a.
Penciptaan
Di dalam berbicara tentang penciptaan,
maka hal ini tidak terlepas dari kemahakuasaan Allah sebagai Pencipta Langit dan Bumi dan
segala sesuatu yang ada di dalamnya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata penciptaan berasal dari kata
dasar “cipta” yang artinya “kesanggupan untuk mengadakan sesuatu yang baru”,
dan dari kata kerja “menciptakan” yang artinya “menjadikan sesuatu yang baru
tidak dengan bahan” atau membuat (mengadakan) sesuatu yang baru (belum pernah
ada, luar biasa). Jadi penciptaan bisa didefinisikan sebagai suatu proses,
pembuatan, cara menciptakan sesuatu yang baru tidak dengan bahan.[1]
Penciptaan
berkaitan dengan pekerjaan Allah sesuai dengan rencana-Nya, dan untuk
melaksanakan rencana-Nya dimulai dari penciptaan bumi yang kosong, artinya dari
tidak ada menjadi ada, dan diciptakan-Nya segala sesuatu tanpa bahan baku.
Manusia tidak dapat mengerti dengan akal budi tentang penciptaan bumi yang
kosong, oleh sebab itu adalah pekerjaan Allah yang melampaui segala akal dan
pikiran manusia dan manusia tidak mempunyai hak untuk mengetahui hal itu sebab
manusia adalah ciptaan-Nya yang berada di bawah kuasa Allah.
J. L. Ch. Abineno, menyatakan bahwa: Salah satu hal yang menarik perhatian
dalam ceritera penciptaan ini ialah, bahwa penciptaan Allah (dengan perkataan)
selalu dimulai dengan suatu formula yang tetap: “Berfirmanlah Allah: Hendak…dan
jadilah demikian”. Skema atau bagan ini adalah sesuatu yang khas untuk Kejadian
1.[2]
Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya,
tidak diciptakan dengan perantara, tetapi diciptakan dengan kemahakuasaan-Nya
melalui Firman-Nya dijadikan-Nya segala sesuatu di bawah kuasa-Nya.
Yohanes Calvin menyatakan:
Supaya
kita menerima dengan iman yang benar apa yang perlu diketahui mengenai Allah,
kita pertama-tama harus memperhatikan riwayat penciptaan dunia. Dari situ kita
akan tahu bahwa Allah dengan kekuatan Firman dan Roh-Nya telah menciptakan
langit dan bumi dari ketiadaan dan bahwa dari langit dan bumi itu telah
dibuat-Nya segala jenis binatang serta ciptaanyang tak bernyawa, bahwa telah
dibeda-bedakan-Nya, dengan tertib yang mengagumkan, keanekaragaman benda yang
tak terhingga yang kita lihat itu, bahwa setiap jenis diberi-Nya sifat sendiri,
bahwa telah ditetapkan-Nya tugas mereka, bahwa telah ditentukan-Nya tempat dan
rumah bagi mereka.[3]
Bahwa dunia dengan segala isinya diciptakan
oleh Tuhan Allah dengan kebesaran dan kemahakuasaan-Nya, maka dapat diyakini
dengan iman yang benar melalui kesaksian Alkitab yang ditulis oleh para Nabi
Allah, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan apa yang harus
mereka lakukan serta menentukan tempat dan rumah bagi mereka sesuai dengan
rencana dan kehendak-Nya dari semula dengan tujuan untuk memuliakan diri-Nya.
R. L. Dabney menyatakan,
The
words rendered to create, cannot be considered, in their etymologi and usage,
very distinctive of the nature of the act. The authorities ברא mean “to cut or cauve”, primarily, (from the idea of
spilitting of parts, or separation) hence “to fashion”, then to “create”, and
thence the more derivative sense of producing or generating, regenerating the
heart. [4] Kata-kata yang diberikan untuk membuat, tidak dapat dianggap,
dalam etymologi dan penggunaan, yang sangat khas dari sifat perbuatan. Pihak
berwenang ברא berarti "untuk memotong atau cauve", terutama, (dari
ide bagian,
atau pemisahan) maka "ke mode", lalu "menciptakan", dan
dari situ arti yang lebih turunan dari memproduksi atau menghasilkan,
regenerasi jantung.
Sementara
itu J. Verkuyl menyatakan,
“Pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Alkitab (Kitab Kejadian) mulai
dengan kata-kata yang hebat ini. Alkitab mengajar kita untuk melihat seluruh
alam semesta. Alkitab mengarahkan pandangan kita kepada bintang-bintang dan
planit-planit, gunung-gunung dan padang gurun, laut dan sungai, tumbuh-tumbuhan
dan hewan, manusia dan malaikat.[5]
Kata-kata dalam Kitab Kejadian 1:1
menurut J. Verkuyl, merupakan kata-kata
yang sangat mengagumkan, di mana dalam kata-kata tersebut memperlihatkan
kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah sebagai Pencipta Langit dan Bumi, Laut
dan segala isinya. Dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan kata kerja dalam
bahasa Ibrani “bara”, yang artinya
membangun, membentuk, menciptakan. Kata ini hanya menunjuk kepada Allah saja
sebagai Pencipta Langit dan Bumi dan segala isinya, tidak ditujukan kepada
makhluk lain.
Herman Bavinck menjelaskan:
Karya Allah ke luar dimulai dengan penciptaan.
Penciptaan adalah penyataan pertama Allah, permulaan dan pondasi seluruh
penyataan berikutnya. Konsep alkitabiah tentang penyataan berakar di dalam
konsep penciptaan tersebut. Allah pertama kali menampakan diri ke luar di
hadapan ciptaan-ciptaan-Nya dalam penciptaan dan menyatakan diri kepada mereka.
Dalam menciptakan dunia dengan firman-Nya dan menjadikannya hidup oleh Roh-Nya,
Allah telah menggambarkan kontur-kontur dasar seluruh penyataan selanjutnya.[6]
Dunia
yang teratur ini sebenarnya keluar atau atau muncul dari suatu kekacauan, atau
diatur dari suatu keadaan yang semula kacau-balau, di mana tidak ada
kemungkinan hidup, hingga menjadi dunia yang teratur dengan kemungkinan hidup.
Berita tentang penjadian yang demikian itu masih juga menggema dalam Mzm. 33:6,
7, yang mengatakan, bahwa oleh firman Allah Langit telah dijadikan, oleh nafas
dari mulut-Nya dan bahwa Allah telah mengumpulkan air seperti dalam bendungan,
dan menaruh samudera raya ke dalam wadah. Sekalipun bumi berada di dalam lautan
yang besar, namun kokoh juga, sebab Tuhan Allah telah memberikan dasar atau
alasnya.
b.
Malaikat – Malaikat
Alkitab
tidak mencatat secara persis kapan malaikat diciptakan, akan tetapi satu hal
yang pasti bahwa malaikat adalah makhluk roh yang diciptakan Allah dan yang
diberkati dengan pengetahuan yang lebih tinggi dari manusia, tetapi malaikat
tidak memiliki tubuh seperti manusia, mereka bebas dari ikatan tubuh jasmaniah
yang kotor dan tugas dari malaikat-malaikat adalah melayani Allah.
Enam Belas Dokumen Dasar Calvinime menjelaskan:
Kita
percaya, bahwa Allah, dalam tiga Pribadi yang bekerja sama, telah menciptakan
segala sesuatu melalui kekuatan-Nya, hikmat-Nya, dan kebaikan-Nya yang tidak
terpahami, baik langit dan bumi serta segala isinya maupun roh-roh yang tidak
kelihatan.[1a] Di antara roh-roh ini, sebagian telah tersandung dan jatuh ke
dalam kebinasaan,[b] sebagian lagi bertahan sehingga tetap taat.[c] Kita
percaya bahwa yang pertama itu rusak, bergelimang kejahatan, sehingga mereka
menjadi musuh segala kebaikan dan karena itu juga musuh seluruh Gereja.[d]
Bagian kedua, yang dilindungi oleh anugerah Allah, menjadi hamba-hamba yang
bertugas memuliakan nama Allah dan melayani orang pilihan demi keselamatan
mereka.[e][7]
Allah Tritunggal menciptakan langit dan
bumi dan segala sesuatu, termasuk roh-roh yang tidak kelihatan yaitu
malaikat-malaikat, dan ada di antaranya malaikat yang jatuh, tetapi perlu
diperhatikan bahwa Allah tidak pernah menciptakan malaikat yang jahat, ia jatuh
karena keinginan dirinya sendiri untuk melawan Allah. Satu malaikat jatuh tidak
semua malaikat ikut jatuh, sehingga ketika mereka jatuh tidak ada kasih
karunia, itu sudah final. Jadi untuk malaikat yang jatuh tidak ada kemungkinan
untuk diselamatkan. Dan bagi malaikat yang tetap setia melayani Allah, mereka
tetap menjadi hamba Allah untuk melayani Allah dalam menyampaikan maksud dan rencana
Allah kepada umat yang khusus kepunyaan Allah, serta menghibur dan menjaga
umat-Nya.
Paul E. Little mengatakan:
Kecerdasan
dan kuasa malaikat lebih besar daripada kecerdasan dan kuasa manusia, walaupun
mereka itu terbatas. Bahwa malaikat itu terbatas dapat disimpulkan dari
pernyataan Tuhan kita bahwa malaikat-malaikat, walaupun mereka berada di Surga,
tidak mengetahui hari atau saat kedatangan Anak Manusia (Markus 13:32). Injil
dan keselamatan adalah “hal-hal yang ingin diketahui oleh malaikat-malaikat” (I
Petrus 1:12), dan dapat disimpulkan bahwa mereka tidak sepenuhnya mengerti akan
hal-hal itu. Dikatakan juga bahwa malaikat-malaikat itu lebih kuat dan lebih
perkasa dari manusia (II Petrus 2:11). Mereka adalah pahlawan perkasa (Mazmur
103:20).[8]
Sekalipun malaikat - malaikat memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari manusia dan disebut pahlawan yang perkasa, tetapi
kuasanya terbatas, kuasanya berada di bawah kuasa Allah yang menciptakan langit
dan bumi, serta tetap tunduk dan takluk di bawah kuasa Allah,
dan juga tentang rencana-rencana Allah untuk dunia ini dan keselamatan umat
yang khusus tidak pernah diketahui oleh malaikat-malaikat, dan pengetahuan yang
dimiliki oleh malaikat-malaikat diberikan untuk melayani dan memuliakan Allah
sebagai ciptaannya.
Louis Berkhof menjelaskan: Malaikat adalah keberadaan yang mempunyai rasio, moral,
dan tidak dapat mati. Hal ini berarti bahwa malaikat adalah pribadi yang diberi
pikiran dan kehendak. Kenyataan bahwa mereka mempunyai pikiran tampaknya segera
mengikuti kenyataan bahwa mereka adalah roh.[9]
Malaikat adalah makhluk roh yang diciptakan oleh Allah, tidak memiliki tubuh
seperti manusia. Malaikat tidak ada laki-laki dan perempuan, tidak dilahirkan
dan tidak ada kepala perjanjian, tetapi malaikat juga memiliki pengetahuan yang
besar yang diberikan oleh Tuhan, tetapi berada di bawah kemahakuasaan Tuhan.
c.
Manusia
Berbicara
tentang manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang
sangat istimewa dan unik dari segala ciptaan yang ada. Manusia dibentuk dari
debu tanah dengan kuasa tangan Allah sendiri yang ke hidungnya Allah
menghenbuskan nafas hidup (Kej. 2:7), di sini dapat dikatakan bahwa manusia
tidak ada dengan sendirinya melainkan ada yang menciptakannya yaitu Allah
sendiri yang menciptakannya.
Louis Berkhof menjelaskan:
Manusia dikatakan berada di puncak segala susunan
penciptaan. Manusia dimahkotai sebagai raja atas semua ciptaan yang lebih
rendah, dan berhak memerintah semua ciptaan yang lain. Maka tugas dan tanggung
jawabnya adalah menjadikan seluruh alam dan seluruh ciptaan yang ada di bawah
kuasanya menjadi pelayan bagi maksud dan kehendaknya, dalam tujuan bahwa ia dan
seluruh makhluk yang ada di bawahnya memuliakan Allah yang Maha Kuasa dan Tuhan
dari seluruh alam semesta, Kej. 1:28; Mzm. 8:4-9.[10]
Ketika
Allah menciptakan manusia, diciptakan dengan begitu sempurna adanya sebagai
permata di atas semua ciptaan lainnya. Manusia diciptakan secara istimewa dari
segala jenis ciptaan yang lain termasuk malaikat. Manusia diciptakan sesuai
dengan gambar dan rupa Allah, sehingga diberi kekuasaan untuk memerintah dan
berkuasa atas ciptaan yang lainnya dan di dalam kekuasaan yang diberikan oleh
Allah kepada manusia, manusia dan ciptaan yang lainnya memuliakan Allah sebagai
Penciptanya.
Harun Hadiwijono menyatakan:
Manusia bukan dilahirkan oleh Allah secara biologis,
juga bukan dialirkan keluar daripada zat Ilahi, seperti sungai mengalir keluar
dari sumbernya, juga bukan kepingan yang keluar daripada Allah atau percikkan
yang dipercikkan dari Allah. Manusia adalah makhluk dalam arti yang sebenarnya,
yang adanya karena diciptakan oleh Tuhan Allah. Manusia adalah hasil karya
Allah, yang keadaannya berlainan sekali dengan Tuhan Allah yang menciptakannya.[11]
Manusia adalah pekerjaan tangan Allah
sendiri dan berasal dari silsilah Allah, tetapi berbeda dari Allah yang
menciptakannya. Di dalam Kisah Para
Rasul 17:28,” Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti
yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: sebab kita ini dari
keturunan Allah juga.
Werner Gitt menjelaskan: Apa artinya manusia diciptakan menurut citra
Allah? Allah menciptakan manusia menurut gagasan dan pikiran-Nya, menurut
rupanya, mencerminkan ciri dan sifat Allah sendiri.[12] Ini berarti bahwa hubungan antara manusia dengan sesama harus bisa
melebihi apa yang sekadar wajar atau pantas. Manusia dan sesama harus dapat
bersifat kreatif dan bersifat menguatkan atau menyegarkan, seperti hubungan
Allah dengan kita (Ayub 29:12-14).
John Owen menyatakan,
The
entire theology of the whole human race is contained in God’s words, either the
natural word of His creation or the written and transmitted word which has been
granted to succeed the obliteration of the natural word by the infection of
sin. The letter is, therefore, called a supernatural or a revealed word. Let us
first consider that first word and look at it in its primal purity, its
corruption by sin, and its subsequent perversion by heretics.[13] Teologi seluruh umat
manusia yang terkandung dalam kata-kata
Allah, baik kata alam
ciptaan-Nya atau kata-kata
tertulis dan dikirimkan yang
telah diberikan untuk menggantikan
obliterasi dari kata alam oleh infeksi dosa.
Surat tersebut, oleh karena itu, yang disebut supranatural atau kata diwahyukan.
Mari kita menganggap bahwa kata pertama dan melihatnya dalam kemurnian primal, korupsi dengan dosa, dan penyimpangan
selanjutnya oleh bidat.
Thomas Boston: ‘God made man uprigth’. This supposes a law to which he was confermed in
His creation; as when any thing is made regular, or according to rule, of
necessity the rule itself is presupposed.[14] 'Tuhan
menciptakan manusia. Hal ini mengandaikan suatu hukum yang ia confermed
dalam ciptaan-Nya; seperti ketika
hal apapun dibuat teratur, atau sesuai aturan,
kebutuhan aturan itu
sendiri mengandaikan.
d.
Gambar Allah
Manusia
diciptakan dengan gambar Allah, artinya memiliki kekudusan, kebenaran dan
pengenalan yang benar akan Allah, hal ini diberikan agar supaya manusia menjadi
sekutu Allah. Kebenaran dan kekudusan Allah tidak terbatas dan tidak berhungan
dengan alamiah, dan juga gambar Allah tidak berada dalam binatang.
John Calvin menjelaskan istilah Gambar Allah itu demikian:
“Gambar dan rupa
Allah” mencakup segala sesuatu di mana natur manusia mengatasi segala natur binatang.
“Gambar dan rupa Allah” terkandung makna integritas yang dengannya Adam
diperlengkapi ketika inteleknya jelas, perasaannya berada di bawah pikirannya,
semua inderanya diatur dan ketika ia sungguh-sungguh mengakui kebaikannya
adalah karunia Sang Pencipta.[15]
Sementara
itu Thomy J. Matakupan dan Julio Kristano mengatakan:
Ada tiga unsur penting dari gambar-rupa Allah di dalam
manusia, yaitu kebenaran, kekudusan, dan pengetahuan yang sesungguhnya. Ketiga
bagian ini yang menjadikan manusia sepenuhnya berbeda dengan ciptaan lain.
a.
Pengetahuan. Sebelum kejatuhan, manusia memiliki
pengetahuan yang benar tentang Allah dan mampu memahami penyataan Allah
mengenai diri dan dan kehendak-Nya dengan sempurna. Manusia pertama
mempraktekkan pengetahuan yang belum terdistorsi oleh dosa ini dengan
menjalankan semua kehendak Allah, memberi nama semua ciptaan, dan bahkan
memberi nama kepada perempuan yang diberikan Tuhan kepadanya.
b.
Kekudusan. Di dalam kekudusan yang sejati, manusia
dapat hidup dan bersekutu dengan Tuhan Allah. Ia hidup dalam kekudusan Allah
dan menemukan diri dalam terang Allah. Manusia memiliki sikap hati yang benar
di hadapan Allah tanpa harus merasa takut dan bersalah.
c.
Kebenaran. Nama lain untuk kebenaran adalah
“ketaatan”. Maksudnya, sebelum kejatuhan, manusia menginginkan dan melakukan
semua kebenaran Tuhan di dalam ketaatan yang sempurna.[16]
Di dalam kesempurnaannya sebagai ciptaan
Allah yang paling mulia itu, manusia diperlengkapi dengan kemampuan oleh Allah
untuk menunjukkan kemuliaan Penciptanya. Manusia diperlengkapi dengan
pengetahuan yang benar tentang Allah dan kemampuan untuk memahami diri dan
kehendak Allah dengan sempurna, serta kemampuan untuk mempraktekkan pengetahuan
dan kebenaran Allah.
Di dalam kesempurnaannya sebagai ciptaan
Allah yang paling mulia itu, terdapat pula kebebasan yang diberikan oleh Allah
untuk memilih taat atau tidak taat kepada perintah Allah. Oleh karena manusia
diberi kebebasan untuk memilih memuliakan Allah atau tidak, maka ada
kemungkinan bagi manusia untuk memilih tidak memuliakan Allah.
Sementara G. J. Baan menyatakan,
Kita membaca bahwa manusia diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah (Kej. 1:27). Ini berarti bahwa manusia itu sempurna, seperti
Allah, namun ditempatkan di bawah-Nya. Manusia pada waktu itu tidak mengenal
dosa, atau akibat-akibat yang ditimbulkannya seperti kematian, sakit penyakit,
kesalahan, dan kelemahan. Manusia pada waktu itu seperti Allah.[17]
Karena manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah, maka di dalam diri manusia terdapat kebenaran, kekudusan dan
pengetahuan yang benar akan Allah, manusia memiliki perasaan dan kesan akan
keilahian Allah sebagai Penciptanya, akan tetapi akibat kejatuhan manusia dalam
dosa segala karunia yang diberikan oleh Allah menjadi rusak, tetapi masih ada
percikan-percikan kecil yang tersisa di dalam diri manusia dan akibat kejatuhan
manusia dalam dosa adalah maut. Manusia sekarang berfungsi secara berdosa di
dalam hubungannya dengan Allah, sesama, dan alam.
A.
A. Sitompul menyatakan:
Allah
menciptakan manusia dari debu tanah. Lalu Allah menghembuskan nafas kehidupan
ke hidung manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup menurut gambar
Allah. Di sinilah hubungan manusia dengan dunia dan alam. Hubungan manusia
dengan alam sekitarnya sangat erat, bahkan dari pandangan ekologi tentang
manusia dapat dikatakan bahwa manusia itu bergantung dari alam untuk hakekat
(esensi) keberadaannya.[18]
Meskipun hubungan manusia
dengan tatanan ciptaan sangat erat, manusia melebihi tatanan ciptaan itu
sendiri. Hubungan fundamental mereka adalah dengan Allah, dan dalam hubungan
tersebut terletak kebebasan fundamental mereka terhadap alam sekitar. Meskipun
mereka dijadikan sebagai suatu bagian dari alam, mereka juga dijadikan untuk
memerintahnya.
G. I.
Williamson menyatakan bahwa:
“Mempermuliakan Allah”, bukan berarti
“menjadikan Allah mulia”. Allah memang sudah mulia. Ia sudah mulia sejak kekekalan,
dan tidak satupun makhluk ciptaan-Nya yang dapat menjadikan-Nya lebih mulia.
Ungkapan “mempermuliakan Allah” hendaknya lebih diartikan “memancarkan
kemuliaan Allah”. Alkitab mengatakan bahwa semua ciptaan Allah memancarkan
kemuliaan-Nya, (Mzm. 19:1). Tidak terkecuali manusia. Bahkan manusia lebih
daripada ciptaan lain, sebab dikatakan manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah sendiri. (Kej. 1:27). Namun berbeda dengan ciptaan lainnya yang
secara otomatis memancarkan kemuliaan Allah, manusia dipersilakan oleh Allah
untuk melakukannya.[19]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa memuliakan Allah artinya, mencerminkan kemuliaan Allah. Seluruh
ciptaan Allah mencerminkan kemuliaan Allah, akan tetapi manusia berbeda dengan
semua ciptaan yang lain. Jika ciptaan lain secara otomatis mencerminkan
kemuliaan Allah, maka kepada manusia diberi Allah kebebasan untuk menyatakan
atau tidak menyatakan kemuliaan Allah melalui sikap hidupnya.
Homer C. Hoeksema: If distinction is to be made in the image of God
after which man was created, we prefer to make the distinction between the
image in a formal and in a material sense. By the former is meant the fact that
man’s nature is adapted to bear the image of God.[20]
Bila
perbedaan harus diciptakan menurut gambar Allah setelah manusia diciptakan,
kita lebih memilih untuk membuat perbedaan antara gambar dalam formal dan dalam
arti material. Dengan mantan dimaksudkan kenyataan bahwa kodrat manusia
disesuaikan dengan menanggung citra Allah.
Arie
Jan Plaisier menyatakan:
Dengan memakai
istilah ‘gambar Allah’, Alkitab menyoroti kehidupan manusia sebagai kehidupan
yang unik. Tentu bukan hanya Alkitab yang mengakui keunikan manusia itu. Juga
dalam-dalam agama-agama lain dan dalam banyak konsep filsafat, manusia
digambarkan sebagai makhluk yang tersendiri dalam jenisnya, lain dari yang
lain. Hal itu sering dijelaskan melalui perbandingan manusia dengan
binatang-binatang.[21]
Manusia adalah
ciptaan yang paling istimewa dan sangat unik dari segala ciptaan lainnya, akan
tetapi manusia bukanlah sekedar sebuah ciptaan, manusia juga adalah pribadi.
Sebagai satu pribadi yang diciptakan manusia mampu membuat keputusan,
menetapkan tujuan, dan bergerak ke arah tujuan-tujuan itu. Ini berarti manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya sebelum jatuh dalam dosa.
Manusia diciptakan memiliki intelektual dan rasio yang berbeda dengan binatang
yang tidak memiliki intelektual dan rasio. Dan sejak ada manusia telah menjadi
persoalan bagi manusia dengan menguraikan dari mana asal manusia dan ke manakah
tujuan hidupnya, serta bagaimana rahasia hidupnya, memang sejak dahulu kala
telah menjadi pusat perhatian segala agama tentang manusia.
Richard.
L. Pratt menyatakan:
Kata gambar dan
rupa menyatakan status kita yang hina. Pada zaman Perjanjian Lama, istilah ini
sering menunjuk kepada sebuah patung atau arca semacam representasi tiga
dimensi dari seorang manusia atau suatu benda. Dari penggunaan yang luas ini,
kita dapat mengerti apa yang Allah maksudkan ketika Ia menyebut Adam dan Hawa
sebagai gambar dan rupa-Nya. Mereka adalah ciptaan terbatas, namun mereka
adalah representasi dalam bentuk fisik dari Penciptanya.[22]
Dalam hidup ini, yaitu di
dalam orang-orang yang tengah diperbaharui, kita melihat gambar Allah hanya
seperti “melaui sebuah cermin, secara samar-samar”. Apa yang kita lihat saat
ini hanyalah tanda dan isyarat mengenai seperti apa gambar Allah yang
diperbarui nantinya. Kesempurnaan final gambar Allah ini akan menjadi puncak
rencana Allah bagi umat pilihan atau khusus. Kesempurnaan gambar Allah dalam
diri manusia terkait amat erat dengan pemuliaan Kristus. karena Kristus dan
umat-Nya adalah satu, maka umat-Nya juga akan berbagian dalam pemuliaan-Nya.
e.
Providensi.
Kata
providensi tidak tercatat dalam Alkitab, tetapi sesungguhnya providensi Allah
nyata dalam terang kebenaran firman-Nya. Providensi berasal dari kata Latin
“Providentia”, yang setara dengan kata bahasa Yunani yang berarti pengetahuan
atau penglihatan awal, tetapi perlahan-lahan kemudian memperoleh arti yang
lain.
Edwin Palmer menjelaskan :
Provedensi adalah
kuasa Allah yang maha kuasa dan kekal adanya, yang dengannya Ia menopang Surga,
Bumi, dan segala ciptaan (seperti tangan-Nya) dan mengaturnya sehingga tidak
ada daun atau pedang, hujan atau kemarau, tahun yang subur atau gersang,
makanan atau minuman, sehat atau sakit, kemakmuran atau kemiskinan atau segala
sesuatupun terjadi pada kita secara kebetulan selain atas ijin Bapa surgawi
kita.[23]
Berbicara
mengenai pemeliharaan Allah sangat erat hubungannya dengan pengetahuan Allah
sejak semula. Yang nyata dalam segala peristiwa dan hidup manusia telah diatur
oleh Allah, dengan kekuatan dan kemahakuasaan-Nya yang telah mengatur segala
sesuatu yang melangsungkan kehidupan dalam dunia. Jadi tidak ada sesuatu pun
dalam hidup ini yang terjadi di luar kehendak Allah, semuanya semata-mata hanya
anugerah Allah yang nyata dalam hati dan hidup manusia juga hal-hal yang kecil
sekali pun termasuk dalam pemeliharaan Allah. Allah Maha mengetahui segala
sesuatu termasuk jumlah rambut di kepala kita pun Dia mengetahuinya dan tidak
sehelai rambut pun jatuh di luar kehendak Allah.
Herman Bavinck: Because of this close relationship between creation and providance the
letter is sometimes called a continuous or progressive creation. Such a
designation can be taken in a good sesse, but it ought nevertheless to be
secured against misunderstanding.[24]
Karena hubungan erat antara
penciptaan dan providance surat itu kadang-kadang disebut ciptaan terus menerus atau progresif. Seperti penunjukan
dapat diambil dalam
sesse baik, tetapi tetap harus diamankan
terhadap kesalahpahaman.
J. Verkuyl menyatakan:
Alkitab
memberitakan dengan, bahwa ada tangan yang memimpin kita, ada kasih yang
merangkul kita dan ada tujuan, ke mana kita semua kita dipimpin. Tuhan yang
memerintah! Demikianlah sorak yang sering terdengar dalam Alkitab. Dunia, yang
telah diciptakan oleh Allah, tidak dilepaskan oleh-Nya. Kita tidak dibiarkan
begitu saja oleh Tuhan. Ia mau mencampuri hidup kita. Kita didukung dan
dipimpin menurut rencana-Nya, menuju tujuan yang ditetapkan oleh-Nya. Itulah
yang disebut pemeliharaan oleh Allah. Memelihara itu adalah lain daripada
menciptakan. Tuhan tidak melanjutkan pekerjaan menciptakan itu.[25]
Memelihara dan menciptakan adalah sesuatu
hal yang berbeda, Menciptakan adalah tindakan Allah menjadikan segala sesuatu
dari tidak ada menjadi ada artinya dari sesuatu yang kosong, sedangkan
memelihara adalah tindakan Allah menjaga atau memelihara apa yang telah
dijadikan-Nya. Jadi ketika Allah menciptakan segala sesuatu Ia tidak membiarkan
ciptaan-Nya begitu saja, Allah mengatur dan memimpin ciptaan-Nya baik yang ada
di Surga maupun di bumi kepada tujuan berdasarkan rencana dan kehendak-Nya yang
telah ditetapkan sejak semula. Pemeliharaan Allah nyata dalam ciptaan-Nya, Ia
tidak pernah menarik tangan satu detik pun dari dunia yang diciptakan-Nya.
Melalui providensi-Nya, Allah memuliakan diri dengan tujuan untuk mengumpulkan
umat pilihan-Nya dan yang menjadi objek dari pemeliharaan Allah adalah Yesus
Kristus karena di dalam Dialah Allah memuliakan diri-Nya.
Thomas Watson: God’s work’s of providance are
the acts of his most holy, wise, and powerful government of his creatures, and
of their action.[26]
Pekerjaan Allah itu dari providance adalah
tindakan pemerintah yang paling suci, bijaksana, dan kuat dari makhluk-Nya, dan tindakan mereka.
Derek Prime menjelaskan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban, Pertanyaan:
apakah Allah mengendalikan segala sesuatu? Jawab: Allah mengendalikan segala sesuatu,
dan melaksanakan segala sesuatu selaras dengan ketetapan dan bagian dari
kehendak-Nya sendiri.[27]
Segala sesuatu berada dalam
pengendalian Allah meliputi seluruh alam semesta ini, tidak ada satu pun
makhluk yang berada di luar pengendalian Allah Sang Pencipta segala sesuatu
berdasarkan kehendak-Nya.
James P. Boyce: Providence is also
closely allied to predestination or purpose; but the destinction between these
two is also equally clear. The purpose of God is his predetermined plan as to
what shall be done in his creation by himself or by others.[28] Pemeliharaan juga erat
bersekutu dengan predestinasi atau tujuan; tetapi destinction antara kedua juga
sama jelas. Tujuan Allah adalah rencananya yang telah ditentukan untuk apa
harus dilakukan dalam ciptaan-Nya sendiri atau oleh orang lain.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Peny. Anton M. Muliono,dkk, cet ke-9, Balai
Pustaka, Jakarta, 1997, h. 191.
[2] J. L. Ch. Abineno, Manusia dan sesamanya di dalam Dunia,
cet. Pertama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987, h. 7.
[3] Yohanes Calvin, Institution, peny. Th. Van den End, pen. Winarsih Arifin, J. S.
Aritonang, Th. Van den End, cet. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, h. 33.
[4] R. L. Dabney, Systematic Theologi, The Banner of Truth Trust, 1985, pg. 247.
[5] J. Verkuyl, Aku Percaya, peny. Soegiarto, cet ke-16, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1995, h. 50.
[6] Herman Bavinck, Dokmatika Reformed, cet. Pertama, Momentun, Surabaya, 2011, h. 369.
[7] Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, peny. Th. Van den End, cet ke-8, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2001, h. 3.
[8] Paul E. Little, Kutahu yang Kupercaya, peny. Pauline Tiendas, cet ke-3, Yayasan
Kalam Hidup, Bandung, 2000, h. 127.
[9] Louis Berkhof, Teologi Sistematika-Doktrin Allah, peny.
Yudha Thianto, Vol-1, cet ke-9, Momentum, Surabaya, 2008, h. 271.
[10] Louis Berkhof, Teologi Sistematika-Doktrin Manusia, peny. Yudha Thianto, Vol 2,
cet ke-8, Momentum, Surabaya, 2008, h. 8.
[11] H. Hadiwijono, Iman Kristen, cet ke-5, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, h. 173.
[12] Wener Gitt, Keajaiban Manusia, peny. Theodore Setiawan, cet ke-2, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2009, h. 165.
[13] John Owen, Biblical Theology, first published, Soli Deo Publication, Oxford,
1996, pg. 20.
[14] Thomas Boston, Human Nature In Its Fourfold State, The Banner of Truth Trust,
Pennsylvania, 1997, pg. 40.
[15] Yohanes calvin, Op Cit, h. 44.
[16] Thomy J. Matakupan & Julio
Kristano, Doktrin Manusia dan Dosa,
peny. Irwan Tjulianto, cet. Pertama, Momentum, Surabaya, 2005, h. 14-15.
[17] G. J. Baan, Tulip Lima Pokok Calvinisme, peny. Irwan Tjulianto, pen. Samuel
Pulung & Herdian Aprilani, cet ke-2, Momentum, Surabaya, 2010, h. 8.
[18] A. A. Sitompul, Manusia dan Budaya, cet ke-4, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, h.
2.
[19] G. I. Williamson, Ketekismus Singkat Wensminster 1, peny.
Rudy Hartono, pen. The Boen Giok, cet. Pertama, Momentum, Surabaya, 1999, h. 1.
[20] Homer C. Hoeksema, Reformed Dogmatics, pg. 208.
[21] Arie Jan
Plaisier, Manusia, Gambar Allah, cet
ke-2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, h. 15-16.
[22] Richard. L.
Pratt, Dirancang Bagi Kemuliaan, pen.
Yvonne Potalangi, cet. Pertama, Momentum, Surabaya, 2002, h. 10.
[23] Edwin Palmer, Lima Pokok Calvinisme, peny. Elsye, cet ke-2, Lembaga Reformed
Injili Indonesia, Jakarta, 1998, h. 222.
[24] Herman Bavinck, Our Reasonable Faith, Fourth Printing,
Wm. B. Eerdmans, New York, 1984, Pg. 179.
[25] J. Verkuyl, Op. Cit, h. 61.
[26] Thomas Watson, A Body of Divinity, First Published, The Banner of Truth Trust,
Great Britain, 2000, Pg. 119.
[27] Derek Prime, Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, peny. M. H. Simanungkalit, cet
ke-5, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2001, h. 41.
[28] James P. Boyce, Abstract Of Systematic Theology, Dulk Christian Foundation,
Hanford, 1887, pg. 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar