aMSaL

BaGi DuNia KiTa HaNYaLaH SeSeoRaNG, BaGi SeSeoRaNG KiTaLaH DuNiaNYa

Selasa, 22 Januari 2013

KEDATANGAN AGAMA MASEHI DI INDONESIA (2)


BEBERAPA PERATURAN POKOK:
            Beberapa peraturan pokok yang berkenan dengan Agama Masehi dari masa Pemerintahan Hindia Belanda dapar dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
1.      Mengenai Agama pada umumnya;
2.      Mengenai penyiaran dan;
3.      Mengenai kegerejaan, sebagai berikut:
Mengenai Agama pada umumnya: Indische Staatsregeling 1854:
Pasal 173: Leder belijd zijn godsdienstige meeningen met volkomen vrijheid, behoudens de besscherming der maatschapij en harer leden tegen de overtreding der algemeene verordeningen op het strafrecht ( Tiap-tiap orang menganut paham agamanya masing-masing dengan kemerdekaan yang penuh dengan tidak mengurangi perlindungan masyarakat dan anggota-anggotanya terhadap pelanggaran Peraturan Pemerintah mengenai hukum pidana.)
Pasal 174 : (1) Alle openbare godsdienstoefening binnen gebouwen en besloten plaatsen wordt toegelaten, voor zoorver die geene stoornis aan de openbare orde toebrengt. (semua peribadatan di dalam rumah dan tempat-tempat tertutup diijinkan asal tidak mengganggu ketentraman umum.)
                   (2) Tot openbare godsdienstoefening buiten gebouwen en beslooten plaatsen wordt het verlof des Bestuurs vereischt. (Semua peribadatan di luar rumah dan tempat-tempat tertutup harus ada ijin dari Pemerintah.)
Pasal 175 : De Gouverneur Generaal zorgt, dat alle godsdienstige gezindhedenzich houden binnen de palen van gehoorzaamheid aan de algemeene verordeningen. (Gubernur Jenderal menjaga semua aliran-aliran agama tunduk kepada Peraturan-peraturan Pemerintah.)
Pasal-pasal tersebut tidak memerlukan penjelasan dan maksudnya ialah menjaga yang dinamakan “algemeene rust en orde” (keamanan dan ketertiban umum) pada waktu itu.
Mengenai Penyiaran (Indesche Staatsregeling)
Pasal 177:  (1) De Christenleeraars, priester en zendelingen moeten voorzien zijn van eene door of namens den Gouverneur Generaal te verleenen byzondere toelating, om hun dienstwerk in eenig bepaald gedeelte van Nederlandsch Indie te mogen verrchten. (Guru-guru Agama Kristen, Pendeta-pendeta dan padri-padri harus ada ijin masuk yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk mengerjakan kewajiban dalam suatu bagian yang tertentu di Indonesia.)
                   (2) Wanneer die toelating schadelijk wordt bevonden, of de voorwaarden daarvan niet worden nageleefd kan zij door den Gouverneur Generaal worden ingetrokken. (Jika ijin masuk itu dianggap berbahaya, atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditaati, ijin itu dapat ditarik kembali oleh Gubernur Jenderal.
            Pasal ini perlu ditinjau lebih lanjut dan telah menjadi pokok perhatian berbagai pihak, baik di kalangan pemerintahan, lebih-lebih di kalangan umat Kristen, bahkan juga menarik perhatian golongan-golongan lain.
Golongan Penyiar Agama
a). Gereja Masehi Protestan:
            Pasal 177 I.S. tersebut sama bunyinya dengan pasal 123 Regeeringsreglement 1855. Gereja Masehi Protestan telah mulai bekerja sebelum Regeeringsreglemet, sehingga pasal 123 dari peraturan itu tidak berlaku bagi Gereja Masehi Protestan. Untuk tiga jenis golongan pelayanan yang pada waktu itu telah ada, yakni : Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars, baik untuk pengangkatan, pemindahan dan sebagainya telah ada peraturan yang tertentu untuk itu. Tiga golongan pelayanan Gereja tersebut tak perlu harus mempunyai surat ijin seperti yang dimaksudkan dalam pasal 177 I.S. Tetapi kemudian Gereja Masehi Protestan mempunyai pelayan-pelayan yang dinamakan Inslandsch Leeraar (tamatan STOVIL) yang diperlukan untuk pelayanan Jemaat Pribumi. Inslandsch Leeraars ini harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S.
            Setelah diadakan pemisahan administrasi antara Gereja dan Negara (Administratieve Scheiding tusschen Kerk en Staat) pada tahun 1935, maka pengangkatan, penempatan dan sebagainya para Predikanten, Hulppredikanten dan Godsdienstleeraars dari Gereja Masehi Protestan diserahkan kepada Gereja itu sendiri dengan cara-cara menurut formulier A.B.C. sedangkan ijin menurut pasal 177 masih tetap berlaku bagi Inslandsch Leeraars.
b). Gereja Rum Katolik:
            yang mengenai Gereja Rum Katolik telah ditetapkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan “Nota der punten betreffende de Roomsch Katholieke Kerkaanngelegenheden in Nederlandsch Indie”, yang dicapai antara Mentri Jajahan dengan Wakil Roma, terdiri dari 11 pasal. Dalam penyelesaian sesuatu yang bersangkut paut dengan penempatan para pendeta kita mengenai istilah “Argeatie”. Arti Nota perjanjian tersebut sama dengan arti “Administratieve Scheiding tusschen Kerk en Staat” bagi Gereja Masehi Protestan dan diselesaikan setelah ada persengketaan antara seorang Pastoor dengan Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta.
c). Golongan-Golongan lainnya :
            Semua penyiar agama Masehi yang tidak termasuk dua golongan di atas itu pada azasnya harus mempunyai ijin menurut pasal 177 I.S. tadi. Kenyataan yang sebenarnya tidak demikian. Hal itu disebabkan oleh perkataan “dienstwerk” yang dapat ditafsirkan bermacam-macam. Pemerintah dan umum  rupanya menyetujui tafsiran “dienstwerk” dapat berarti khusus pelayanan sesuatu jemaat atau “parochiaal werk” (pekerjaan di kalangan  Jemaat sendiri), sehingga Pendeta-Pendeta gereformeerd Belanda yang melayani Jemaat Gereformeerd Belanda tidak meminta dan tidak mempunyai ijin khusus pasal 177 I.S,. sehingga pendeta-pendeta (Zendelingen, Missionaire Predikanten) dari berbagai golongan yang bekerja di Indonesia meminta dan mempunyai ijin tersebut.
Ada pula para penyiar agama (Guru-guru Injil) yang tidak mempunyai surat ijin itu, karena mereka berkedudukan sebagai pembantu pendeta-pendeta yang telah mempunyai ijin itu, sehingga jaminan terhadap mereka itu diberi oleh pendeta-pendeta yang sudah mempunyainya. Begitu pula oleh Pendeta-pendeta Gereja-Gereja Jawa Timur yang telah berdiri sendiri dan oleh Pendeta Gereja-gereja Jawa Gereformeerd di Jawa Tengah Selatan, ijin tidak diminta, oleh karena mereka beranggapan, bahwa pekerjaannya adalah semata-mata bersifat pelayanan Jemaat dalam lingkungan Gerejanya.
            Dengan singkat dapatlah dikatakan ijin menurut pasal 177 I.S. itu diperlukan dan diberikan, apabila pekerjaan seseorang pendeta atau Guru Injil itu bersifat penyiaran agama keluar, dan dapat dicabut, apabila berbahaya.
Selanjutnya golongan-golongan lainnya seperti Bala Keselamatan (Leger des Heils), Advent, Pentakosta, atau orang-orang yang tiada terikat kepada sesuatu organisasi semuanya mendapat ijin menurut pasal 177 I.S., meskipun kadang-kadang dengan pembatasan.
            Ijin menurut pasal 177 I.S. dapat dicabut dan atau tidak dapat diberikan, apabila, dari pihak instansi-instansi pemerintah yang lain dikemukakan keberatan-keberatan yang penting. Penyelesaian segala sesuatu yang berpautan den pemberian ijin menurut artikel 177 I.S. dilakukan oleh Departemen Onderwijs en Eeredienst, yang kadang-kadang meminta pendapat pula dari Zendingskonsulaat di Jakarta, atau kalau perlu dari instansi Pemerintah lainnya.
            Maksud artikel tersebut ialah untuk menjaga ketertiban umum bagi Pemerintah pada waktu itu serta untuk menjaga apa yang dinamakan “double zending” (penyiar ganda) dalam sesuatu daerah, yang dapat menyebabkan timbulnya persengketaan antara golongan-golongan yang bekerja di daerah tersebut.
            Golongan Masehi berpendapat, bahwa sebenarnya artikel 177 I.S. itu tidak perlu lagi, atau sekurang-kurangnya harus diubah, sebab dianggap adanya soal-soal istimewa yang perlu diperhatikan karena memberi kesukaran dalam pelaksanaannya dengan tepat.
Mengenai kegerejaan: (Indische Staatsregeling);
Pasal 176: In de bestaande inrichting en het bestuur der Christelijke kerkgenootschappen wordt geen verandering gebracht dan met wederzijde goevinden van den Koning en het bestuur van het betrokken kerkgenootschap. (Dalam susunan dan pengurus perkumpulan Kristen yang sudah ada tidak diadakan perubahan kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak. Raja dan Perkumpulan Agama yang bersangkutan).
Pasal ini tidak mengenai Gereja-gereja lain dari pada Gereja Masehi Protestan yang sejak mula ada hubungan khusus dengan pemerintah. Peraturan tentang Gereja-gereja sebagai Badan Hukum, (Rechtspositie van Kerkgenootschappen) yang termaktub dalam Staatsblad tahun 1927 No. 156, 532.
            Keputusan Raja Belanda tahun 1835 mengatakan, bahwa orang-orang Kristen di Indonesia semuanya  termasuk dalam satu Gereja Masehi Protestan yang dipimpin oleh suatu pengurus pusat yang dinamakan Kerkbestuur (Pengurus Jemaat Pusat). Dengan demikian berarti pula bahwa tidak satu jemaat lain akan dapat diakui sah di luar Gereja Masehi Protestan tersebut, kecuali bilamana ia mendapat suatu “akta pemisahan” dari Gereja itu (Ini tidak mengenai Gereja Ingris dan Armenia yang telah disebut di atas).
            Dalam pertengahan abad ke-19 di negeri Belanda terjadi pemisahan Gereja-gereja Gereformeerd dari Gereja yang umum, yang disebut Hervorme Kerk. Setelah itu, di antara Belanda yang datang di Indonesia, terdapat juga penganut/pengikut aliran Gereja Gereformerd tersebut, dan tidak mau dimasukkan dalam Gereja Masehi Protestan; tetapi juga tidak dianggap sebagai golongan yang telah memisahkan diri dari Gereja Masehi Protestan, sehingga Jemaat yang mereka dirikan tidak mau meminta “akte pemisahan” yang disebut tadi. Dengan demikian timbullah kesukaran. Dipandang dari Hukum, Jemaat Belanda Gereformerd itu harus mendapat pengakuan sebagai suatu badan hukum kegerejaan sedangkan aturan untuk menetapkan suatu badan sebagai Gereja yang berbadan hukum belum ada. Untuk diakui sebagai badan hukum, maka Jemaat tersebut harus dikenakan peraturan untuk perkumpulan seperti tercantum dalam Staatblad tahun 1870 no. 64, sedangkan sesuatu Gereja itu bukanlah suatu perkumpulan yang biasa, mengingat akan riwayatnya, tujuannya dan kedudukan para anggotanya dan sebagainya. Karena itu penyelesaian soal-soal yang demikian tidaklah dapat segera diselesaikan. Soal ini baru dapat diselesaikan dengan peraturan dalam Staatblad tahun 1927 No. 156, 532 tadi. Setelah ada peraturan tersebut, maka dilakukan pengakuan terhadap Gereja-gereja lain juga, yang tumbuh oleh pekerjaan berbagai Gereja dan Zending yang bekerja di Indonesia. Berhubung dalam menentukan pengakuan kadang-kadang sukar untuk mencari dan mendapat syarat, maka dikeluarkan penjelasan berkenaan dengan peraturan tadi, yang dimuat dalam Bijblad No. 14332.
            Pada tahun 1927 tanggal 5 Mei dilakukan pengakuan sebagai Gereja terhadap Gereja-gereja Masehi Protestan dan Jemaat-jemaatnya, baik yang pribumi maupun yang Belanda dan kepada Ressort-ressort begitu pula Seminari-seminari. Setelah itu dilakukan pengakuan terhadap pelbagai Gereja yang lain.
            Di samping Gereja-gereja yang telah berdiri sendiri yang telah dan atau belum mendapat pengakuan resmi sebagai Gereja yang berbadan hukum, masih kedapatan perserikatan-perserikatan dan golongan-golongan yang mempunyai pengakuan menurut Staatsblad 1870 No. 64 dan ada pula yang sama sekali tidak mempunyai tanda pengakuan yang resmi. Kepada umum kelihatannya sama saja, sebab mereka mengadakan kebaktian seperti Gereja biasa. Perbedaannya hanya terletak pada hak-haknya sebagai sesuatu badan yang mempunyai hak milik. Mengenai kebaktian diatur dalam peraturan lain tersendiri yaitu pasal 174 I.S. dan bagi mereka yang tidak termasuk suatu organisasi berlaku pasal 177 I.S. sepenuhnya.
            Pengakuan Gereja sebagai Badan Hukum dilakukan oleh Gubernur Jenderal dengan bantuan Departemen van Onderwijen Eeredienst, yang ada kalanya meminta pendapat Zendingsconsulaat di Jakarta.
MASYARAKAT KRISTEN DI INDONESIA:
            Sebelum I Regeeringsreglement (1855) masih ada keraguan tentang kedudukan orang Indonesia yang beragama Masehi. Istilah untuk mereka ialah “Inlandsche Christenen” (Kristen Bumi Putera). Pemakaian istilah demikian yang lebih menekankan kepada segi keagamaan Kristennya dari pada kebangsaannya, menyebabkan ditempatkannya umat Kristen pada kedudukan yang khusus. Perkembangan keadaan itu menimbulkan adanya pendapat bahwa orang Kristen Indonesia itu dapat disamakan dengan bangsa Eropa (metEuropeanan gelijkgesteld) dan dalam teorinya sampai tahun 1847 mereka itu dianggap seolah-olah disamakan dengan bangsa Eropa. Tetapi dapat pula dimengerti bahwa kedudukan seperti itu menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri. Karena itulah dipakai istilah Christen Inlanders (Boemipoetra Kristen); dengan demikian soal kedudukan tidak lagi menjadi sulit. Mereka itu meskipun agamanya berlainan dengan Bumiputra lainnya yang pada umumnya beragama Islam yang lain masuk lingkungan hukum adat agama sendiri. Perhatian Pemerintah seperti tergambar dalam riwayat Gereja Masehi Protestan, serta perhatian khusus dari pihak Pemerintah Belanda kepada usaha-usaha sosial Zending, menimbulkan anggapan yang istimewa di kalangan yang bukan Kristen terhadap golongan “Boemipoetra Kristen” tersebut.
            Dalam hal Staatblad tahun 1935 No. 74, 75 antara lain ditetapkan syarat-syarat yang dapat dianggap suatu bukti, bahwa seseorang Indonesia adalah “Boemi Poetra Kristen” yaitu sedikitnya memenuhi lima syarat, yaitu: Pencatatan jiwa, termasuk kelahiran, nikah dan perceraian sebagaimana ditetapkan dalam Stbld tahun 1935 No. 74, 75 tersebut di atas, dan berlaku untuk mereka yang berdomisili di Jawa, Madura, Ambon dan Minahasa.
            Prinsip perbedaan, lebih-lebih pertentangan agama dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian ada hal-hal uyang oleh golongan Islam maupun Kristen dianggap kurang adil, Pemerintah kolonial memegang prinsip pertentangan ini dengan teguh, malahan dipakai siasat dalam menjalankan pemerintahannya yang dikenal dengan “verdeel en heers politik” atau “didivde et impera” (memecah dan menguasai) sehingga menjauhkan kedua golongan satu sama lain, padahal mereka sebenarnya adalah satu bangsa. Antara kedua golongan tersebut timbul jurang pemisah, pertentangan bahkan permusuhan yang meskipun tidak nampak tetapi sungguh ada.
MASA PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG :
            Pemerintah fascis Jepang yang ingin memikat hati golongan Islam mencari pengaruh melalui lapangan keagamaan, dengan jalan memperketat penekanan kepada umat Kristen banyak Gereja-gereja dijadikan markas tentara Jepang, demikian pula Sekolah-sekolah, sehingga banyak penderitaan yang dialami oleh umat Kristen. Kepada umat Islam diberikan kebebasan yang semu, sebab pada hakekatnya merekapun diawasi dari jauh, agar tidak memupuk kekuatan yang membahayakan pemerintah pendudukan.
MASA PERALIHAN
            Kejadian-kejadian yang dialami oleh umat Kristen pada kedua penjajahan/pendudukan itu memberikan pelajaran bahwa kedua pemerintahan itu pada hakekatnya mempunyai sifat yang sama yaitu hanya ingin menguasai dan tidak senang melihat Indonesia merdeka. Oleh karena itulah bangsa Indonesia melaksanakan gerakan-gerakan politiknya untuk meningkatkan kesadaran nasional sebagai persiapan untuk menuju kepada perjuangan merebut kembali kemerdekaan yang telah tiga setengah abad dirampas oleh kaum umperialis.
MASA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA :
            Titik kulminasi dari pada gerakan kebangsaan dan gerakan politik yang bersumber dari pengalaman pahit akibat kejamnya penjajahan telah berpuncak pada Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang juga berarti berakhirnya masa penjajahan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 yang disahkan sehari sesudah Proklamasi itu sendiri memberikan corak baru dari pada masyarakat yang dicita-citakan oleh kemerdekaan itu.
            Pernyataan kemerdekaan tersebut dengan segera diikuti oleh suatu pememrintahan nasional. Sejak saat itu berjalanlah pemerintahan nasional, pemerintahan bangsa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Negara Republik Indonesia lahir dan memperkenalkan diri kepada dunia, dan mendapat pengakuan dari dunia internasional. Ia sanggup berdiri, membela hak hidupnya dan membangun kesejahteraannya.
KEADAAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA
            Pada bagian terdahulu telah diterangkan bahwa Agama Kristen datang di Indonesia sejak permulaan abad 16 bersamaan dengan kedatangan pedagang-pedagang bangsa Portugis yang beragama Rum Katolik, dan mereka tinggal di Maluku. Pada akhir abad 16 kedudukan pedagang bangsa Portugis digantikan oleh pedagang-pedagang Belanda, yang tergabung dalam Kongsi Dagang yang disebut VOC, selama dua abad lamanya, sampai dibubarkan dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda sendiri. Pemerintah Belanda melanjutkan tugas VOC yang dahulu diserahi tugas pemerintahan dari tahun 1605-1942 sampai datangnya Pemerintahan pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai dengan 16 Agustus 1945 dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka.
            Apa yang perlu kita catat dari fase-fase tersebut ialah, bahwa sejak tahun 1511 (kedatangan bangsa Portugis) sampai tahun 1799 tahun penghapusan VOC yang berkuasa sejak akhir abad 16, jumlah orang Kristen di Indonesia sangat sedikit sekali dan terdapat di Maluku (1514) di Minahasa (1563) di Jakarta (1609) di Timor tahun 1612 dsb. Yang di Maluku dan Minahasa pada mulanya beragama Masehi Roma Katolik dan sejak kedatangan bangsa belanda tahun 1596 berangsur-angsur menjadi Kristen Protestan. Hampir tidak ada data yang diperoleh selama olebih dua ratus tahun itu. Hal itu adalah disebabkan kurangnya perhatian bangsa Belanda terhadap agama Kristen dan tujuan utama mereka adalah berdagang untuk mendapatkan kuntungan yang sebesar-besarnya. Mungkin yang terpenting dicatat selama waktu itu adalah tentang berdirinya Gereja Masehi Protestan ( de Protestansche Kerk) di Indonesia tahun 1621.
            Setelah kekuasan VOC beralih ke tangan Pemerintahan Belanda, dan sejalan dengan perkembangan dan perubahan pandangan terhadap kehidupan keagamaan di negeri Belanda, yang ternyata juga telah masuk ke Indoensia adalah antara lain :
1.      Dilanjtukanya pemeliharaan Gereja Masehi Protestan sebgai Gereja Negara (Staatskerk) di mana semua administrasi dan keuangan Gereja diatur oleh Pemerintah melalui suatu badan yang disebut KERKBESTUUR. Gereja Masehi Protestan yang pada mulanya didirikan untuk kepentingan orang-orang Belanda, terutama yang berasal dari Maluku, Minahasa, Timor dan Jakarta. Kemudia jemaat-jemaat ini mendewasakan diri dengan nama Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Protestan di Indonesia bagian Bara (GPIB) yang bernaung di bawah Gereja Protestan Indonesia (GPI). Dikemudian hari Gereja-Gereja yang bernaung di bawah GPI bertambah lagi dengan Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo, Gereja Protestan Indonesia Buol Toli-Toli, dan Gereja Protestan Indonesia di Palu Donggala.
2.      Gereja GPI dengan cabang-cabangnya yang berdiri sendiri seperti tersebut di atas itu kemudian mengalami perubahan sejalan deng perubahan pandangan pemerintahan Belanda terhadap Agama dan Negara. Berdasarkan pandangan baru yang leberal itu, yang dikenal dengan sebutan: “Pemisahan antara Gereja dan Negara” maka di Indoensia pemerintah melaksanakan  itu secara bertahap. Pada tahun 1935 diadakan pemisahan Administrasi, yaitu pemerintah menyerahkan tugas administrasi sepenuhnya kepada wewenang Gereja GPI dan anggota-anggotanya, sedangkan mengenai keuangan baru dilaksanakan tahun 1950.
3.      Pada mulanya hanya ada satu Gereja di Indonesia, yaitu Gereja Masehi Protestan yang langsung diurus oleh pemerintah Belanda. Tetapi pada abad ke 19, sebagai akibat perkembangan rohani di Eropa, maka di Indoensia pun mulailah penyebaran agama melalui Badan-badan Zending. Badan-badan Zending yang bekerja di Indonesia adalah :
Reinische Mission Gezellschaft dari jerman yang bekerja di Tapanuli dan melahirkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan di Nias, melahirkan Gereja Banua Niha Kariso Protestan (BNKP).
Bazel Mission dari Swis yang bekerja di Kalimantan, melahirkan Gereja Kalimantan Evangelis.
Nederlansche Zending Genootschap yang bekerja di Sumba dan tanah Toraja, melahirkan Gereja Sumba di Waingapu dan Gereja Toraja di Rantepao (Sulawesi Selatan), dan kemudian di Sumatra Utara melahirkan Gereja Batak Karo Protestan di Kabanjahe.
Beberapa Badan Zending dari Amerika memperoleh ijin bekerja di beberapa daerah yaitu:
Seventh Day di Bandung melahirkan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.
Baptast Mission yang bekerja di Semarang yang melahirkan Gereja Baptis Indonesia.
Salvation Army yang bekerja di Bandung dan melahirkan Bala Keselamatan di Bandung.
Methodist Mission yang bekerja di Sumatra Utara dan melahirkan Gereja Methodis Indoensia di Medan, Methodist Mission ini mula-mula bekerja di Kalimantan, kemudian pindah ke Jakarta, dan ke Sumatra Utara.
Misi Pantekosta yang datang dari Amerika dan Eropa, bekerja di Jakarta dan beberapa daerah dan melahirkan Gereja-Gereja Pantekosta.
            Setelah Indonesia merdeka ada beberapa Misi yang membawa aliran baru seperti Watch Tower Bible and Tract Society yang melahirkan saksi-saksi Yehova dan siswa-siswa Alkitab yang kegiatannya telah dilarang oleh jaksa agung. Aliran Gereja Jesus Kristus dari orang-orang Suci zaman akhir yang disebut juga gereja mormon, Gereja Katolik bebas masuk dalam pelayanan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan. Masih ada aliran lainnya, yang rasanya tidak perlu diutarakan satu persatu.
Dengan dijinkannya badan-badan Zanding bekerja di berbagai daerah maka kedatangan Agama Kristen di Indonesia dapat pula dilihat dalam keterangan berikut :
1.      Maluku                 tahun   1514
2.      Minahasa             tahun   1563
3.      Sangir Talaud       tahun   1563
4.      Jakarta                 tahun   1609
5.      Timor                    tahun   1612
6.      Jawa Timur          tahun   1814
7.      Bengkulu              tahun   1820
8.      Kalimantan Selatan          1836
9.      Kalimantan Barat             1839
10.   Jawa Tengah/Semarang 1849
11.   Sulawesi Selatan             1851
12.   Jawa Tengah/Muria         1853
13.   Jawa Tengah/Salatiga     1855
14.   Batak/Tapanuli                 1861
15.   Jawa Barat                       1862
16.   Bali                                   1862
17.   Irian Jaya                         1862
18.   N i a s                               1865
19.   Kalimantan Timur            1865
20.   Jawa Tengah/Selatan      1869
21.   Sulawesi Tengah/Poso    1891
22.   Sumbawa                         1891
23.   Mentawai                                     1901
24.   Batak Karo                       1904
25.   Bolaang Mongondow       1904
26.   Sumatra Timur                 1905
27.   Sulawesi selatan/Makale 1913
28.   Sulawesi Selatan/Mamasa 1929
29.   Sulawesi Tenggara          1913
30.   Sul. Tenggara/Palu, Donggala 1938
31.   Kalimantan Timur            1930
Keterangan lain mengenai keadaan Agama Kristen di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan jumlah umat Ktristen selama 350 tahun masa penjajahan oleh Belanda dan selama 3.5 tahun masa pendudukan militer Jepang dan 35 tahun masa kemerdekaa. Selama 350 tahun dibawah penjajahan hingga tahun 1945 diperkirakan jumlah umat Kristen sebanyak 2.500.000. jiwa. Sejak tahun 1945 sampai 1981 dapat dilihat pertambahan sebagai berikut:
a.    Tahun 1945     = 2.500.000 jiwa
b.    Tahun 1951     = 3.471.283 jiwa
c.    Tahun 1961     = 4.531.973 jiwa
d.    Tahun 1971     = 6.049.949 jiwa
e.    Tahun 1981     = 8.505.696 jiwa
Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen selama 350 tahun sebanyak 2.500.000 jiwa adalah sangat kecil dibandingkan dengan pertambahan sebanyak 6.000.000 setelah Indonesia merdeka. Karena itu jelaslah bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak benar-benar ingin dengan sungguh-sungguh membantu pengembangan Agama Kristen di Indonesia, karena selama 350 tahun kekuasaannya, baru sekitar du setengah juta umat Kristen di Indonesia. Jumlah itupun adalah karena sebagian terbesar sebagai hasil usaha Badan-Badan Zending yang bekerja di Indoenasia sejak abad ke-19.
Bila pada abad ke-16 Agama Katolik di bawa oleh Portugis dalam waktu yang relatif singkat sudah mencapai jumlah puluhan ribu orang, maka selama pemerintahan bangsa Belanda seharusnya akan lebih besar lagi. Tetapi seperti telah dikemukakan di atas, pemerintah Belanda di Indonesia tidak untuk menyiarkan agama Kristen, tetapi  adalah kepentingan politik dagang dan yang kemudian dilanjutkan dengan politik penjajahan.
 Sumber: F. Ritonga, Memahami Keberadaan Agama/Umat Kristen Protestan di Tengah-tengtah tugas Pelayanan Pemerintah, Proyek Penerangan-Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Departemen Agama RI, Jakarta, 1984.


Selasa, 08 Januari 2013

KEDATANGAN AGAMA MASEHI DI INDONESIA (1)


Agama Masehi yang mula-mula disiarkan di Indonesia ialah agama Katolik. Pedagang-pedagang bangsa Portugis yang pada permulaan abad ke-16 mengunjungi kepulauan Indoenesia adalah pemeluk agama Roma Katolik. Mereka itu dalam perantauannya disertai oleh Pendeta-pendeta yang mempunyai tugas memelihara kehidupan rohaninya. Pendeta yang pertama yang turut mengunjungi kepulauan timur ialah Pendeta Fransiscus Xaverius.
            Kepulauan Indonesia yang mendapat perhatian istimewa dari pedagang-pedagang bangsa Portugis itu ialah kepulauan Maluku berhubung dengan hasil bumi yang terdapat disana seperti cengkeh dan pala yang dapat diperjual-belikan di benua lain dengan laba yang besar.
Dalam perjalanannya menyertai pedagang-pedagang dari Eropa itu, Pendeta Fransiscus Xaverius dapat pula berhubungan dengan penduduk asli yang dikunjunginya. Pergaulan dengan penduduk asli itu membuka jalan baginya untuk mengabarkan Injil kepada mereka, sehingga oleh pekerjaan beliau banyak dari antara penduduk asli kepulauan Ambon dan Ternate menjadi penganut agama Katolik.
            Kedatangan pedagang-pedagang bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 membawa perubahan dalam sejarah agama Masehi di Indonesia. Pedagang-pedagang bangsa Portugis yang kalah dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang bangsa Belanda, kemudian meninggalkan kepulauan Indonesia.
            Pedagang-pedagang Belanda yang mula-mula datang di Indonesia itu adlah orang-orang dari kongsi-kongsi dagang (Companieen van verve) yang pada tahun 1602 mempersatukan diri dalam kongsi dagang besar dengan memakai nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Mereka pada umumnya memeluk agama Masehi Protestan (aliran Calvin). Untuk pemeliharaan kehidupan rohaninya mereka itu pun sebagaimana bangsa Portugis mengikut sertakan pula Pendeta-pendeta, yang dimasukkan sebagai pegawai kongsi dagang tadi dan bekerja menurut instruksi dan perintah kongsi itu.
            Kecuali untuk rawatan rohani pedagang-pedagang bangsanya sendiri, Pendeta VOC juga menyiarkan agama Kristen kepada penduduk asli. Tetapi oleh karena VOC semata-mata suatu perserikatan dagang, mudahlah dimengerti, bahwa pergaulan dengan penduduk asli haruslah dipelihara baik-baik, agar tidak menimbulkan peristiwa yang dapat mempersukar, merintangi atau merusak hubungan baik mereka demi keuntungan perdagangan. Berhubung dengan itu, maka penyiaran agama kepada penduduk asli boleh dikatakan tidak dilakukan. Pembatasan terhadap tindakan-tindakan pendeta VOC mudah sekali dilakukan, oleh karena mereka itu semuanya adalah pegawainya. Tambahan pula kantor-kantor VOC (factorijen) hanyalah kedapatan di beberapa tempat di pantai saja, sehingga pergaulan dengan pendudk asli tidak mungkin.
            Yang mendapat kunjungan istimewa dari pendeta-pendeta VOC ialah pertama-tama kepulauan Maluku, d imana telah kedapatan pendudk asli yang beragama Katolik. Pekerjaan mereka di kepulauan itu menyebabkan penduduk menukar agamanya dengan Masehi Protestan.
VOC diberi hak oleh Staten Genaral bukan saja untuk bertindak sebagai kongsi (handels-monopolie) tetapi kepadanya diberikan pula keleluasan bertindak sebagai suatu pemerintahan (Staartrechten), yang dipimpin oleh Gubernur Jendral. Bwerhubung dengan sifat kedudukan sebagai suatu perintah, maka VOC di Indonesia ini, merasa perlu memelihara kehidupan rohani orang-orang Belanda kedapatan yang merantau, sebab dalam pemerintahan negeri Belanda kedapatan perhubungan yang erat sekali antara Agama Masehi Protestan dengan Negara.
Pendeta-pendeta yang tiba di Indonesia adalah pegawai Negeri dari pada suatu Pemerintahan yang harus takluk kepada peraturan dan keputusan pemerintah. Oleh karena Gereja itu adalah suatu institusi (badan) yang mempunyai kedaulatan sendiri dalam lingkungannya, maka Pendeta yang secara lahir terikat dan dipengaruhi oleh dan wajib pula menurut dan menjalankan peraturan Gereja dan perintah Agama, maka kedudukan para Pendeta itu manjadi sangat sukar. Sebagai Pendeta mereka harus campur tangan dalam tingkah laku orang-orang Belanda yang beragama Kristen yang menjadi pegawai VOC; tetapi di lain pihak sebagai pegawai VOC mereka harus tunduk dan menurut peraturan dan tidak bisa lepas dari pengaruh para pegawai tinggi VOC yang pada hakekatnya adalah majikannya.
Pemeliharaan rohani yang penyiaran agama dianggap sebagai tugas kewajiban pemerintah yang diwujudkan oleh VOC, tetapi karena VOC itu adalah suatu perserikatan dagang, yang hanya ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, dengan tidak perduli bagaimana cara mendapatkannya, dengan sendirinya pada asasnya tidak sesuai dan bertentangan dengan pendirian kegerejaan dan keagamaan, yang mendambakan kebenaran, kepedulian, kejujuran dan kecintaan (kasih).
Pada tahun 1799, VOC dibubarkan dan segala harta benda termasuk hutang dan urusannya jatuh kepada tangan  pemerintah Belanda sendiri. Segala urusan yang berpautan dengan agama pun masuk ke dalam lingkungan dan tanggungan pemerintahan. Hubungan erat dalam lingkungan dan tanggungan pemerintah. Hubungan yang erat antara pemerintahan dan Gereja dari zaman VOC-diteruskan pula setelah kekuasaan pindah ke tangan pemerintahan ke negeri Belanda.
Paham-paham baru tentang Negara dan Keagamaan (gereja) setelah revolusi di Prancis pada tahun 1780 yang berpengaruh ke negeri belanda, membawa perubahan pandangan mengennai Agama. Mulai tahun 1796 lahirlah paham-paham baru seperti misalnya “bahwa dalam negara tidak boleh diadakan perbedaan dari pihak pemerintah terhadap gereja-gereja”. Peraturan 1798 antara lain menyatakan bahwa “hal kemerdekaan beragama untuk tiap-tiap orang” dan “ hak yang sama bagi sekalian warga negara dengan tidak mengingat akan Agama yang dipeluknya dan Gereja yang diikutinya”. Paham-paham itu dibawa juga ke Indonesia, sehingga dengan demikian memungkinkan golongan lain selain dari pada Gereja Protestan bekerja di Indonesia, seperti terdapat dalam Instruksi Gubernur Jendral. Sebelum instruksi itu di Indonesia hanya kedapatan satu Gereja yaitu: “De Protestantche Kerk in Nederland Indei (Gereja Masehi Protestan), yang menjadi tanggungan pemerintah. Perlu dikemukakan bahwa pada tahun 1791 di Indoensia telah ada Jemaat Protestan Luther yang pada tahun 1835 digabungkan dengan Gereja Masehi Protestan.
Dengan adanya Instruksi Gubernur Jenderal itu, maka di Indonesia diperbolehkan masuk pelbagai aliran agama, diijinkan penyiaran agama oleh golongan-golongan, perhimpunan-perhimpunan atau gereja yang lain dari Gereja Masehi Protestan, Rum Katolik pun dapat memulai pekerjaannya di Indonesia.
BENTUK WUJUD DAN USAHA – USAHA :
Bentuk-bentuk perwujudan yang nampak dari pada kegiatan Agama Kristen, ialah berupa persekutuan (perserikatan) yang berwujud Jemaat (Gereja) atau perserikatan penyiaran (Zending).
            Jemaat Protestan yang pertama didirikan ialah jemaat Jakarta (Jemaat Belanda tahun 1621). Dengan berdirinya Jemaat itu dapatlah dikatakan mulainya Gereja Masehi Protestan. Selanjutnya di tempat-tempat (kota-kota) besar didirikan pula Jemaat-jemaat Belanda Masehi Protestan dalam lingkungan Gereja Masehi Protestan. Disamping jemaat Belanda tersebut, dalam lingkungan Gereja Masehi Protestan itu kedapatan pula Jemaat-Jemaat pribumi, terutama mula-mula untuk orang-orang yang berasal dari Maluku, Gereja Masehi Protestan, yang juga disebut Indische Kerk mempunyai sifat sebagai Gereja Pemerintah, dan sampai tahun 1935 para pendetanya selain digaji juga diangkat, dipindahkan dan sebagainya oleh Pemerintah. Pemerintah Belanda tiap-tiap tahun menyediakan pos dalam Anggaran Belanja Negara untuk keperluan gereja tersebut. Untuk Gereja Rum Katolik pun disediakan pos semacam itu, hanya saja tiada sebesar seperti untuk keperluan Gereja Masehi Protestan. Suatu Kerk-bestuur yang berkedudukan di Jakarta adalah pemusatan pengurus Gereja Masehi Protestan yang mempunyai jemaat yang tersebar di seluruh Indonesia.
            Pandanga tentang “Scheiding tussen Kerk en Staat” (Pemisahan antara Gereja dan Negara (Pemerintah) yang pada tahun 1910 mulai diusahakan, hingga tahun 1942 belum selesai-terlaksana sepenuhnya. Pada tahun 1935 baru dapat diselesaikan pemisahan administrasi (Administrative Scheiding tussen Kerk en Staat) sebagaimana diatur dalam stbl tahun 1935 No. 315). Hal itu berarti bahwa pemerintahan dalam Gereja diserahkan kepada Gereja sendiri, seperti pengangkatan, pemindahan para pendeta. Pemisahan Keuangan (Financiale Scheiding) belum dapat terlaksana dan masih akan diselesaikan.
            Pada permulaan abad ke-19 Missie Rum Katolik diperbolehkan lagi memulai pekerjaannya di Indonesia dengan membentuk satu Apostolis Vicariaat, yakni di Jakarta dan kemudian disusul dengan beberapa daerah lainnya, sehingga pada  tahun 1950 di seluruh Indonesia kedapatan 17 Vikariat dan 2 Prefectuur.
Kecuali dua jenis gereja yang kedapatan tadi itu, masih ada sebuah gereja Inggris di Jakarta dan Gereja Armenia, juga di kota Jakarta, bagi kepentingan Inggris dan Armenia yang ada di kota ini. Riwayat Agama Masehi di Indonesia tidak lengkap apabila tidak disebut juga pekerjaan Zending yang dilakukan oleh pelbagai perserikatan Zending yang datang tidak saja dari Negeri Belanda tetapi juga dari Amerika, Jerman, Swiss dan lain-lain. Oleh karena itu pekerjaan mereka itu maka samping Jemaat Gereja Protestan tumbuhlah Jemaat-Jemaat lain.
Pekerjaan Zending yang mula-mula bekerja di Indonesia adalah “Het Nederlandsch Zendeling Genootschap,” yang didirikan pada tahun 1707 di Rotterdam dan memilih lapangan pekerjaannya di Jawa (Jawa Timur), Sumatra Utara (Karo) dan Sulawesi Utara (Bolang Mongondow dan Poso). Wujud yang berhubungan dengan hal ini dapat dibagi beberapa bentuk, yakni:
a.      Perserikatan-perserikatan Zending;
b.      Jemaat-Jemaat Zending;
c.      Gereja-gereja yang berdiri sendiri;
d.      Perhimpunan-perhimpunan dan pergerakan-pergerakan lainnya.
Pembagian seperti ini mungkin dirasakan kurang tepat di dalam istilah gereja dan keagamaan, yang dalam semua bentuk, cara dan usaha hanya mengenal suatu nilai saja, yakni: “Mengabarkan berita kesukaan”. Pembagian tersebut dianggap sebagai pandangan yang objektif.
1.      Perserikatan-perserikatan Zending:
Pada masa-masa permulaan Perserikatan Zending di Indonesia tidak terdapat perhatian yang selayaknya dari pihak pemerintah Hindia Belanda bahkan mendapat perlakuan yang kurang baik. Sikap pemerintah kemudian barubah, tatkala telah dapat dipetik hasil usaha mereka dalam lapangan kemasyarakatan seperti kesehatan, pendidikan/pengajaran.          
Pusat-pusat pengurus perserikatan tersebut pada umumnya berada di luar Inodenesia. Kegiatan Perserikatan Zending di Indonesia terlihat dalam 3 fase, yaitu :
a)      Pekabaran Injil;
b)      Kesehatan;
c)      Pendidikan/Pengajaran.
Pada umumnya usaha kesehatan dan pengajaran itu diselenggarakan oleh organisasi/yayasan yang bersifat Badan Hukum sendiri, yang terpisah dari pokoknya, yakni Perserikatan itu sendiri, seperti: Medisch School Committee atau School Vereeniging, yang dapat berhubungan langsung dengan Pemerintah dan mempunyai tanggung jawab sendiri.
2.      Jemaat-Jemaat Zending:
Usaha pekabaran Injil menuju kepada pendirian Jemaat-jemaat dan atau Gereja-gereja memerlukan ketekunan dan waktu yang cukup lama. Sampai tahun 1942 masih banyak terdapat jemaat-jemaat Zending yang belum mempunyai pimpinan sendiri, tetapi diurus oleh Zending. Mereka itu belum dewasa, belum diintitueer (dilembagakan) sebagai Gereja, belum menjadi Gereja yang berdiri sendiri (Zelf-Standig). Mereka masih mempunyai hubungan matereel dan geestelijk (materi dan rohani) dengan Zending.

3.      Gereja Jemaat yang berdiri sendiri:
Tatkala Zending telah menganggap bahwa ada jemaat-jemaat (Gereja-gereja) yang telah berdiri sendiri (mengurus diri sendiri, mengembangkan diri sendiri dan membiayai diri sendiri (zelf regering, zelfuitbreiding, zelbekostiging), maka mulailah tinggal gereja yang berdiri sendiri (zelstandige kerken) di Indonesia. Seperti Gereja Jawa Timur (Oost Javaansche Kerk) dari Nederlandsche Zending Genootschap; dan Java Committee; Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sumatera Utara, dari Rheinische Mission Gezelschaft; Jemaat Gereja Jawa Gereformeerd di daerah zending der Gereformeerde Kerken Jawa Tengah-Selatan; Gereja Jawa Barat (Gereja Pasundan – West Javaasche Kerk), di Jawa Barat Nederlandsch Zending-vereeniging; Gereja Jawa Tengah Utara di daerah Bond van Zendelingen der Salatiga Zending; Gereja Jawa Tata Injil (Baptis) di daerah Doopgezinde Zendingvereeniging; Jepara, Kudus, Pati; Gereja Nias di Gunungsitoli, daerah Reinisch Mission Geszelschaft; Gereja yang berdiri sendiri di Borneo (Kalimantan) daerah Basler Mission Gezelschaft; Gereja-gereja Tiong Hoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) di daerah-daerah Zending terutama di Pulau jawa.

4.      Perhimpunan dan pergerakan lainnya :
Bebebrapa perhimpunan dan pergerakan lainnya dapat dikemukakan beberapa nama, seperti Leger des Heils (Bala Keselamatan), yang banyak juga bekerja dilapangan kemasyarakatan; Golongan Pentakosta (Pinksterkerk, Pinksterzending, Pinkstervreugd, Pinksterbeweging). Advent-zendinggemeente in de Eenheid der Apostelen. Dan masih banyak bentuk gerakan dan usaha-usaha lainnya yang tidak akan disebut satu persatu.
Sumber: F. Ritonga, Memahami Keberadaan Agama/Umat Kristen Protestan di Tengah-tengtah tugas Pelayanan Pemerintah, Proyek Penerangan-Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Departemen Agama RI, Jakarta, 1984.

Kata kata

Cintailah seseorang sepenuhnya, termasuk kekurangannya, dan suatu saat kamu akan pantas mendapatkan yang terbaik darinya.

SESUATU YANG BERHARGA

Terkadang, Tuhan menghilangkan sesuatu yang sangat berarti dari genggamanmu, agar kamu menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik.