I. Pendahuluan (Latar Belakang).
Sabu secara
geografis merupakan salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa tenggara
Timur (121045 dan 12204, Belahan Barat; 10027 dan 10038, Lingkaran
Selatan) Yang terletak secara terndiri di tengah Laut Sawu. Menyebut
Sabu maka tidak telepas dengan sebuah pulau kecil didekatnya yankni
pulau Raijua. Jadi keduanya adalah satu kesatuan baik mengenai adat
maupun keturunan walaupun berbeda pulau.
Dalam Kehidupan Orang Sabu
khususnya dalam kehidupan religi tidak terlepas kaitannya dengan aspek
kehidupan lain yakni bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat
istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan
pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala
sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa (Deo Mone Ae)
sehingga segalanya harus dilakukan dalam suasan yang religi dalam
kehidupan. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan-kegiatan selalu
diawali dengan ritual-ritual dengan maksud memohon bimbingan, petunjuk,
berkat serta penjagaan dari Deo.
Dalam Tulisan ini saya coba menulis
mengenai Agama Suku Sabu yang lebih menekankan pada Penyelenggaraan
serta pemahaman yang ada di wilayah Seba (Habba). Hal ini disebabkan
karena pada beberapa daerah lain dI Sabu yang memiliki corak-corak yang
agak berlainnan, walaupun tidak signifikan namun dimaksud agar tidak
terjadi salah pengertian dari pihak lain. Di samping itu juga kebetulan
saya adalah salah seorang dari keturunan Sabu yang leluhur berasal dari
wilayah Habba (Namata), yang mungkin sedikit lebih mengenal tentang
peristiwa, penyelenggaraan Agama Suku Sabu di Habba. Tulisan ini
didasarkan atas pengalaman, beberapa buku refrensi dan ceritra orang tua
(leluhur).
II. Tentang Daerah Asal Orang Sabu (Sejarah).
Tentang
asal usul orang Sabu dan negeri asalnya, terdapat beberapa versi
menurut ceritera beberapa orang Mone Ama dan mereka mengetahui tentang
sejarah Sabu. Meskipun demikian, dari tuturan mereka itu terdapat satu
kesimpulan yang sama bahwa nenek-moyang orang Sabu berasal dari suatu
negeri yang sangat jauh, letaknya di ufuk Barat pulau Sabu.
Sejarah
dunia memberitahukan bahwa antara abad ke-3 sampai abad ke-4 ada arus
perpindahan penduduk yang cukup banyak dari India Selatan, ke kepualauan
Nusantara. Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu
terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan, Raja
Chandragupta II yang memerintah di India Utara dari tahun 375-413 telah
menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, teramasuk kerajaan
Gujarat di India Selatan. Keamanan yang buruk telak mendorong orang
untuk mencari daerah pemukiman baru yang lebih aman.
Jauh hari
sebelumnya, telah tersebar berita bahwa di kepulauan Nusantara, di mana
pengaruh India sudah semakin besar, adalah negeri yang aman, tenteram
dan makmur. Maka terbitlah dorongan kuat diantara penduduk untuk
meninggalkan negeri asalnya menuju negeri baru yaitu kepulauan
Nusantara.
Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu dapat diperoleh
informasi sejarah mengenai negeri asal dari leluhur Sabu. Syair-syair
itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di
seberang laut di sebelah Barat yang bernama Hura. Dalam peta India
memang terdapat Kota Surat di Wilayah Gujarat, India Selatan. Kota Surat
terletak di sebelah Kota Bombay, teluk Cambay, India Selatan. Daerah
Gujarat pada waktu itu sudah di kenal di mana-mana sebagai pusat
perdagangan di India Selatan. Kota dangang yang terkenal adalah
Koromandel.
Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat itu sebagaimana mestinya. Lidah mereka menyebutnya Hura.
Sebelum
perpindahan penduduk itu, antara abad ke 2-3 sudah terjalin hubungan
perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan pedagang-pedagang dari
India Selatan. Pengaruh India Selatan besar sekali terhadap kepualauan
Nusantara. Pada abad ke-2 sampai abad-16 telah berdiri kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha, mula-mula di Jawa, kemudian di Sumatera dan Kalimantan.
Dari antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan paling besar
pengaruhnya di kepulauan Nusantara adalah kerajaan Majapahit. Sisa-sisa
pengaruhnya masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Sabu.
Para
pendatang dari Gujarat ini ketika tiba di pula Raijua dapat hidup
bersama dengan para imigran yang berasal perpindahan penduduk gelombang
kedua yang berasimilasi dengan imigran gelombang pertama, meskipun
pengaruh mereka tampak dominan.
Menurut ahli sejarah sebelum India
Selatan, Nusantara sudah dihuni oleh Austronesia kira-kira 2000 SM.
Kemudian disusul ras Mongoloid, lewat Muangthai, Malasyia Barat dan
menyebar di Nusantara, kira-kira 500 SM.
Rombongan India Selatan
menjadi penghuni pertama pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga. Setelah
kawin mawin mereka kemudian menyebar di pulau Sabu dan Raijua menjadi
cikal bakal orang Sabu.
III. Pengaruh Majapait (Hindu-Jawa).
Pada
abad ke 14 sampai awal abad ke 16, Majapahit berhasil menguasai dan
menyatukan Nusantara. Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Jawa.
Meskipun demikian setiap kerajaan di bawah kekuasaanya memiliki otonomi
seluas-luasnya untuk mengurus rumah-tangganya dengan satu persyaratan
yakni tetap mengakui kedaulatan Majapahit lewat pemberian upeti. Bukti
pengaruh Majapahit terhadap Sabu dapat dilihat dalam:
a. Mitos
(ceritra rakyat) yang meberikan penghormatan terhap raja Majapahit.
Sehingga muncul ceritra bahwa Raja mjapahit dan istrinya pernah tinggal
di Ketita di pulau Raijua dan pulau Sabu.
b. Ada kewajiban bagi
setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul
untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit.
c. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut wowadu Maja dan sebuah sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
d.
Setiap 6 tahun sekali ada upacar yang diadakan oleh salah satu Udu di
Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut ceritra
adalah keturunan orang-orang Majapahit.
e. Motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.
f.
Di Mesara ada desa yang bernama Tanah Jawa yang penduduknya mempunyai
profil seperti orang Jawa. Sedangkan di Mesara juga ada tempat dekat
pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa
yakni Mulih yang berarti pulang.
IV. Pembagian Wilayah dan Penyebaran Penduduk di Sabu.Pembagian
wilayah ini terjadi pada masa Wai Waka (generasi*) ke 18). Pembagian
ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang dibagikan. Pembagian
tersebut adalah:
a. Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba)
b. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara)
c. Wara Wai mendapat wilayah Liae.
d. Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu).
e. Dida Wai mendapat wilayah Menia.
f. Jaka Wai mendapat wilayah Raijua.
Dari
pembagian ini telah menyebakan terbentuknya komunitas
genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada
pemukiman tertentu.
Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka
dibentuk suatu sub-rumpun yang disebut Udu yang dikelpali oleh seorang
Bangu Udu. Di Habba (Seba) terdapat 5 Udu yang nanti akan terbagi lagi
menjadi Kerogo-kerogo.
5 Udu di Seba tersebut adalah:
1. Udu Nataga (terdiri dari 9 kerogo).
2. Udu Namata (terdiri dari 4 kerogo).
3. Udu Nahoro (terdiri dari 4 kerogo).
4. Udu Nahpu
5. Udu Naradi (kedua terakhir tidak terbagi dalam kerogo).
Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 kerogo.
V. Agama Suku & Hal-hal Menyangkut Ritual.Sistim Kepercayaan.
Agama
suku Sabu atau Agama Asli Sabu tidak diketahui namanya. Pada umunya
orang menyebut agama suku Sabu dengan nama “jingitiu”, yang berasal dari
kata “jingiti Au” yang diartikan atau ditafsir oleh para penginjil dan
pendeta dahulu dengan nada lecehan yakni “jingi” artinya melanggar atau
menolak, “ti” artinya dari dan “Au” artinya engkau (Tuhan). Jadi dapat
diartikan secara harafiah bahwa Jingitiu adalah agama yang menolak
Tuhan. Padahal nama ini adalah penyebutan yang berikan oleh penginjil
Potugis yang datang ke Sabu pada Tahun 1625. Mereka menyebut dengan
Gentios (kafir/ tidak mengenal tuhan). Yang menurut pelafalan orang Sabu
adalah jingitiu. Hal tersebut dapat dilhat juga dalam penyebutan mereka
terhadap agama suku di Belu yang dilafalkan oleh orang Belu dengan
Dintiu.
Para Mone Ama (pimpinan agama suku) pada waktu itu menerima
penyebutan tersebut karena ketidak mengertian mereka terhadap arti dari
istilah/ penyebutan tersebut.
Beberapa hal mengenai sistim kepercayaan Agama Suku Sabu:
1.
Orang Sabu Percaya pada satu Zat Ilahi yang disapa dengan “
Deo Ama”
(Allah Bapa asal dari segala sesuatu), “
Deo Woro Deo Pennji” (Tuhan
pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).
2.
Segala ciptaan terdiri dari 2 unsur yang esensial, mengandung daya yang
saling bertentangan, bergantungan, dan saling melengkapi. Contohnya
laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara dengan masing-masing
fungsi yang saling melengkapi. Sehingga dalam kehidupan orang Sabu
Laki-laki dan perempuan selalu dilihat sebagai suatu kesetaraan atau apa
yang kenal sekarang dengan istilah “gender.”
3. Manusia harus selalu
menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan Tuhan. Jika hubungan itu
baik maka disebut dengan “Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai
sentosa, mengerru (hijau/ kesuburan) dan merede (kelimpahan). Tetapi
sebaliknya dan bila terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan
atau tatanan yang ada akan mendatangkan hal-hal yang “Pana” (Panas) atau
hal-hal yang berupa petaka, bencana.
4. Untuk menjaga Relasi yang
harmonis antara Manusia dan Tuhan maka dalam tatanan kehidupan diatur
juga tentang ritual-ritual keagaaman, hubungan kekerabatan dan hukum
adat.
Tentang
NadaNada adalah tempat beribadat bagi penganut
agama suku Sabu (Agama Asli). Nada pertama didirikan Kika Ga di Kolo
Marabbu (generasi 11, Miha Ngara). Nada perkembang menjadi dua, yang
satu tetap di Merabbu, yang satu di Kolo Teriwu.
Pada masa Wai Waka (generasi 18) diadakan pembagian wilayah dan masing-masing wilayah didirikan Nada.
Pada
masa Robo Aba (Generasi 24) terjadi perpindahan Nada dari Kolo Teriwu
ke Namata. Tidak semua yang dipindahkan termasuk Eku (salah satu alat
penting). Eku baru berhasil dibawa ke Namata pada masa Mata Lai
(generasi 29). Dengan demikian lengkaplah sudah perlengkapan upacara
bagi penduduk di wilayah Habba.
Dalam perkembangan disamping Nada di
Namata ( Nada Ae Namata ) di bangun Nada di Rai Dana (Nada Ae
Gurikebeu). Nada ini juga diurus oleh Mone Ama dari Namata.
a. Batu-batu (wowadu)di Nada Ae Namata, antara lain :
1. Wowadu Piga Hina ;
2. Wowadu Ngellu ;
3. Wowadu Lirru Bella ;
4. Wowadu Dahi Bella ;
5. Wowadu Lawarai (batu peringatan terhadap Hawu Miha di Teriwu;
6. Wowadu Kika Ga;
7. Wowadu Petti Ma Ratu Kaho, dan beberapa batu lainnya yang semuanya ada berjumlah 14 buah.
b. Batu-batu di Nada Ae Gurikeberu, antara lain:
1. Wowadu Ettu (batu Ulat);
2. Wowadu Lale Dahi (batu kiamat atau air bah);
3. Wowadu Lakati (batu penyakit cacar);
4. Wowadu Kolera (batu penyakit kolera);
5. Wowadu Heraba (batu penyakit serampa atau morbili); dan beberapa batu lain.
Perlu
diingat bahwa batu dalam agama suku Sabu bukanlah sembahan tetapi
merupakan sarana berupa mesbah untuk meletakkan korban persembahan bagi
Deo.
Mone Ama (Majelis Adat & Agama).
Dalam tata kehidupan
termasuk didalamnya dalam urusan pemerintahan, keagamaan diatur oleh
sebuah sistim kemajelisan yang mempunyai fungsi masing-masing. Majelis
ini disebut dengan Majelis Mone Ama. Bagi orang Sabu Agama dan Hukum
Adat merupakan dasar bagi kehidupan mereka, naik dalam bidang sosial,
ekonomi, kesenian. Sehingga segala aspek kehidupan tersebut harus
mencerminkan totalitas yang serasi dengan agama (agama suku).
Di Habba pada mulanya Majelis Mone Ama ini cuma terdiri dari 4 orang (masa Roba Aba, genarasi 24) masing-masing adalah:
• Deo Rai
• Do Heleo.
• Rue.
• Pulodo.
Dari
majelis ini, yang memimpin kemajelisan adalah yang memangku jabatan
sebagai Deo Rai. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal perlengkapan
upacara serta urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara.
Dalam
perkembangannya dengan melihat kebutuhan dan permasalahan dalam
masyarakat yang semakin kompleks maka jumlah Mone Ama juga bertambah. Di
Habba berkembang menjadi 9 orang, yakni:
• Deo Rai.
Tugasnya
sebagai pemimpin, penegak syarat agama dan adat serta menjalankan
pemerintahan. Memimpin upacara yang bersangkutan dengan tugasnya antara
lain; Puru Hogo, Baga Rae, Jelli Ma, Hanga Dimu, Daba, Banga Liwu, Hole.
Selain itu juga ia bertugas dalam masalah tanah, paertanian (Kacang
hijau) dan yang terakhir adalah tugasnya sebagai pemimpin upacara untuk
memanggil hujan.
• Pulodo.
Tugasnya adalah masalah pertanian
(padi), kesuburan tanah, kegiatan-kegiatan musim kemarau termasuk sabung
ayam, mendampingi Deo Rai dalam upacara Puru Hogo dan upacara lainnya,
berkoordinasi dengan Bengu Udu dalam urusan pemerintahan.
• Doheleo.
Mengawasi
agar adat ditegakkan secara tertib dan teratur, melihat setiap
peristiwa (bencana) yang terjadi karena pelanggaran adat. Memimpin
upacara tyolak bala. Masalah pertanian (jagung Rote/ sorgum) serta
urusan kesuburan tanah.
• Rue.
Melakukan upacara menghilangkan akibat dari perbuatan haram (tolak bala). Menyelesaikan bencana alam, hama dan wabah penyakit.
• Latia
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah yang terbakar.
• Bakka Pahi.
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah akan tetapi tidak terbakar.
• Maukia.
Menangani
segala urusan menyangkut peperangan. Menangani apa yang bersangkutan
dnega barang-barang yang bersifat haram dari luar, lewat upacara memuat
dalam suatu perahu dan dihanyutkan ke laut.
• Kenuhe.
Pada waktu perang dan ada musuh yang terbunuh maka tuganyalah untuk memangku mayat sementara upacara berlangsung.
• Tutudalu.
Setiap mayat dalam pangkuan Kenuhe dikuliti kulit kepala dan ditanam dalam nada dan hal ini dilakukan oleh Tutudalu.
Kalender Adat dan Upacara menurut Siklus Kehidupan Orang Sabu.
Tidak
ada satupun aktivitas hidup orang Sabu selama satu tahun kalender yang
dapat terpisah dari kehidupan keagamaan. Pola ini ini didasarkan atas 9
amanat Deo Ama, yakni:
• Puru Hogo
• Baga Rae
• Jelli Ma
• Hanga Dimu
• Daba • Banga Liwu
• Hole
• Hapo
• Made
Hal tersebut merupakan syarat agama sekaligus merupakan adat orang Sabu, terutama bagi mereka masih menganut agama asli.
Dalam
penyelenggaraan pemenuhan 9 amanat ini maka pelaksanaannya tidak
telepas kaitannya dengan kalender kegiatan tahunan. Adapun kalender
Tahunan tersebut adalah:
1. Kelila Wadu (Jul-Agust)
2. Tunu Manu (Agust-Sept)
3. Bagarae (Sept-Okt)
4. Ko’o Ma (Okt-Nov)
5. Naiki Kebui (Nov-Des)
6. Wila Kolo (Des-Jan) 7. Hanga Dimu (Jan-Ferb)
8. Daba Akki (Ferb-Mart)
9. Daba Ae (Mart-April)
10. Banga Liwu (April-Mei)
11. A’a (Mei-Juni)
12. Ari (Juni-Juli)
Pelaksanaan 9 Amanat Deo:
•
Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu, saat akan dimulainya
kegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah satu bahan
makanan pokok orang Sabu.
• Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae, dengan tujuan;
Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak gula.
Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.
Mengecek tentang curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.
Memagari daerah agar terhindar dari musuh dan malapetaka.
Mempererat tali persaudaraan antara warga udu dan kerogo.
• Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko’o Ma sebagai upacara membersihkan kebun.
•
Hanga Dimu; diadakan pada bulan Hanga Dimu, yakni Deo Rai dan Pululodo
memulai panen Kacang Hijau dilanjutkan dengan acara Nga’a Hanga Dimu.
Setelah itu baru warga boleh memulai panen kacang hijau.
• Daba;
dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana), pemberian nama (pe wie
ngara), hapo (pengakuan tentang sahnya anak), daba (baptis), leko wue
(belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi dan perkawinan
(peloko nga’a) serta kematian (made).
Daba merupakan rangkaian acara
yang dilaksanakan pada hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta
pado’a. Daba diadakan pada bulan Daba Akki.
• Banga Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:
Mendinginkan obyek-obyek seperti kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.
Penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya diadakan “Pe-do’a bui ihi”.
•
Hole; dilakukan pada hari ke 7 setelah purnama pada bulan Banga Liwu.
Salah satu tujuannya adalah melepaskan celaka ke laut serta menutup
mulut laut agar hasil yang dari darat jangan terhisap atau tertelan ke
dalam laut. Atau dapat dikatakan dengan istilah buang sial.
• Hapo; merupakan acara pengakuan terhadap anak yang dilahirkan.
• Made; upacara yang bersangkutan dengan kematian.
VI. Penutup.
Dan
dari hal-hal yang tersebut diatas maka saya ingin menyampaikan tentang
beberapa hal untuk bagian akhir dari tulisan ini bahwa saya sangat tidak
sependapat dengan penyebutan jingitiu bagi Agama Suku Sabu. Penyebutan
tersebut merupakan penyalahan arti dan merupakan penghinaan bagi orang
Sabu serta menujukkan ketidak tahuan atau kurang mengertinya orang
tentang tatanan kehidupan, adat istiadat dan Sistem kepercayaan orang
Sabu. Saya lebih setuju dengan pendapat dari:
1. Pdt. Victor I.
Tanya, PhD, yakni: Melihat pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk
di Tanah Air kita yang belum menganut salah satu agama tidak dapat
begitu saja digolongkan sebagai orang yang tidak ber-Tuhan atau kafir.
Dalam kepercayaan yang beragam di muka bumi persada kita, kesemua
pemeluknya mempunyai kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek
beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingat bahwa apa yang
disebut dengan Politeisme (menyembah Allah yang Banyak) sebenarnya tidak
ada tetapi cuma karena ada kesalah pahaman tentang Zat Ilahi yang satu
yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk. Agama-agama sukupun
tidak politeisme namun monoteisme. Sehingga sungguh adil bila
kepercayaan-kepercayaan tersebut diberikan kedudukan hukum, sosial dan
politik yang sama dengan agama lain.
2. Pdt. DR. Eka Darma Putra,
dalam artikelnya berjudul “Inter-Relationship Among Religious Group In
Indonesia”. Dalam karangan tersebut mengangkat beberapa renungan bagi
kita: Apakah kita adalah saksi dari Kristus ataukah saksi dari Agama
Kristen? (Kisah 1:18). Kalau kita saksi dari Kristus, maka hendaknya
kita renungkan bahwa Allah yang diperkenalkan oleh Yesus adalah bukan
Allah dari suatu agama tertentu, Allah yang hanya disembah secara
ekslusif melalui ritus tertentu pada tempat tertentu? Bukankah Yesus
telah merelatifkan klaim yang bersifat absolut dan ekslusif dari satu
agama tertentu? (Yoh 4:21-23 & Mat 7: 21- 23) Apakah yang paling
penting bagi Yesus, ajaran dan kata-kata yang indah ataukah perbuatan
yang sesuai dengan kehendak Allah. Atau yang lebih tegas yang diambil
dari bacaan Kisah 24:14 yakni bahwa: Apakah yang dimaksudkan dengan
agama Kristen dan para pengikutnya yang percaya kepada Yesus yang adalah
Jalan kepada Tuhan, ataukah yang dimaksudkan Yesus pada bacaan itu
adalah bukan agama yang benar, melainkan Jalan yang benar yang
dimaksudkan oleh Yesus yaitu Dirinya sendiri?
Dengan demikian
seiring dengan hal tersebut maka kita selalu diingatkan agar kita jangan
mudah untuk mencela agama atau kepercayaan lain termasuk agama suku.
Tapi marilah kita selalu mengemban tugas yang telah dimandatkan kepada
kita sebagai saksi Kristus.