BEBERAPA PERATURAN POKOK:
Beberapa peraturan
pokok yang berkenan dengan Agama Masehi dari masa Pemerintahan Hindia Belanda
dapar dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
1. Mengenai Agama pada umumnya;
2. Mengenai penyiaran dan;
3. Mengenai kegerejaan, sebagai berikut:
Mengenai Agama pada umumnya: Indische Staatsregeling 1854:
Pasal 173: Leder
belijd zijn godsdienstige meeningen met volkomen vrijheid, behoudens de
besscherming der maatschapij en harer leden tegen de overtreding der algemeene
verordeningen op het strafrecht ( Tiap-tiap orang menganut paham agamanya
masing-masing dengan kemerdekaan yang penuh dengan tidak mengurangi
perlindungan masyarakat dan anggota-anggotanya terhadap pelanggaran Peraturan
Pemerintah mengenai hukum pidana.)
Pasal 174 : (1) Alle
openbare godsdienstoefening binnen gebouwen en besloten plaatsen wordt
toegelaten, voor zoorver die geene stoornis aan de openbare orde toebrengt.
(semua peribadatan di dalam rumah dan tempat-tempat tertutup diijinkan asal
tidak mengganggu ketentraman umum.)
(2)
Tot openbare godsdienstoefening buiten
gebouwen en beslooten plaatsen wordt het verlof des Bestuurs vereischt. (Semua
peribadatan di luar rumah dan tempat-tempat tertutup harus ada ijin dari
Pemerintah.)
Pasal 175 : De
Gouverneur Generaal zorgt, dat alle godsdienstige gezindhedenzich houden binnen
de palen van gehoorzaamheid aan de algemeene verordeningen. (Gubernur
Jenderal menjaga semua aliran-aliran agama tunduk kepada Peraturan-peraturan
Pemerintah.)
Pasal-pasal tersebut tidak memerlukan penjelasan dan maksudnya ialah
menjaga yang dinamakan “algemeene rust en orde” (keamanan dan ketertiban umum)
pada waktu itu.
Mengenai Penyiaran (Indesche
Staatsregeling)
Pasal 177: (1) De Christenleeraars, priester en zendelingen
moeten voorzien zijn van eene door of namens den Gouverneur Generaal te
verleenen byzondere toelating, om hun dienstwerk in eenig bepaald gedeelte van
Nederlandsch Indie te mogen verrchten. (Guru-guru Agama Kristen,
Pendeta-pendeta dan padri-padri harus ada ijin masuk yang diberikan oleh atau
atas nama Gubernur Jenderal untuk mengerjakan kewajiban dalam suatu bagian yang
tertentu di Indonesia.)
(2) Wanneer die toelating schadelijk wordt
bevonden, of de voorwaarden daarvan niet worden nageleefd kan zij door den
Gouverneur Generaal worden ingetrokken. (Jika ijin masuk itu dianggap
berbahaya, atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditaati, ijin itu dapat ditarik
kembali oleh Gubernur Jenderal.
Pasal
ini perlu ditinjau lebih lanjut dan telah menjadi pokok perhatian berbagai
pihak, baik di kalangan pemerintahan, lebih-lebih di kalangan umat Kristen,
bahkan juga menarik perhatian golongan-golongan lain.
Golongan Penyiar
Agama
a). Gereja Masehi Protestan:
Pasal
177 I.S. tersebut sama bunyinya dengan pasal 123 Regeeringsreglement 1855.
Gereja Masehi Protestan telah mulai bekerja sebelum Regeeringsreglemet,
sehingga pasal 123 dari peraturan itu tidak berlaku bagi Gereja Masehi
Protestan. Untuk tiga jenis golongan pelayanan yang pada waktu itu telah ada,
yakni : Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars, baik untuk
pengangkatan, pemindahan dan sebagainya telah ada peraturan yang tertentu untuk
itu. Tiga golongan pelayanan Gereja tersebut tak perlu harus mempunyai surat
ijin seperti yang dimaksudkan dalam pasal 177 I.S. Tetapi kemudian Gereja
Masehi Protestan mempunyai pelayan-pelayan yang dinamakan Inslandsch Leeraar
(tamatan STOVIL) yang diperlukan untuk pelayanan Jemaat Pribumi. Inslandsch
Leeraars ini harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S.
Setelah
diadakan pemisahan administrasi antara Gereja dan Negara (Administratieve Scheiding
tusschen Kerk en Staat) pada tahun 1935, maka pengangkatan, penempatan
dan sebagainya para Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars dari
Gereja Masehi Protestan diserahkan kepada Gereja itu sendiri dengan cara-cara
menurut formulier A.B.C. sedangkan ijin menurut pasal 177 masih tetap berlaku
bagi Inslandsch Leeraars.
b). Gereja Rum Katolik:
yang
mengenai Gereja Rum Katolik telah ditetapkan dalam suatu perjanjian yang
dinamakan “Nota der punten betreffende de Roomsch Katholieke Kerkaanngelegenheden
in Nederlandsch Indie”, yang dicapai antara Mentri Jajahan dengan Wakil
Roma, terdiri dari 11 pasal. Dalam penyelesaian sesuatu yang bersangkut paut
dengan penempatan para pendeta kita mengenai istilah “Argeatie”. Arti Nota perjanjian tersebut sama dengan arti “Administratieve
Scheiding tusschen Kerk en Staat” bagi Gereja Masehi Protestan dan
diselesaikan setelah ada persengketaan antara seorang Pastoor dengan Pemerintah
Hindia Belanda di Jakarta.
c). Golongan-Golongan lainnya :
Semua
penyiar agama Masehi yang tidak termasuk dua golongan di atas itu pada azasnya
harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S. tadi. Kenyataan yang sebenarnya
tidak demikian. Hal itu disebabkan oleh perkataan “dienstwerk” yang dapat
ditafsirkan bermacam-macam. Pemerintah dan umum
rupanya menyetujui tafsiran “dienstwerk” dapat berarti khusus pelayanan
sesuatu jemaat atau “parochiaal werk”
(pekerjaan di kalangan Jemaat sendiri),
sehingga Pendeta-Pendeta gereformeerd Belanda yang melayani Jemaat Gereformeerd
Belanda tidak meminta dan tidak mempunyai ijin khusus pasal 177 I.S,. sehingga
pendeta-pendeta (Zendelingen, Missionaire Predikanten) dari berbagai golongan
yang bekerja di Indonesia meminta dan mempunyai ijin tersebut.
Ada pula para penyiar agama (Guru-guru Injil) yang
tidak mempunyai surat ijin itu, karena mereka berkedudukan sebagai pembantu
pendeta-pendeta yang telah mempunyai ijin itu, sehingga jaminan terhadap mereka
itu diberi oleh pendeta-pendeta yang sudah mempunyainya. Begitu pula oleh
Pendeta-pendeta Gereja-Gereja Jawa Timur yang telah berdiri sendiri dan oleh
Pendeta Gereja-gereja Jawa Gereformeerd di Jawa Tengah Selatan, ijin tidak
diminta, oleh karena mereka beranggapan, bahwa pekerjaannya adalah semata-mata
bersifat pelayanan Jemaat dalam lingkungan Gerejanya.
Dengan
singkat dapatlah dikatakan ijin menurut pasal 177 I.S. itu diperlukan dan
diberikan, apabila pekerjaan seseorang pendeta atau Guru Injil itu bersifat
penyiaran agama keluar, dan dapat dicabut, apabila berbahaya.
Selanjutnya golongan-golongan lainnya seperti Bala
Keselamatan (Leger des Heils), Advent, Pentakosta, atau orang-orang yang
tiada terikat kepada sesuatu organisasi semuanya mendapat ijin menurut pasal
177 I.S., meskipun kadang-kadang dengan pembatasan.
Ijin
menurut pasal 177 I.S. dapat dicabut dan atau tidak dapat diberikan, apabila,
dari pihak instansi-instansi pemerintah yang lain dikemukakan keberatan-keberatan
yang penting. Penyelesaian segala sesuatu yang berpautan den pemberian ijin
menurut artikel 177 I.S. dilakukan oleh Departemen Onderwijs en Eeredienst, yang kadang-kadang meminta pendapat pula
dari Zendingskonsulaat
di Jakarta, atau kalau perlu dari instansi Pemerintah lainnya.
Maksud
artikel tersebut ialah untuk menjaga ketertiban umum bagi Pemerintah pada waktu
itu serta untuk menjaga apa yang dinamakan “double zending” (penyiar
ganda) dalam sesuatu daerah, yang dapat menyebabkan timbulnya persengketaan
antara golongan-golongan yang bekerja di daerah tersebut.
Golongan
Masehi berpendapat, bahwa sebenarnya artikel 177 I.S. itu tidak perlu lagi,
atau sekurang-kurangnya harus diubah, sebab dianggap adanya soal-soal istimewa
yang perlu diperhatikan karena memberi kesukaran dalam pelaksanaannya dengan
tepat.
Mengenai kegerejaan: (Indische Staatsregeling);
Pasal 176: In de bestaande inrichting en het bestuur
der Christelijke kerkgenootschappen wordt geen verandering gebracht dan met
wederzijde goevinden van den Koning en het bestuur van het betrokken
kerkgenootschap. (Dalam susunan dan pengurus perkumpulan Kristen yang sudah ada
tidak diadakan perubahan kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak. Raja dan
Perkumpulan Agama yang bersangkutan).
Pasal ini tidak mengenai Gereja-gereja lain dari pada
Gereja Masehi Protestan yang sejak mula ada hubungan khusus dengan pemerintah.
Peraturan tentang Gereja-gereja sebagai Badan Hukum, (Rechtspositie van
Kerkgenootschappen) yang termaktub dalam Staatsblad tahun 1927 No. 156, 532.
Keputusan
Raja Belanda tahun 1835 mengatakan, bahwa orang-orang Kristen di Indonesia
semuanya termasuk dalam satu Gereja
Masehi Protestan yang dipimpin oleh suatu pengurus pusat yang dinamakan Kerkbestuur (Pengurus Jemaat Pusat).
Dengan demikian berarti pula bahwa tidak satu jemaat lain akan dapat diakui sah
di luar Gereja Masehi Protestan tersebut, kecuali bilamana ia mendapat suatu
“akta pemisahan” dari Gereja itu (Ini tidak mengenai Gereja Ingris dan Armenia
yang telah disebut di atas).
Dalam
pertengahan abad ke-19 di negeri Belanda terjadi pemisahan Gereja-gereja
Gereformeerd dari Gereja yang umum, yang disebut Hervorme Kerk. Setelah itu, di antara Belanda yang datang di
Indonesia, terdapat juga penganut/pengikut aliran Gereja Gereformerd tersebut,
dan tidak mau dimasukkan dalam Gereja Masehi Protestan; tetapi juga tidak
dianggap sebagai golongan yang telah memisahkan diri dari Gereja Masehi
Protestan, sehingga Jemaat yang mereka dirikan tidak mau meminta “akte
pemisahan” yang disebut tadi. Dengan demikian timbullah kesukaran. Dipandang
dari Hukum, Jemaat Belanda Gereformerd itu harus mendapat pengakuan sebagai
suatu badan hukum kegerejaan sedangkan aturan untuk menetapkan suatu badan
sebagai Gereja yang berbadan hukum belum ada. Untuk diakui sebagai badan hukum,
maka Jemaat tersebut harus dikenakan peraturan untuk perkumpulan seperti
tercantum dalam Staatblad tahun 1870 no. 64, sedangkan sesuatu Gereja itu
bukanlah suatu perkumpulan yang biasa, mengingat akan riwayatnya, tujuannya dan
kedudukan para anggotanya dan sebagainya. Karena itu penyelesaian soal-soal
yang demikian tidaklah dapat segera diselesaikan. Soal ini baru dapat
diselesaikan dengan peraturan dalam Staatblad tahun 1927 No. 156, 532 tadi.
Setelah ada peraturan tersebut, maka dilakukan pengakuan terhadap Gereja-gereja
lain juga, yang tumbuh oleh pekerjaan berbagai Gereja dan Zending yang bekerja
di Indonesia. Berhubung dalam menentukan pengakuan kadang-kadang sukar untuk
mencari dan mendapat syarat, maka dikeluarkan penjelasan berkenaan dengan
peraturan tadi, yang dimuat dalam Bijblad
No. 14332.
Pada
tahun 1927 tanggal 5 Mei dilakukan pengakuan sebagai Gereja terhadap
Gereja-gereja Masehi Protestan dan Jemaat-jemaatnya, baik yang pribumi maupun
yang Belanda dan kepada Ressort-ressort begitu pula Seminari-seminari. Setelah
itu dilakukan pengakuan terhadap pelbagai Gereja yang lain.
Di
samping Gereja-gereja yang telah berdiri sendiri yang telah dan atau belum
mendapat pengakuan resmi sebagai Gereja yang berbadan hukum, masih kedapatan
perserikatan-perserikatan dan golongan-golongan yang mempunyai pengakuan
menurut Staatsblad 1870 No. 64 dan ada pula yang sama sekali tidak mempunyai
tanda pengakuan yang resmi. Kepada umum kelihatannya sama saja, sebab mereka
mengadakan kebaktian seperti Gereja biasa. Perbedaannya hanya terletak pada
hak-haknya sebagai sesuatu badan yang mempunyai hak milik. Mengenai kebaktian
diatur dalam peraturan lain tersendiri yaitu pasal 174 I.S. dan bagi mereka
yang tidak termasuk suatu organisasi berlaku pasal 177 I.S. sepenuhnya.
Pengakuan
Gereja sebagai Badan Hukum dilakukan oleh Gubernur Jenderal dengan bantuan
Departemen van Onderwijen Eeredienst, yang ada kalanya meminta pendapat
Zendingsconsulaat di Jakarta.
MASYARAKAT KRISTEN DI
INDONESIA:
Sebelum
I Regeeringsreglement (1855) masih ada keraguan tentang kedudukan orang
Indonesia yang beragama Masehi. Istilah untuk mereka ialah “Inlandsche Christenen” (Kristen Bumi
Putera). Pemakaian istilah demikian yang lebih menekankan kepada segi keagamaan
Kristennya dari pada kebangsaannya, menyebabkan ditempatkannya umat Kristen
pada kedudukan yang khusus. Perkembangan keadaan itu menimbulkan adanya
pendapat bahwa orang Kristen Indonesia itu dapat disamakan dengan bangsa Eropa
(metEuropeanan gelijkgesteld) dan dalam teorinya sampai tahun 1847 mereka itu
dianggap seolah-olah disamakan dengan bangsa Eropa. Tetapi dapat pula
dimengerti bahwa kedudukan seperti itu menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri. Karena itulah dipakai
istilah Christen Inlanders
(Boemipoetra Kristen); dengan demikian soal kedudukan tidak lagi menjadi sulit.
Mereka itu meskipun agamanya berlainan dengan Bumiputra lainnya yang pada
umumnya beragama Islam yang lain masuk lingkungan hukum adat agama sendiri.
Perhatian Pemerintah seperti tergambar dalam riwayat Gereja Masehi Protestan,
serta perhatian khusus dari pihak Pemerintah Belanda kepada usaha-usaha sosial
Zending, menimbulkan anggapan yang istimewa di kalangan yang bukan Kristen
terhadap golongan “Boemipoetra Kristen” tersebut.
Dalam
hal Staatblad tahun 1935 No. 74, 75 antara lain ditetapkan syarat-syarat yang
dapat dianggap suatu bukti, bahwa seseorang Indonesia adalah “Boemi Poetra
Kristen” yaitu sedikitnya memenuhi lima syarat, yaitu: Pencatatan jiwa,
termasuk kelahiran, nikah dan perceraian sebagaimana ditetapkan dalam Stbld
tahun 1935 No. 74, 75 tersebut di atas, dan berlaku untuk mereka yang
berdomisili di Jawa, Madura, Ambon dan Minahasa.
Prinsip
perbedaan, lebih-lebih pertentangan agama dipegang oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Dengan demikian ada hal-hal uyang oleh golongan Islam maupun Kristen
dianggap kurang adil, Pemerintah kolonial memegang prinsip pertentangan ini
dengan teguh, malahan dipakai siasat dalam menjalankan pemerintahannya yang
dikenal dengan “verdeel en heers politik” atau “didivde et impera” (memecah dan
menguasai) sehingga menjauhkan kedua golongan satu sama lain, padahal mereka
sebenarnya adalah satu bangsa. Antara kedua golongan tersebut timbul jurang
pemisah, pertentangan bahkan permusuhan yang meskipun tidak nampak tetapi
sungguh ada.
MASA PEMERINTAHAN
PENDUDUKAN JEPANG :
Pemerintah
fascis Jepang yang ingin memikat hati golongan Islam mencari pengaruh melalui
lapangan keagamaan, dengan jalan memperketat penekanan kepada umat Kristen
banyak Gereja-gereja dijadikan markas tentara Jepang, demikian pula
Sekolah-sekolah, sehingga banyak penderitaan yang dialami oleh umat Kristen.
Kepada umat Islam diberikan kebebasan yang semu, sebab pada hakekatnya
merekapun diawasi dari jauh, agar tidak memupuk kekuatan yang membahayakan pemerintah
pendudukan.
MASA PERALIHAN
Kejadian-kejadian
yang dialami oleh umat Kristen pada kedua penjajahan/pendudukan itu memberikan
pelajaran bahwa kedua pemerintahan itu pada hakekatnya mempunyai sifat yang
sama yaitu hanya ingin menguasai dan tidak senang melihat Indonesia merdeka.
Oleh karena itulah bangsa Indonesia melaksanakan gerakan-gerakan politiknya
untuk meningkatkan kesadaran nasional sebagai persiapan untuk menuju kepada
perjuangan merebut kembali kemerdekaan yang telah tiga setengah abad dirampas
oleh kaum umperialis.
MASA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA MERDEKA :
Titik
kulminasi dari pada gerakan kebangsaan dan gerakan politik yang bersumber dari
pengalaman pahit akibat kejamnya penjajahan telah berpuncak pada Proklamasi
kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang juga
berarti berakhirnya masa penjajahan dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 yang disahkan sehari sesudah Proklamasi
itu sendiri memberikan corak baru dari pada masyarakat yang dicita-citakan oleh
kemerdekaan itu.
Pernyataan
kemerdekaan tersebut dengan segera diikuti oleh suatu pememrintahan nasional.
Sejak saat itu berjalanlah pemerintahan nasional, pemerintahan bangsa Indonesia
oleh bangsa Indonesia sendiri. Negara Republik Indonesia lahir dan
memperkenalkan diri kepada dunia, dan mendapat pengakuan dari dunia
internasional. Ia sanggup berdiri, membela hak hidupnya dan membangun
kesejahteraannya.
KEADAAN AGAMA KRISTEN
DI INDONESIA
Pada
bagian terdahulu telah diterangkan bahwa Agama Kristen datang di Indonesia
sejak permulaan abad 16 bersamaan dengan kedatangan pedagang-pedagang bangsa
Portugis yang beragama Rum Katolik, dan mereka tinggal di Maluku. Pada akhir
abad 16 kedudukan pedagang bangsa Portugis digantikan oleh pedagang-pedagang
Belanda, yang tergabung dalam Kongsi Dagang yang disebut VOC, selama dua abad
lamanya, sampai dibubarkan dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda sendiri.
Pemerintah Belanda melanjutkan tugas VOC yang dahulu diserahi tugas pemerintahan
dari tahun 1605-1942 sampai datangnya Pemerintahan pendudukan Jepang dari tahun
1942 sampai dengan 16 Agustus 1945 dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
merdeka.
Apa
yang perlu kita catat dari fase-fase tersebut ialah, bahwa sejak tahun 1511
(kedatangan bangsa Portugis) sampai tahun 1799 tahun penghapusan VOC yang
berkuasa sejak akhir abad 16, jumlah orang Kristen di Indonesia sangat sedikit
sekali dan terdapat di Maluku (1514) di Minahasa (1563) di Jakarta (1609) di
Timor tahun 1612 dsb. Yang di Maluku dan Minahasa pada mulanya beragama Masehi
Roma Katolik dan sejak kedatangan bangsa belanda tahun 1596 berangsur-angsur
menjadi Kristen Protestan. Hampir tidak ada data yang diperoleh selama olebih
dua ratus tahun itu. Hal itu adalah disebabkan kurangnya perhatian bangsa
Belanda terhadap agama Kristen dan tujuan utama mereka adalah berdagang untuk
mendapatkan kuntungan yang sebesar-besarnya. Mungkin yang terpenting dicatat
selama waktu itu adalah tentang berdirinya Gereja Masehi Protestan ( de Protestansche
Kerk) di Indonesia tahun 1621.
Setelah
kekuasan VOC beralih ke tangan Pemerintahan Belanda, dan sejalan dengan
perkembangan dan perubahan pandangan terhadap kehidupan keagamaan di negeri
Belanda, yang ternyata juga telah masuk ke Indoensia adalah antara lain :
1. Dilanjtukanya pemeliharaan Gereja Masehi Protestan sebgai Gereja Negara
(Staatskerk)
di mana semua administrasi dan keuangan Gereja diatur oleh Pemerintah melalui
suatu badan yang disebut KERKBESTUUR. Gereja Masehi Protestan
yang pada mulanya didirikan untuk kepentingan orang-orang Belanda, terutama
yang berasal dari Maluku, Minahasa, Timor dan Jakarta. Kemudia jemaat-jemaat
ini mendewasakan diri dengan nama Gereja
Protestan Maluku (GPM), Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja
Protestan di Indonesia bagian Bara (GPIB) yang bernaung di bawah Gereja Protestan
Indonesia (GPI). Dikemudian
hari Gereja-Gereja yang bernaung di bawah GPI bertambah lagi dengan Gereja
Protestan Indonesia di Gorontalo, Gereja Protestan Indonesia Buol Toli-Toli,
dan Gereja Protestan Indonesia di Palu Donggala.
2. Gereja GPI dengan cabang-cabangnya yang berdiri sendiri seperti tersebut
di atas itu kemudian mengalami perubahan sejalan deng perubahan pandangan
pemerintahan Belanda terhadap Agama dan Negara. Berdasarkan pandangan baru yang
leberal itu, yang dikenal dengan sebutan: “Pemisahan antara Gereja dan Negara”
maka di Indoensia pemerintah melaksanakan
itu secara bertahap. Pada tahun 1935 diadakan pemisahan Administrasi,
yaitu pemerintah menyerahkan tugas administrasi sepenuhnya kepada wewenang Gereja
GPI dan anggota-anggotanya, sedangkan mengenai keuangan baru dilaksanakan tahun
1950.
3. Pada mulanya hanya ada satu Gereja di Indonesia, yaitu Gereja Masehi
Protestan yang langsung diurus oleh pemerintah Belanda. Tetapi pada abad ke 19,
sebagai akibat perkembangan rohani di Eropa, maka di Indoensia pun mulailah
penyebaran agama melalui Badan-badan Zending. Badan-badan Zending yang bekerja
di Indonesia adalah :
Reinische Mission Gezellschaft dari jerman yang bekerja
di Tapanuli dan melahirkan Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), dan di Nias, melahirkan Gereja Banua Niha Kariso Protestan (BNKP).
Bazel Mission dari Swis yang
bekerja di Kalimantan, melahirkan Gereja Kalimantan Evangelis.
Nederlansche Zending Genootschap yang bekerja di Sumba dan
tanah Toraja, melahirkan Gereja Sumba di Waingapu dan Gereja Toraja di Rantepao
(Sulawesi Selatan), dan kemudian di Sumatra Utara melahirkan Gereja Batak Karo
Protestan di Kabanjahe.
Beberapa Badan Zending dari Amerika memperoleh ijin bekerja di beberapa
daerah yaitu:
Seventh Day di Bandung melahirkan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.
Baptast Mission yang bekerja di Semarang yang melahirkan Gereja Baptis
Indonesia.
Salvation Army yang bekerja di Bandung dan melahirkan Bala Keselamatan
di Bandung.
Methodist Mission yang bekerja di Sumatra Utara dan melahirkan Gereja
Methodis Indoensia di Medan, Methodist Mission ini mula-mula bekerja di
Kalimantan, kemudian pindah ke Jakarta, dan ke Sumatra Utara.
Misi Pantekosta yang datang dari Amerika dan Eropa, bekerja di Jakarta
dan beberapa daerah dan melahirkan Gereja-Gereja Pantekosta.
Setelah
Indonesia merdeka ada beberapa Misi yang membawa aliran baru seperti Watch
Tower Bible and Tract Society yang melahirkan saksi-saksi Yehova dan
siswa-siswa Alkitab yang kegiatannya telah dilarang oleh jaksa agung. Aliran
Gereja Jesus Kristus dari orang-orang Suci zaman akhir yang disebut juga gereja
mormon, Gereja Katolik bebas masuk dalam pelayanan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan. Masih ada aliran lainnya, yang
rasanya tidak perlu diutarakan satu persatu.
Dengan dijinkannya badan-badan Zanding bekerja di
berbagai daerah maka kedatangan Agama Kristen di Indonesia dapat pula dilihat
dalam keterangan berikut :
1. Maluku tahun 1514
2. Minahasa tahun 1563
3. Sangir Talaud tahun 1563
4. Jakarta tahun 1609
5. Timor tahun 1612
6. Jawa Timur tahun 1814
7. Bengkulu tahun 1820
8. Kalimantan Selatan 1836
9. Kalimantan Barat 1839
10. Jawa Tengah/Semarang 1849
11. Sulawesi Selatan 1851
12. Jawa Tengah/Muria 1853
13. Jawa Tengah/Salatiga 1855
14. Batak/Tapanuli 1861
15. Jawa Barat 1862
16. Bali 1862
17. Irian Jaya 1862
18. N i a s 1865
19. Kalimantan Timur 1865
20. Jawa Tengah/Selatan 1869
21. Sulawesi Tengah/Poso 1891
22. Sumbawa 1891
23. Mentawai 1901
24. Batak Karo 1904
25. Bolaang Mongondow 1904
26. Sumatra Timur 1905
27. Sulawesi selatan/Makale 1913
28. Sulawesi Selatan/Mamasa 1929
29. Sulawesi Tenggara 1913
30. Sul. Tenggara/Palu, Donggala 1938
31. Kalimantan Timur 1930
Keterangan lain mengenai keadaan Agama Kristen di
Indonesia dapat dilihat dari perkembangan jumlah umat Ktristen selama 350 tahun
masa penjajahan oleh Belanda dan selama 3.5 tahun masa pendudukan militer
Jepang dan 35 tahun masa kemerdekaa. Selama 350 tahun dibawah penjajahan hingga
tahun 1945 diperkirakan jumlah umat Kristen sebanyak 2.500.000. jiwa. Sejak
tahun 1945 sampai 1981 dapat dilihat pertambahan sebagai berikut:
a. Tahun 1945 = 2.500.000 jiwa
b. Tahun 1951 = 3.471.283 jiwa
c. Tahun 1961 = 4.531.973 jiwa
d. Tahun 1971 = 6.049.949 jiwa
e. Tahun 1981 = 8.505.696 jiwa
Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen
selama 350 tahun sebanyak 2.500.000 jiwa adalah sangat kecil dibandingkan
dengan pertambahan sebanyak 6.000.000 setelah Indonesia merdeka. Karena itu
jelaslah bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak benar-benar ingin dengan
sungguh-sungguh membantu pengembangan Agama Kristen di Indonesia, karena selama
350 tahun kekuasaannya, baru sekitar du setengah juta umat Kristen di
Indonesia. Jumlah itupun adalah karena sebagian terbesar sebagai hasil usaha
Badan-Badan Zending yang bekerja di Indoenasia sejak abad ke-19.
Bila pada abad ke-16 Agama Katolik di bawa oleh
Portugis dalam waktu yang relatif singkat sudah mencapai jumlah puluhan ribu
orang, maka selama pemerintahan bangsa Belanda seharusnya akan lebih besar
lagi. Tetapi seperti telah dikemukakan di atas, pemerintah Belanda di Indonesia
tidak untuk menyiarkan agama Kristen, tetapi
adalah kepentingan politik dagang dan yang kemudian dilanjutkan dengan
politik penjajahan.
Sumber: F.
Ritonga, Memahami Keberadaan
Agama/Umat Kristen Protestan di Tengah-tengtah tugas Pelayanan Pemerintah,
Proyek Penerangan-Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Departemen Agama
RI, Jakarta, 1984.