Agama Masehi
yang mula-mula disiarkan di Indonesia ialah agama Katolik. Pedagang-pedagang
bangsa Portugis yang pada permulaan abad ke-16 mengunjungi kepulauan Indoenesia
adalah pemeluk agama Roma Katolik. Mereka itu dalam perantauannya disertai oleh
Pendeta-pendeta yang mempunyai tugas memelihara kehidupan rohaninya. Pendeta
yang pertama yang turut mengunjungi kepulauan timur ialah Pendeta Fransiscus
Xaverius.
Kepulauan Indonesia
yang mendapat perhatian istimewa dari pedagang-pedagang bangsa Portugis itu ialah
kepulauan Maluku berhubung dengan hasil bumi yang terdapat disana seperti
cengkeh dan pala yang dapat diperjual-belikan di benua lain dengan laba yang
besar.
Dalam perjalanannya menyertai pedagang-pedagang dari Eropa itu, Pendeta Fransiscus
Xaverius dapat pula berhubungan dengan penduduk asli yang dikunjunginya.
Pergaulan dengan penduduk asli itu membuka jalan baginya untuk mengabarkan
Injil kepada mereka, sehingga oleh pekerjaan beliau banyak dari antara penduduk
asli kepulauan Ambon dan Ternate menjadi penganut agama Katolik.
Kedatangan
pedagang-pedagang bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 membawa perubahan dalam
sejarah agama Masehi di Indonesia. Pedagang-pedagang bangsa Portugis yang kalah
dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang bangsa Belanda, kemudian
meninggalkan kepulauan Indonesia.
Pedagang-pedagang
Belanda yang mula-mula datang di Indonesia itu adlah orang-orang dari
kongsi-kongsi dagang (Companieen van verve) yang pada tahun 1602 mempersatukan
diri dalam kongsi dagang besar dengan memakai nama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC). Mereka pada umumnya memeluk agama Masehi Protestan (aliran
Calvin). Untuk pemeliharaan kehidupan rohaninya mereka itu pun sebagaimana
bangsa Portugis mengikut sertakan pula Pendeta-pendeta, yang dimasukkan sebagai
pegawai kongsi dagang tadi dan bekerja menurut instruksi dan perintah kongsi
itu.
Kecuali untuk rawatan
rohani pedagang-pedagang bangsanya sendiri, Pendeta VOC juga menyiarkan agama
Kristen kepada penduduk asli. Tetapi oleh karena VOC semata-mata suatu
perserikatan dagang, mudahlah dimengerti, bahwa pergaulan dengan penduduk asli
haruslah dipelihara baik-baik, agar tidak menimbulkan peristiwa yang dapat
mempersukar, merintangi atau merusak hubungan baik mereka demi keuntungan
perdagangan. Berhubung dengan itu, maka penyiaran agama kepada penduduk asli
boleh dikatakan tidak dilakukan. Pembatasan terhadap tindakan-tindakan pendeta
VOC mudah sekali dilakukan, oleh karena mereka itu semuanya adalah pegawainya.
Tambahan pula kantor-kantor VOC (factorijen) hanyalah kedapatan di beberapa
tempat di pantai saja, sehingga pergaulan dengan pendudk asli tidak mungkin.
Yang mendapat kunjungan
istimewa dari pendeta-pendeta VOC ialah pertama-tama kepulauan Maluku, d imana
telah kedapatan pendudk asli yang beragama Katolik. Pekerjaan mereka di
kepulauan itu menyebabkan penduduk menukar agamanya dengan Masehi Protestan.
VOC diberi hak oleh Staten Genaral bukan saja untuk
bertindak sebagai kongsi (handels-monopolie) tetapi kepadanya diberikan pula
keleluasan bertindak sebagai suatu pemerintahan (Staartrechten), yang dipimpin
oleh Gubernur Jendral. Bwerhubung dengan sifat kedudukan sebagai suatu
perintah, maka VOC di Indonesia ini, merasa perlu memelihara kehidupan rohani
orang-orang Belanda kedapatan yang merantau, sebab dalam pemerintahan negeri
Belanda kedapatan perhubungan yang erat sekali antara Agama Masehi Protestan
dengan Negara.
Pendeta-pendeta yang tiba di Indonesia adalah pegawai
Negeri dari pada suatu Pemerintahan yang harus takluk kepada peraturan dan
keputusan pemerintah. Oleh karena Gereja itu adalah suatu institusi (badan)
yang mempunyai kedaulatan sendiri dalam lingkungannya, maka Pendeta yang secara
lahir terikat dan dipengaruhi oleh dan wajib pula menurut dan menjalankan
peraturan Gereja dan perintah Agama, maka kedudukan para Pendeta itu manjadi
sangat sukar. Sebagai Pendeta mereka harus campur tangan dalam tingkah laku
orang-orang Belanda yang beragama Kristen yang menjadi pegawai VOC; tetapi di
lain pihak sebagai pegawai VOC mereka harus tunduk dan menurut peraturan dan
tidak bisa lepas dari pengaruh para pegawai tinggi VOC yang pada hakekatnya
adalah majikannya.
Pemeliharaan rohani yang penyiaran agama dianggap
sebagai tugas kewajiban pemerintah yang diwujudkan oleh VOC, tetapi karena VOC
itu adalah suatu perserikatan dagang, yang hanya ingin memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya, dengan tidak perduli bagaimana cara mendapatkannya, dengan
sendirinya pada asasnya tidak sesuai dan bertentangan dengan pendirian
kegerejaan dan keagamaan, yang mendambakan kebenaran, kepedulian, kejujuran dan
kecintaan (kasih).
Pada tahun 1799, VOC dibubarkan dan segala harta benda
termasuk hutang dan urusannya jatuh kepada tangan pemerintah Belanda sendiri. Segala urusan
yang berpautan dengan agama pun masuk ke dalam lingkungan dan tanggungan
pemerintahan. Hubungan erat dalam lingkungan dan tanggungan pemerintah.
Hubungan yang erat antara pemerintahan dan Gereja dari zaman VOC-diteruskan
pula setelah kekuasaan pindah ke tangan pemerintahan ke negeri Belanda.
Paham-paham baru tentang Negara dan Keagamaan (gereja)
setelah revolusi di Prancis pada tahun 1780 yang berpengaruh ke negeri belanda,
membawa perubahan pandangan mengennai Agama. Mulai tahun 1796 lahirlah
paham-paham baru seperti misalnya “bahwa
dalam negara tidak boleh diadakan perbedaan dari pihak pemerintah terhadap
gereja-gereja”. Peraturan 1798 antara lain menyatakan bahwa “hal
kemerdekaan beragama untuk tiap-tiap orang” dan “ hak yang sama bagi sekalian
warga negara dengan tidak mengingat akan Agama yang dipeluknya dan Gereja yang
diikutinya”. Paham-paham itu dibawa juga ke Indonesia, sehingga dengan demikian
memungkinkan golongan lain selain dari pada Gereja Protestan bekerja di
Indonesia, seperti terdapat dalam Instruksi Gubernur Jendral. Sebelum instruksi
itu di Indonesia hanya kedapatan satu Gereja yaitu: “De Protestantche Kerk in
Nederland Indei (Gereja Masehi Protestan), yang menjadi tanggungan pemerintah.
Perlu dikemukakan bahwa pada tahun 1791 di Indoensia telah ada Jemaat Protestan
Luther yang pada tahun 1835 digabungkan dengan Gereja Masehi Protestan.
Dengan adanya Instruksi Gubernur Jenderal itu, maka di
Indonesia diperbolehkan masuk pelbagai aliran agama, diijinkan penyiaran agama
oleh golongan-golongan, perhimpunan-perhimpunan atau gereja yang lain dari
Gereja Masehi Protestan, Rum Katolik pun dapat memulai pekerjaannya di
Indonesia.
BENTUK WUJUD DAN USAHA – USAHA :
Bentuk-bentuk perwujudan yang nampak dari pada kegiatan Agama Kristen,
ialah berupa persekutuan (perserikatan) yang berwujud Jemaat (Gereja) atau
perserikatan penyiaran (Zending).
Jemaat Protestan yang
pertama didirikan ialah jemaat Jakarta (Jemaat Belanda tahun 1621). Dengan
berdirinya Jemaat itu dapatlah dikatakan mulainya Gereja Masehi Protestan.
Selanjutnya di tempat-tempat (kota-kota) besar didirikan pula Jemaat-jemaat
Belanda Masehi Protestan dalam lingkungan Gereja Masehi Protestan. Disamping
jemaat Belanda tersebut, dalam lingkungan Gereja Masehi Protestan itu kedapatan
pula Jemaat-Jemaat pribumi, terutama mula-mula untuk orang-orang yang berasal
dari Maluku, Gereja Masehi Protestan, yang juga disebut Indische Kerk mempunyai
sifat sebagai Gereja Pemerintah, dan sampai tahun 1935 para pendetanya selain
digaji juga diangkat, dipindahkan dan sebagainya oleh Pemerintah. Pemerintah
Belanda tiap-tiap tahun menyediakan pos dalam Anggaran Belanja Negara untuk
keperluan gereja tersebut. Untuk Gereja Rum Katolik pun disediakan pos semacam
itu, hanya saja tiada sebesar seperti untuk keperluan Gereja Masehi Protestan.
Suatu Kerk-bestuur yang berkedudukan di Jakarta adalah pemusatan pengurus
Gereja Masehi Protestan yang mempunyai jemaat yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Pandanga tentang
“Scheiding tussen Kerk en Staat” (Pemisahan antara Gereja dan Negara
(Pemerintah) yang pada tahun 1910 mulai diusahakan, hingga tahun 1942 belum
selesai-terlaksana sepenuhnya. Pada tahun 1935 baru dapat diselesaikan
pemisahan administrasi (Administrative Scheiding tussen Kerk en Staat)
sebagaimana diatur dalam stbl tahun 1935 No. 315). Hal itu berarti bahwa
pemerintahan dalam Gereja diserahkan kepada Gereja sendiri, seperti
pengangkatan, pemindahan para pendeta. Pemisahan Keuangan (Financiale
Scheiding) belum dapat terlaksana dan masih akan diselesaikan.
Pada permulaan abad
ke-19 Missie Rum Katolik diperbolehkan lagi memulai pekerjaannya di Indonesia
dengan membentuk satu Apostolis Vicariaat, yakni di Jakarta dan kemudian
disusul dengan beberapa daerah lainnya, sehingga pada tahun 1950 di seluruh Indonesia kedapatan 17
Vikariat dan 2 Prefectuur.
Kecuali dua jenis gereja yang kedapatan tadi itu,
masih ada sebuah gereja Inggris di Jakarta dan Gereja Armenia, juga di kota
Jakarta, bagi kepentingan Inggris dan Armenia yang ada di kota ini. Riwayat
Agama Masehi di Indonesia tidak lengkap apabila tidak disebut juga pekerjaan
Zending yang dilakukan oleh pelbagai perserikatan Zending yang datang tidak
saja dari Negeri Belanda tetapi juga dari Amerika, Jerman, Swiss dan lain-lain.
Oleh karena itu pekerjaan mereka itu maka samping Jemaat Gereja Protestan
tumbuhlah Jemaat-Jemaat lain.
Pekerjaan Zending yang mula-mula bekerja di Indonesia
adalah “Het Nederlandsch Zendeling Genootschap,” yang didirikan pada tahun 1707
di Rotterdam dan memilih lapangan pekerjaannya di Jawa (Jawa Timur), Sumatra
Utara (Karo) dan Sulawesi Utara (Bolang Mongondow dan Poso). Wujud yang
berhubungan dengan hal ini dapat dibagi beberapa bentuk, yakni:
a. Perserikatan-perserikatan Zending;
b. Jemaat-Jemaat Zending;
c. Gereja-gereja yang berdiri sendiri;
d. Perhimpunan-perhimpunan dan pergerakan-pergerakan lainnya.
Pembagian seperti ini mungkin dirasakan kurang tepat
di dalam istilah gereja dan keagamaan, yang dalam semua bentuk, cara dan usaha
hanya mengenal suatu nilai saja, yakni: “Mengabarkan berita kesukaan”.
Pembagian tersebut dianggap sebagai pandangan yang objektif.
1. Perserikatan-perserikatan Zending:
Pada masa-masa permulaan Perserikatan Zending di Indonesia tidak
terdapat perhatian yang selayaknya dari pihak pemerintah Hindia Belanda bahkan
mendapat perlakuan yang kurang baik. Sikap pemerintah kemudian barubah, tatkala
telah dapat dipetik hasil usaha mereka dalam lapangan kemasyarakatan seperti
kesehatan, pendidikan/pengajaran.
Pusat-pusat pengurus perserikatan tersebut pada umumnya berada di luar
Inodenesia. Kegiatan Perserikatan Zending di Indonesia terlihat dalam 3 fase,
yaitu :
a) Pekabaran Injil;
b) Kesehatan;
c) Pendidikan/Pengajaran.
Pada umumnya usaha kesehatan dan pengajaran itu diselenggarakan oleh
organisasi/yayasan yang bersifat Badan Hukum sendiri, yang terpisah dari
pokoknya, yakni Perserikatan itu sendiri, seperti: Medisch School Committee
atau School Vereeniging, yang dapat
berhubungan langsung dengan Pemerintah dan mempunyai tanggung jawab sendiri.
2. Jemaat-Jemaat Zending:
Usaha pekabaran Injil
menuju kepada pendirian Jemaat-jemaat dan atau Gereja-gereja memerlukan
ketekunan dan waktu yang cukup lama. Sampai tahun 1942 masih banyak terdapat
jemaat-jemaat Zending yang belum mempunyai pimpinan sendiri, tetapi diurus oleh
Zending. Mereka itu belum dewasa, belum diintitueer (dilembagakan) sebagai
Gereja, belum menjadi Gereja yang berdiri sendiri (Zelf-Standig). Mereka
masih mempunyai hubungan matereel dan geestelijk (materi dan rohani) dengan
Zending.
3. Gereja Jemaat yang berdiri sendiri:
Tatkala Zending telah menganggap bahwa ada jemaat-jemaat (Gereja-gereja)
yang telah berdiri sendiri (mengurus diri sendiri, mengembangkan diri sendiri
dan membiayai diri sendiri (zelf regering, zelfuitbreiding,
zelbekostiging), maka mulailah tinggal gereja yang berdiri sendiri (zelstandige kerken) di Indonesia. Seperti Gereja Jawa Timur (Oost Javaansche Kerk) dari Nederlandsche Zending Genootschap; dan
Java Committee; Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sumatera Utara, dari Rheinische
Mission Gezelschaft; Jemaat Gereja Jawa Gereformeerd di daerah zending der
Gereformeerde Kerken Jawa Tengah-Selatan; Gereja Jawa Barat (Gereja Pasundan – West Javaasche Kerk), di Jawa
Barat Nederlandsch Zending-vereeniging; Gereja Jawa Tengah Utara di daerah Bond
van Zendelingen der Salatiga Zending; Gereja Jawa Tata Injil (Baptis) di daerah
Doopgezinde Zendingvereeniging; Jepara, Kudus, Pati; Gereja Nias di
Gunungsitoli, daerah Reinisch Mission Geszelschaft; Gereja yang berdiri sendiri di Borneo (Kalimantan) daerah
Basler Mission Gezelschaft;
Gereja-gereja Tiong Hoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) di
daerah-daerah Zending terutama di Pulau jawa.
4. Perhimpunan dan pergerakan lainnya :
Bebebrapa perhimpunan dan pergerakan lainnya dapat dikemukakan beberapa
nama, seperti Leger des Heils (Bala Keselamatan), yang banyak juga bekerja
dilapangan kemasyarakatan; Golongan Pentakosta (Pinksterkerk, Pinksterzending,
Pinkstervreugd, Pinksterbeweging). Advent-zendinggemeente in de Eenheid
der Apostelen. Dan masih banyak bentuk gerakan dan usaha-usaha lainnya yang
tidak akan disebut satu persatu.
Sumber: F.
Ritonga, Memahami Keberadaan
Agama/Umat Kristen Protestan di Tengah-tengtah tugas Pelayanan Pemerintah,
Proyek Penerangan-Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Departemen Agama
RI, Jakarta, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar