerja di Sumatra Utara dan melahirkan Gereja Methodis Indoensia di Medan, Methodist Mission ini mula-mula bekerja di Kalimantan, kemudian pindah ke Jakarta, dan ke Sumatra Utara.
Misi Pantekosta yang datang dari Amerika dan Eropa, bekerja di Jakarta dan beberapa daerah dan melahirkan Gereja-Gereja Pantekosta.
            Setelah Indonesia merdeka ada beberapa Misi yang membawa aliran baru seperti Watch Tower Bible and Tract Society yang melahirkan saksi-saksi Yehova dan siswa-siswa Alkitab yang kegiatannya telah dilarang oleh jaksa agung. Aliran Gereja Jesus Kristus dari orang-orang Suci zaman akhir yang disebut juga gereja mormon, Gereja Katolik bebas masuk dalam pelayanan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan. Masih ada aliran lainnya, yang rasanya tidak perlu diutarakan satu persatu.
Dengan dijinkannya badan-badan Zanding bekerja di berbagai daerah maka kedatangan Agama Kristen di Indonesia dapat pula dilihat dalam keterangan berikut :
1.      Maluku                 tahun   1514
2.      Minahasa             tahun   1563
3.      Sangir Talaud       tahun   1563
4.      Jakarta                 tahun   1609
5.      Timor                    tahun   1612
6.      Jawa Timur          tahun   1814
7.      Bengkulu              tahun   1820
8.      Kalimantan Selatan          1836
9.      Kalimantan Barat             1839
10.   Jawa Tengah/Semarang 1849
11.   Sulawesi Selatan             1851
12.   Jawa Tengah/Muria         1853
13.   Jawa Tengah/Salatiga     1855
14.   Batak/Tapanuli                 1861
15.   Jawa Barat                       1862
16.   Bali                                   1862
17.   Irian Jaya                         1862
18.   N i a s                               1865
19.   Kalimantan Timur            1865
20.   Jawa Tengah/Selatan      1869
21.   Sulawesi Tengah/Poso    1891
22.   Sumbawa                         1891
23.   Mentawai                                     1901
24.   Batak Karo                       1904
25.   Bolaang Mongondow       1904
26.   Sumatra Timur                 1905
27.   Sulawesi selatan/Makale 1913
28.   Sulawesi Selatan/Mamasa 1929
29.   Sulawesi Tenggara          1913
30.   Sul. Tenggara/Palu, Donggala 1938
31.   Kalimantan Timur            1930
Keterangan lain mengenai keadaan Agama Kristen di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan jumlah umat Ktristen selama 350 tahun masa penjajahan oleh Belanda dan selama 3.5 tahun masa pendudukan militer Jepang dan 35 tahun masa kemerdekaa. Selama 350 tahun dibawah penjajahan hingga tahun 1945 diperkirakan jumlah umat Kristen sebanyak 2.500.000. jiwa. Sejak tahun 1945 sampai 1981 dapat dilihat pertambahan sebagai berikut:
a.    Tahun 1945     = 2.500.000 jiwa
b.    Tahun 1951     = 3.471.283 jiwa
c.    Tahun 1961     = 4.531.973 jiwa
d.    Tahun 1971     = 6.049.949 jiwa
e.    Tahun 1981     = 8.505.696 jiwa
Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen selama 350 tahun sebanyak 2.500.000 jiwa adalah sangat kecil dibandingkan dengan pertambahan sebanyak 6.000.000 setelah Indonesia merdeka. Karena itu jelaslah bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak benar-benar ingin dengan sungguh-sungguh membantu pengembangan Agama Kristen di Indonesia, karena selama 350 tahun kekuasaannya, baru sekitar du setengah juta umat Kristen di Indonesia. Jumlah itupun adalah karena sebagian terbesar sebagai hasil usaha Badan-Badan Zending yang bekerja di Indoenasia sejak abad ke-19.
Bila pada abad ke-16 Agama Katolik di bawa oleh Portugis dalam waktu yang relatif singkat sudah mencapai jumlah puluhan ribu orang, maka selama pemerintahan bangsa Belanda seharusnya akan lebih besar lagi. Tetapi seperti telah dikemukakan di atas, pemerintah Belanda di Indonesia tidak untuk menyiarkan agama Kristen, tetapi  adalah kepentingan politik dagang dan yang kemudian dilanjutkan dengan politik penjajahan.
 Sumber: F. Ritonga, Memahami Keberadaan Agama/Umat Kristen Protestan di Tengah-tengtah tugas Pelayanan Pemerintah, Proyek Penerangan-Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Departemen Agama RI, Jakarta, 1984.


Kata kata

Cintailah seseorang sepenuhnya, termasuk kekurangannya, dan suatu saat kamu akan pantas mendapatkan yang terbaik darinya.

SESUATU YANG BERHARGA

Terkadang, Tuhan menghilangkan sesuatu yang sangat berarti dari genggamanmu, agar kamu menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik.