aMSaL

BaGi DuNia KiTa HaNYaLaH SeSeoRaNG, BaGi SeSeoRaNG KiTaLaH DuNiaNYa

Minggu, 06 Mei 2012

Tata Gereja Belanda (Dordrecht 1619)


Setelah Sinode Dordrecht (1618-1619) berhasil menyelesaikan masalah perselisihan dengan kaum Remonstran dalam hal ajaran, para utusan gereja-gereja tetangga berangkat pulang ke negerinya masing-masing. Maka dalam tahapnya yang terakhir, Sinode merupakan sidang nasional Belanda, yang mengatur berbagai urusan gereja Belanda. Salah satu di antaranya ialah urusan tata gereja. Sinode Dordrecht menyesuaikan dan memperluas tata gereja yang berlaku sejak Sinode 's-Gravenhage (1586) dalam beberapa hal. Yang ditambahkan antara lain pasal 8-9 (mengenai pengangkatan pendeta yang tidak berpendidikan akademis), 28 (mengenai hubungan antara gereja dengan pemerintah negara), 44 (mengenai visitasi, yang oleh sinode tahun 1586 diatur dalam pasal-pasal tersendiri di luar tata gereja), dan 59 (mengenai kewajiban turut merayakan Perjamuan Kudus). Yang diperluas antara lain pasal 69, mengenai pemakaian nyanyian rohani dalam ibadah gerejawi.
Mukadimah
1. Untuk memelihara tata tertib di jemaat Kristus, di dalamnya diperlukan pelayanan-pelayanan, sidang-sidang, pengawasan ajaran, sakramen-sakramen dan upacara-upacara, serta hukuman Kristen. Semua hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Pelayanan pelayanan
2. Ada empat jenis pelayanan, yaitu pelayanan para Pelayan Firman, para Pengajar,' para Penatua, dan para Diaken.
3. Tak seorang pun, sekalipun ia seorang Pengajar, Penatua atau Diaken, diperkenankan memasuki pelayanan Firman dan sakramen-sakramen tanpa pemanggilan yang sah. Bila seseorang bertindak berlawanan dengan aturan ini dan tidak menghentikan perbuatannya meski telah diperingatkan berkali-kali maka Klasis harus memutuskan apakah ia akan dinyatakan sebagai penyebab perpecahan atau harus dihukum dengan cara lain.
4. Pemanggilan sah mereka yang belum pernah memegang pelayanan, baik di kota- kota maupun di pedesaan, terdiri atas tahap-tahap berikut. Pertama, pemilihan, yang harus dilakukan oleh Majelis Gereja dan para Diaken, didahului dengan acara berpuasa dan berdoa. Pemilihan ini tidak boleh dilakukan tanpa mengadakan hubungan yang sepantasnya dengan Pemerintah Kristen setempat dan tanpa sepengetahuan atau nasihat Klasis kalau hal itu sudah merupakan kebiasaan. Kedua, ujian atau pemeriksaan perihal ajaran dan kehidupan. Ujian ini harus diadakan oleh Klasis dengan dihadiri para Deputat Sinode atau beberapa orang di antaranya. Ketiga, persetujuan atau aprobasi oleh Pemerintah, dan sesudah itu juga oleh para anggota jemaat Gereformeerd setempat, yaitu kalau tidak timbul halangan setelah nama Pelayan itu diumumkan dalam Gereja-gereja selama empat belas hari. Akhirnya, peneguhan resmi di depan jemaat, yang harus dilakukan dengan cara yang layak, sesuai dengan formulir yang bersangkutan, dengan janji- janji dan pertanyaan-pertanyaan, nasihat-nasihat, doa, dan peletakan tangan oleh Pelayan yang melaksanakan peneguhan itu (atau juga oleh beberapa Pelayan lain, kalau hadir). Hal ini dengan pengertian bahwa penumpangan tangan kepada seorang Pelayan yang baru saja diangkat, yang hendak diutus ke Gereja-gereja di bawah Salib' boleh dilakukan dalam rapat Klasis.
5. Dalam hal para Pelayan yang sudah berkecimpung dalam pelayanan Firman, yang dipanggil ke jemaat yang lain, pemanggilan itu harus dilakukan juga oleh Majelis Gereja dan para Diaken dengan nasihat atau persetujuan Klasis, dengan mengadakan hubungan seperti disebut di atas, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka yang dipanggil harus memperlihatkan surat dari gerejanya berisi kesaksian baik mengenai ajaran dan kehidupan mereka; dan setelah disetujui juga oleh Pemerintah setempat dan setelah namanya diumumkan kepada jemaat selama empat belas hari, sama seperti di atas, mereka harus diteguhkan dengan didahului janji-janji dan doa-doa. Apa yang dikatakan di atas tidak mengurangi hak tokoh tertentu yang benar-benar berwenang untuk mengemukakan nama calon,2 atau hak apa pun yang lain, sejauh hak itu dapat diselenggarakan secara membangun, tanpa merugikan Gereja Allah dan tata tertib Gereja. Hendaklah Pemerintah dan Sinode Propinsi- propinsi memperhatikan hal ini dan mengaturnya demi kebaikan Gereja-gereja.
6. Tidak seorang Pelayan pun boleh menerima tugas pelayanan dalam salah satu wilayah berdaulat swasta,' rumah sakit atau tempat lain, kalau ia tidak diterima dan diangkat sebelumnya dengan cara yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang terdahulu, dan ia pun harus tunduk pada Tata Gereja sama seperti yang lain.
7. Seorang hanya boleh dipanggil untuk pelayanan Firman kalau ia diangkat menjadi pelayan di tempat tertentu, kecuali kalau ia diutus untuk memberitakan Firman dalam Gereja-gereja di bawah Salib, atau dengan cara lain, untuk mengumpulkan Gereja-gereja.
8. Seorang guru sekolah, orang berketrampilan atau orang lain yang tidak berpendidikan akademis tidak boleh diterima dalam jabatan pemberitaan Firman kecuali kalau ada kepastian bahwa orang itu memiliki bakat-bakat istimewa, yaitu kesalehan, kerendahan hati, kesopanan, kecerdasan, dan kebijaksanaan, serta kepandaian bertutur-kata. Bila orang seperti itu melamar untuk pelayanan tersebut maka Klasis (kalau disetujui Sinode) harus menguji dia lebih dulu. Tergantung dari hasil ujiannya, apakah ia akan diizinkan atau tidak untuk selama beberapa waktu berkhotbah di hadapan kelompok kecil. Kemudian Klasis akan mengambil keputusan terhadap dia dengan cara yang dianggapnya membangun Gereja.
9. Orang-orang baru, imam-imam, biarawan-biarawan, dan orang yang dengan cara lain telah keluar dari sekte apa pun hanya boleh diizinkan mengemban pelayanan gerejawi dengan pemeriksaan sangat saksama dan hati-hati. Mereka juga harus terlebih dahulu menjalani masa percobaan tertentu.
10. Seorang Pelayan yang telah dipanggil dengan cara yang sah tidak boleh meninggalkan jemaat yang telah menerimanya tanpa syarat untuk menerima panggilan ke tempat lain, tanpa persetujuan Majelis Gereja dan para Diaken bersama mereka yang pernah melayani sebagai Penatua dan Diaken, serta Pemerintah, dan tanpa sepengetahuan Klasis. Begitu juga Gereja lain tidak boleh menerimanya sebelum ia memperlihatkan pernyataan sah tentang perpisahannya dari Gereja dan Klasis tempat pelayanan sebelumnya.
11. Di pihak lain, Majelis Gereja, selaku wakil jemaat, wajib memberi para pelayannya jaminan hidup yang laYak Majelis tidak boleh melepaskannya tanpa sepengetahuan dan pertimbangan Klasis. Kalau tidak ada penghidupan, Klasis juga yang akan menilai apakah Pelayan tersebut perlu dipindahkan atau tidak.
12. Karena seorang Pelayan Firman, setelah dipanggil secara sah, dengan cara tersebut di atas, terikat pada pelayanan gerejawi selama hidupnya maka ia tidak diperbolehkan beralih ke kedudukan lain kecuali karena alasan-alasan yang kuat dan berbobot, yang akan dipelajari dan dinilai oleh Klasis.
13. Bilamana Pelayan-pelayan tertentu tidak sanggup lagi menjalankan pelayanannya disebabkan umur lanjut, penyakit atau karena sebab yang lain, maka mereka akan tetap menyandang kehormatan dan gelar seorang Pelayan. Kebutuhan mereka (sama seperti kebutuhan para janda dan anak yatim para Pelayan pada umumnya) akan dipenuhi secara ikhlas oleh Gereja-gereja yang pernah mereka layani.
14. Kalau Pelayan-pelayan tertentu, karena alasan tersebut atau karena alasan apa pun yang lain, terpaksa menghentikan pelayanannya untuk beberapa waktu lamanya (hal ini tidak boleh terjadi tanpa perundingan dengan Majelis Gereja), mereka akan tetap tunduk pada panggilan jemaat.
15. Tidak seorang pun diperbolehkan pergi berkhotbah di sana sini kalau tidak mendapat izin dan wewenang dari Sinode atau Klasis, dengan mengabaikan pelayanan Gerejanya atau berada di luar pelayanan tertentu. Begitu pula tidak seorang pun boleh berkhotbah atau melayankan sakramen-sakramen di Gereja lain tanpa persetujuan Majelis Gereja.
16. Tugas jabatan para Pelayan adalah memimpin doa-doa dan melayankan Firman dengan tekun, membagikan sakramen-sakramen, memperhatikan rekan-rekannya, para Penatua dan Diaken, serta jemaat jemaat, dan akhirnya bersama para Penatua menyelenggarakan disiplin gereja serta mengusahakan supaya segala hal berlangsung dengan sopan dan teratur.
17. Tugas-tugas pelayanan harus sedapat mungkin dibagi rata antara para Pelayan Firman, begitu pula hal-hal lain, menurut penilaian Majelis Gereja dan (kalau perlu) penilaian Klasis. Hal ini juga perlu diperhatikan pada para Penatua dan Diaken.
18. Tugas jabatan para Pengajar atau Mahaguru Teologi adalah menerangkan Kitab Suci dan mempertahankan ajaran murni melawan ajaran sesat dan keliru.
19. Jemaat-jemaat harus berupaya supaya ada mahasiswa Teologi, yang mendapat biaya dari harta milik umum.'
20. Di Gereja-gereja yang memiliki sejumlah pendeta yang cakap, harus diadakan latihan khotbah, supaya melalui latihan latihan itu dipersiapkan beberapa orang untuk pelayanan Firman. Dalam hal ini peraturan yang telah ditetapkan secara khusus oleh Sinode ini harus dipegang. 2
21. Di semua tempat Majelis-majelis Gereja harus memberi perhatian pada pengadaan guru-guru sekolah yang baik, yang tidak hanya mengajar anak-anak membaca, menulis, bahasa-bahasa, dan ilmu-ilmu umum, tetapi juga mengajar mereka kesalehan dan Katekismus.'
22. Para Penatua harus dipilih melalui keputusan Majelis Gereja dan para Diaken. Caranya sebagai berikut. Orang dapat mengajukan kepada jemaat calon Penatua sebanyak yang dibutuhkan, sesuai dengan keadaan tiap-tiap Gereja. Setelah mendapat aprobasi atau persetujuan dari pihak jemaat maka mereka akan diteguhkan dengan doa dan janji janji secara resmi (kecuali kalau timbul halangan tertentu). Tetapi orang juga dapat mengajukan sejumlah calon dua kali lipat, supaya setengah dari jumlah mereka dipilih oleh jemaat dan diteguhkan dalam pelayanannya dengan cara yang sama, menurut formulir yang bersangkutan.
23. Tugas jabatan para Penatua adalah, selain apa yang menurut pasal 16 di atas merupakan tugas bersama dengan Pelayan Firman, untuk memperhatikan agar para Pelayan Firman bersama para pembantu mereka yang lain dan para Diaken menyelenggarakan tugas jabatannya dengan setia, untuk melakukan kunjungan ke rumah demi pembinaan jemaat, baik sebelum Perjamuan maupun sesudahnya, sesuai dengan kesempatan yang tersedia berhubungan dengan waktu dan tempat, untuk menghibur dan mengajar para anggota jemaat pada khususnya, serta mengajak juga orang-orang lain agar menganut agama Kristen.
24. Dalam hal pemilihan, aprobasi, dan peneguhan para Diaken, harus dipakai cara yang sama seperti yang telah disebut sehubungan dengan para Penatua.
25. Tugas jabatan khusus para Diaken adalah untuk mengumpulkan dengan giat pemberian berupa uang dan barang-barang lain untuk orang miskin dengan giat dan membagikannya dengan setia dan rajin atas kesepakatan bersama, baik kepada penduduk maupun kepada orang asing, sesuai dengan kebutuhan orang yang berkekurangan, untuk mengunjungi dan menghibur orang-orang yang sedang susah, dan melakukan pengawasan supaya pemberian itu tidak disalahgunakan. Mereka harus memberi pertanggungjawaban kepada Majelis Gereja dan juga di hadapan jemaat (kalau ada yang ingin menghadiri acara itu), pada waktu yang dinilai baik oleh Majelis.
26. Kalau di tempat tertentu ada juga wali orang miskin atau petugas lain yang mengelola dana orang miskin, yang ingin mengadakan hubungan dengan para diaken, mereka ini harus memelihara hubungan dengan petugas tersebut supaya pemberian untuk orang miskin dibagi dengan sebaik-baiknya kepada mereka yang paling berkekurangan.
27. Para Penatua dan Diaken harus melayani selama dua tahun, dan tiap tahun setengah dari mereka harus turun dan orang lain diangkat sebagai ganti mereka, kecuali kalau diperlukan cara lain karena keadaan atau kebutuhan Gereja-gereja tertentu.
28. Tugas jabatan Pemerintah Kristen adalah, berusaha dengan segala cara untuk mengembangkan pelayanan gereja yang kudus, menganjurkannya kepada rakyat melalui teladannya, dan mengulurkan bantuan kepada para Pendeta, Penatua, serta Diaken dalam semua kebutuhan dan menjaga supaya tatanannya jangan terganggu. Begitu pula para Pendeta, Penatua, dan Diaken harus berupaya dengan hati yang tulus untuk menegaskan kepada seluruh jemaat kewajiban menaati, mencintai, dan menghormati tokoh-tokoh pemerintahan. Dalam hal ini semua tokoh gereja harus memberi teladan kepada jemaat; mereka harus berusaha untuk, dengan cara memberi hormat dan mengadakan hubungan yang patut, menciptakan dan memelihara sikap baik Pemerintah terhadap Gereja. Maksudnya supaya kedua belah pihak menunaikan tugasnya masing-masing, dengan takut akan Tuhan, sehingga rasa curiga dan kurang percaya apa pun dapat dicegah dan kerukunan terpelihara, demi kesejahteraan Gereja-gereja.
Sidang-sidang gerejawi
29. Ada empat jenis sidang gerejawi yang harus diadakan secara teratur, yaitu Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode Am atau Nasional.
30. Dalam sidang-sidang ini tidak akan dibahas perkara apa pun selain yang bersifat gerejawi, dan dengan cara gerejawi. Dalam rapat yang lebih luas hanya akan dibahas perkara-perkara yang tidak berhasil diselesaikan dalam rapat-rapat yang kurang luas atau yang menyangkut Gereja-gereja yang berkumpul dalam rapat yang lebih luas itu pada umumnya.
31. Bila seseorang mengeluh karena merasa diperlakukan tidak adil oleh keputusan rapat yang kurang luas maka orang itu boleh naik banding ke rapat gerejawi yang lebih luas, lalu apa yang dengan mayoritas suara dipandang baik akan dianggap pasti dan mengikat, kecuali kalau hal itu terbukti bertentangan dengan Firman Allah atau dengan pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam Sinode Am ini, selama pasal-pasal tersebut tidak diubah oleh Sinode Am yang lain.
32. Acara semua sidang harus dimulai dengan menyeru Nama Allah dan ditutup dengan pengucapan syukur.
33. Orang-orang yang diutus ke sidang-sidang itu harus membawa surat-surat kredensi dan instruksi-instruksi yang dibubuhi tanda tangan mereka yang mengutusnya. Hanya para utusan ini yang mempunyai suara yang menentukan.
34. Dalam semua sidang, Ketua akan didampingi seorang Panitera, yang bertugas mencatat dengan cermat semua hal yang layak dicatat.
35. Tugas jabatan Ketua adalah mengemukakan dan menerangkan apa yang perlu dibahas, mengawasi supaya tiap-tiap orang bila berbicara menjaga ketertiban, menyuruh berdiam mereka yang bertengkar dan yang bicaranya sengit, dan melaksanakan disiplin yang sepatutnya terhadap mereka kalau mereka tidak patuh. Selanjutnya, jabatannya akan berakhir pada waktu sidang bubar.
36. Klasis mempunyai wewenang yang sama terhadap Majelis Gereja seperti yang dimiliki Sinode Wilayah terhadap Klasis dan Sinode Am terhadap Sinode Wilayah.
37. Di semua Gereja harus ada Majelis Gereja, yang beranggotakan para Pelayan Firman dan Penatua. Mereka ini akan bersidang paling sedikit seminggu sekali. Sidang itu harus diketuai dan acaranya harus dipimpin oleh Pelayan Firman (atau para Pelayan Firman secara bergiliran, kalau ada beberapa orang). Juga Pemerintahan setempat, kalau berkehendak, boleh mewakilkan satu atau dua orang dari antara mereka, yang juga anggota Gereja, untuk menghadiri rapat Majelis Gereja, agar mendengarkan dan turut membicarakan perkara-perkara yang menjadi pokok pembahasan.
38. Hanya saja, bila di salah satu tempat hendak dibentuk Majelis Gereja baru maka hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan pertimbangan Klasis. Bila jumlah Penatua sangat kecil maka para Diaken harus dimasukkan menjadi anggota Majelis Gereja.
39. Bila di salah satu tempat belum ada Majelis Gereja, untuk sementara waktu Klasis akan melakukan apa yang menurut Tata Gereja ini menjadi tugas Majelis.
40. Begitu pula para Diaken harus bersidang tiap-tiap minggu untuk membahas perkara-perkara yang menyangkut jabatan mereka, dengan menyeru Nama Allah. Para Pelayan harus melakukan pengawasan dan, kalau perlu, menghadiri sidang tersebut.
41. Rapat-rapat Klasis harus terdiri atas Gereja-gereja yang berdekatan. Tiap- tiap Gereja harus mewakilkan seorang Pelayan dan seorang Penatua, dengan surat kredensi yang layak, ke sidang yang waktu dan tempatnya telah disepakati oleh Gereja-gereja pada saat rapat sebelumnya bubar (tetapi begitu rupa, sehingga waktunya tidak ditunda lebih dari tiga bulan). Sidang-sidang itu harus diketuai oleh para Pelayan secara bergiliran atau oleh dia yang dipilih oleh rapat yang bersangkutan, tetapi begitu rupa sehingga satu orang tidak boleh dipilih dua kali berturut-turut. Selanjutnya Ketua harus antara lain bertanya kepada tiap- tiap orang apakah mereka, di Gereja-gereja mereka, mengadakan rapat Majelis Gereja; apakah disiplin gereja dijalankan; apakah orang miskin dan sekolah- sekolah dipelihara; akhirnya apakah dalam salah satu hal mereka memerlukan nasihat dan bantuan Klasis supaya Gerejanya berjalan dengan baik. Pelayan yang diberi tugas dalam rapat Klasis yang terdahulu harus menyampaikan khotbah singkat dari Firman Allah, yang akan dinilai oleh pesertapeserta lainnya, dan kalau ada yang kurang di dalamnya akan mereka tunjukkan. Akhirnya, dalam rapat terakhir menjelang Sinode Wilayah haruslah dipilih mereka yang akan menghadiri Sinode tersebut.
42. Kalau di salah satu tempat para Pelayan berjumlah lebih dari satu maka mereka semua boleh menghadiri rapat Klasis dengan suara yang menentukan, kecuali dalam perkara-perkara yang secara khusus menyangkut diri mereka atau Gereja mereka.
43. Pada akhir sidang-sidang Klasis dan sidang-sidang yang lebih luas lainnya harus dijalankan disiplin terhadap mereka yang dalam rapat telah melakukan perbuatan yang patut dihukum, atau yang telah menganggap sepele teguran dari Sidang yang kurang luas.
44. Klasis harus juga memberi kuasa kepada beberapa Pelayan dalam lingkungannya, paling tidak dua orang dari yang paling berumur, berpengalaman, dan cakap, untuk tiap-tiap tahun melakukan visitasi ke semua Gereja, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka harus memeriksa apakah para Pengajar, Majelis-majelis Gereja dan guru-guru sekolah melakukan tugas jabatannya dengan setia, tetap berpegang pada ajaran yang murni, dalam segala hal mempertahankan tata tertib yang sudah diterima umum, dan sedapat mungkin mengupayakan pembinaan jemaat serta anak-anak muda dengan sepatutnya, dengan perkataan dan dengan perbuatan. Maksudnya supaya orang-orang yang ternyata lalai dalam salah satu hal dapat mereka tegur secara persaudaraan sebelum terlambat, dan supaya mereka, dengan nasihat dan tindakan, dapat turut mengarahkan segala sesuatu ke perdamaian, pembinaan, dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah. Setiap Klasis dapat memperbolehkan para Visitator ini memegang tugas pelayanan mereka terus selama dianggap baik, kecuali kalau para Visitator sendiri minta dibebaskan dari pelayanannya, karena alasan yang harus dinilai oleh Klasis.
45. Gereja-gereja tempat Klasis, Sinode Wilayah atau Sinode Am bersidang harus mengusahakan supaya notula rapat sebelumnya tersedia pada rapat berikutnya.
46. Instruksi-instruksi tentang hal-hal yang perlu dibahas dalam rapat-rapat yang lebih luas tidak boleh disusun sebelum keputusan-keputusan Sinode-sinode yang terdahulu dibaca, untuk mencegah perkara yang sudah dibahas secara tuntas dikemukakan kembali, kecuali kalau orang beranggapan ada yang perlu diubah.
47. Tiap-tiap tahun (kecuali kalau timbul keadaan darurat yang memerlukan tenggang waktu yang lebih singkat) haruslah bersidang empat, lima atau lebih Klasis yang berdekatan. Setiap Klasis harus mewakilkan dua Pelayan dan dua Penatua ke Sinode Wilayah itu. Pada waktu Sinode Wilayah dan Sinode Am bubar, harus ditunjuk salah satu Gereja yang ditugaskan untuk, setelah meminta pendapat Klasis, menetapkan waktu dan tempat Sinode yang berikut.
48. Tiap-tiap Sinode akan bebas mencari dan memelihara hubungan dengan Sinode atau Sinode-sinode tetangga, dengan cara yang dianggapnya paling bermanfaat bagi kebaikan umum.
49. Tiap-tiap Sinode harus menunjuk pula beberapa orang deputat yang bertugas untuk melaksanakan segala hal yang telah ditetapkan oleh Sinode, baik pada Pemerintah Pusat maupun pada Klasis-klasis yang termasuk lingkungannya; juga untuk bersama-sama atau dengan jumlah yang kurang mengawasi ujian para calon Pendeta; dan selanjutnya untuk dalam semua kesulitan lain yang timbul mengulurkan bantuan kepada Klasis-klasis, supaya persatuan dan ketertiban yang baik serta kemurnian ajaran dipertahankan dan ditegakkan. Mereka harus membuat catatan saksama tentang semua tindakannya untuk melaporkannya kepada Sinode dan memberi pertanggungjawaban kalau diminta. Mereka juga tidak akan bebas dari pelayanannya sebelum Sinode sendiri membebaskan mereka.
50. Sinode Nasional biasanya harus diadakan tiga tahun sekali, kecuali kalau ada keadaan mendesak sehingga tenggang waktunya perlu dipersingkat. Dari setiap Sinode Wilayah, baik yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Perancis,' dua Pelayan dan dua Penatua harus diutus ke Sinode itu. Selanjutnya (yaitu kalau Sinode itu harus diadakan dalam waktu lebih singkat dari tiga tahun) Gereja yang telah diberi tugas untuk menetapkan waktu dan tempat Sinode Am harus mengumpulkan Sinode Wilayahnya, juga memberitahukan hal itu kepada Gereja tetangga yang berbahasa lain. Gereja itu harus mengutus empat orang ke Sinode itu untuk atas kesepakatan bersama memutuskan waktu dan tempatnya. Bila Gereja yang telah dipilih untuk menghimpun Sinode Am hendak berunding dengan Klasis tentang waktu dan tempatnya maka hal itu harus diberitahukannya kepada Pemerintah Pusat pada waktu yang cukup dini, supaya hal itu dapat diputuskan dengan sepengetahuannya dan (kalau Pemerintah berkenan mengutus juga beberapa orang ke Klasis) dengan dihadiri para wakilnya dan dengan nasihat mereka.
51. Karena di Negeri Belanda orang memakai dua bahasa,' dianggap baik bahwa Gereja-gereja berbahasa Belanda dan Perancis masing-masing memiliki Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis dan Sinode-sinode Wilayah tersendiri.
52. Namun, dianggap baik bila di kota-kota di mana ada Gereja-gereja berbahasa Perancis tersebut, beberapa Pelayan dan Penatua dari kedua belah pihak berkumpul tiap- tiap bulan untuk memelihara kerukunan dan hubungan baik satu sama lain dan untuk sebanyak mungkin saling memberi nasihat sesuai dengan kebutuhan.


Ajaran gereja, sakramen-sakramen, dan upacara-upacara yang lain
53. Para Pelayan Firman Allah, begitu juga para Mahaguru Teologi (dan sepatutnya juga para Mahaguru lain) harus menandatangani Pengakuan Iman Gereja-gereja Belanda.2 Para Pelayan yang menolak harus diskors de facto dari pelayanannya oleh Majelis Gereja atau Klasis, hingga mereka memberi penjelasan secara tuntas mengenai hal itu. Kalau mereka bersikeras menolak maka mereka akan diberhentikan seterusnya dari pelayanan mereka.
54. Begitu pula para guru sekolah wajib menandatangani Pasal-pasal tersebut, atau Katekismus Kristen' sebagai gantinya.
55. Tak seorang penganut agama Gereformeerd pun boleh memberanikan diri untuk menyuruh mencetak atau menerbitkan dengan cara lain buku atau karangan apa pun perihal agama, yang ia sendiri atau orang lain susun atau terjemahkan, kecuali setelah karangan itu diperiksa dan disetujui oleh para Pelayan Firman dalam Klasisnya, atau - asalkan dengan sepengetahuan Klasisnya - oleh Sinode Wilayah, atau para Mahaguru Teologi di propinsi-propinsi ini.'
Baptisan
56. Perjanjian Allah harus dimeteraikan kepada anak-anak orang Kristen melalui Baptisan, begitu ada kesempatan menerimanya. Hal itu harus dilakukan perkumpulan umum, pada waktu Firman Allah diberitakan. Tetapi bila di tempat tertentu pemberitaan Firman itu agak jarang terjadi maka harus ditetapkan hari tertentu di luar Hari Minggu untuk pelayanan baptisan yang istimewa. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan tanpa pemberitaan Firman.
57. Para Pelayan harus mengusahakan sedapat mungkin supaya seorang anak dibawa ayahnya untuk dibaptis. Dan bila dalam jemaat tertentu orang biasa mengundang wali atau saksi pada baptisan selain ayahnya sendiri (kebiasaan itu sendiri bebas dan tidak dapat diubah dengan mudah), yang layak diundang ialah orang- orang yang menganut ajaran yang murni dan yang menempuh hidup yang saleh.
58. Bila melayankan Baptisan, baik kepada anak-anak kecil maupun kepada orang dewasa, para Pelayan Firman harus menggunakan formulir-formulir mengenai penetapan dan pelaksanaan Baptisan, yang disusun khususnya untuk itu.
59. Melalui Baptisan, orang dewasa dimasukkan dalam jemaat Kristen dan diterima menjadi anggota sidi jemaat itu. Karena itu, mereka wajib turut merayakan Perjamuan Tuhan, sebagaimana harus mereka janjikan pada waktu dibaptis.
60. Nama mereka yang dibaptis, termasuk nama orangtua dan para saksi harus dicatat, begitu juga waktu pembaptisan.'


Perjamuan
61. Tidak seorang pun boleh diterima turut merayakan Perjamuan Tuhan kecuali mereka yang, sesuai dengan kebiasaan Gereja-gereja yang dengannya mereka bergabung, telah mengakui agama Gereformeerd,2 dan yang menurut kesaksian orang lain menempuh kehidupan yang saleh. Tanpa itu, juga mereka yang berasal dari Gereja-gereja lain tidak boleh diterima.
62. Tiap-tiap Gereja boleh melayankan Perjamuan dengan cara yang dinilainya paling berguna bagi pembinaan para anggota, dengan pengertian bahwa upacara- upacara lahiriah yang diperintahkan dalam Firman Allah tidak boleh diubah dan bahwa takhayul apa pun perlu dicegah. Begitu pula, seusai khotbah dan doa-doa umum di mimbar, formulir Perjamuan dan doa untuk Perjamuan harus dibacakan di depan meja.
63. Perjamuan Tuhan harus diadakan sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paskah, Hari Pentakosta dan Hari Natal. Tetapi bila di salah satu tempat belum ada Gereja yang teratur maka untuk sementara waktu harus lebih dulu diangkat Penatua-penatua dan Diaken-diaken.
Aturan waktu kebaktian
64. Karena di banyak tempat perkumpulan-perkumpulan doa pada malam hari ternyata berguna sekali maka dalam pelaksanaannya tiap-tiap Gereja boleh memakai cara yang dinilainya paling bermanfaat bagi pembinaan para anggota. Akan tetapi, kalau orang ingin menghapuskannya hal itu tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan Klasis dan Pemerintah yang menganut agama Gereformeerd.
65. Bila di salah satu tempat tidak diadakan kebaktian jenazah, orang tidak boleh membiasakannya. Bila khotbah itu sudah menjadi kebiasaan, orang harus berupaya untuk menghapuskannya dengan cara yang patut.
66. Pada masa perang, wabah penyakit, paceklik, penganiayaan Gereja-gereja, dan bencana umum lainnya, para Pelayan Gereja-gereja harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah agar dengan wewenang dan perintahnya ditetapkan dan dikuduskan hari-hari puasa serta doa umum.
67. Jemaat-jemaat harus merayakan, selain Hari Minggu, juga Hari Natal, Hari Paskah, dan Hari Pentakosta, bersama hari berikutnya. Dan karena di sebagian terbesar kota-kota dan propinsi-propinsi Negeri Belanda di samping hari-hari tersebut dirayakan juga Hari Penyunatan Kristus' dan Hari Kenaikan maka di mana kebiasaan itu belum berlaku, para Pelayan harus mendorong Pemerintah agar menyesuaikan diri dengan yang lain-lain.
68. Pada hari Minggu, biasanya dalam kebaktian sore, di mana pun para Pelayan harus menerangkan secara singkat ikhtisar Ajaran Kristen yang tercantum dalam Katekismus yang dewasa ini diterima umum dalam Gereja-gereja di negeri Belanda.2 Begitu rupa caranya sehingga Katekismus itu dibahas seluruhnya dalam waktu satu tahun, sesuai dengan pembagian dalam Katekismus sendiri.
69. Di Gereja-gereja hanya boleh dinyanyikan ke-150 Mazmur Daud, Kesepuluh Perintah, Doa Bapa Kami, Kedua belas Pasal Iman, Nyanyian Pujian Maria, Zakharia, dan Simeon. Gereja-gereja bebas menggunakan atau tidak nyanyian O God, die onze Vader zijt. Semua nyanyian rohani lainnya tidak diizinkan dalam Gereja- gereja. Bila di salah satu tempat ada yang sudah dimasukkan, nyanyian itu harus dihapuskan dengan cara yang patut.'
70. Ternyata di mana-mana orang memelihara kelaziman yang berbeda-beda dalam hal pernikahan. Namun, sepantasnya dalam hal ini dipakai cara yang seragam. Karena itu Gereja-gereja harus mempertahankan kelaziman yang telah dipeliharanya selama ini karena mereka menganggapnya sesuai dengan Firman Allah dan dengan peraturan- peraturan gereja yang telah berlaku sebelumnya, hingga Pemerintah Pusat (yang secepat mungkin harus diminta melakukan hal ini) menyusun Peraturan Umum, dengan meminta pendapat para Pelayan Gereja. Peraturan Umum itulah yang menjadi acuan Tata Gereja dalam urusan ini.
Disiplin gereja dan teguran-teguran gerejawi
71. Sebagaimana hukuman Kristen bersifat rohani dan tidak membebaskan seorang pun dari pengadilan negara serta hukuman dari pihak Pemerintah, begitu pula disiplin gereja mutlak perlu di samping hukuman sipil, untuk mendamaikan orang berdosa dengan Gereja dan dengan sesamanya manusia dan untuk menghilangkan penyebab dosa dari dalam jemaat Kristus.
72. Kalau ada yang berdosa melawan ajaran yang murni atau kehidupan yang saleh maka, sejauh hal itu tersembunyi dan tidak menimbulkan keresahan umum, orang harus memegang aturan yang telah Kristus tetapkan dengan jelas dalam Matius 18.
73. Dosa-dosa tersembunyi tidak usah diadukan kepada Majelis Gereja, kalau orang berdosa menyesalinya setelah ditegur oleh satu orang secara pribadi atau di hadapan dua atau tiga orang saksi.
74. Kalau seseorang telah ditegur dalam suasana kasih oleh dua tiga orang karena dosa yang tersembunyi, dan tidak menghiraukannya, atau kalau orang itu telah melakukan dosa yang diketahui umum, maka hal itu harus diadukan kepada Majelis Gereja.
75. Berkenaan dengan semua dosa yang pada hakikatnya bersifat umum atau yang diketahui umum karena teguran gerejawi tidak dihiraukan, pendamaiannya harus terjadi (kalau dilihat tanda-tanda penyesalan yang pasti) di depan umum, menurut keputusan Majelis Gereja, dengan bentuk dan cara yang dinilai tepat demi pembinaan para anggota tiap-tiap Gereja. Di pedesaan dan di kota-kota kecil di mana hanya ada satu orang Pelayan, pendamaian itu harus berlangsung dengan meminta nasihat dua Gereja tetangga.
76. Barang siapa bersikeras menolak teguran Majelis, dan barang siapa telah melakukan dosa yang bersifat umum atau yang berat karena alasan lain, akan dilarang turut merayakan Perjamuan Tuhan. Kalau ia, sesudah larangan itu dan sesudah ditegur berkali-kali, tidak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan maka akhirnya orang akan memakai tindakan terakhir, yaitu pengucilan, menurut acara yang ditetapkan untuk itu sesuai dengan Firman Allah. Akan tetapi, tidak seorang pun boleh dikucilkan kecuali sesudah meminta pendapat Klasis.
77. Sebelum sampai melakukan pengucilan, orang harus mengumumkan kekerasan hati pendosa itu kepada jemaat, sambil memberi keterangan mengenai dosa-dosa itu dan mengenai upaya mengecam dia, melarang dia turut merayakan Perjamuan, dan menegur dia berkali- kali. Jemaat harus diajak menyapa dan mendoakan dia. Ajakan demikian akan terjadi tiga kali. Pada ajakan pertama, nama orang berdosa itu tidak akan disebut, supaya agak ditenggangkan perasaannya. Pada ajakan kedua, sesudah meminta pendapat Klasis, namanya harus disebut. Pada yang ketiga, jemaat harus diberi tahu bahwa ia hendak dikeluarkan dari persekutuan Gereja, kecuali kalau ia bertobat, supaya pengucilannya, kalau ia bersikeras, terjadi dengan persetujuan Gereja yang tidak usah diungkapkan secara khusus. Tenggang waktu antara ajakan-ajakan itu diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis Gereja.
78. Kalau seseorang yang telah diekskomunikasikan ingin berdamai kembali dengan jemaat dengan jalan menyesal, hal itu harus diberitahukan sebelumnya kepada jemaat, menjelang perayaan Perjamuan atau pada kesempatan lain, sesuai dengan keadaan, supaya ia dapat diterima kembali pada waktu perayaan Perjamuan yang berikut (sejauh tidak ada yang dapat mengajukan keberatan), di depan umum, dengan menyatakan pertobatannya, menurut formulir yang bersangkutan.
79. Bila Pelayan Firman Allah, Penatua atau Diaken melakukan dosa berat yang diketahui umum, yang merupakan keaiban dalam Gereja atau patut dihukum oleh pemerintah, Penatua dan Diaken harus langsung diberhentikan dari pelayanannya, dengan keputusan Majelis Gereja jemaat itu dan jemaat tetangga. Akan tetapi, para Pelayan hanya diskors. Klasis yang harus memutuskan apakah mereka perlu diberhentikan untuk seterusnya dari pelayanan mereka.
80. Yang utama di antara dosa-dosa berat yang patut dihukum dengan skorsing atau penghentian dari pelayanan adalah: Ajaran sesat atau bidat, memecah belah Gereja, hujat di depan umum, memperdagangkan jabatan gerejawi, meninggalkan pelayanan atau menyusup masuk dalam pelayanan orang lain, sumpah palsu, perzinaan, percabulan, pencurian, kekerasan, mabuk biasa, perkelahian, keuntungan yang tidak pantas, pendeknya, semua dosa dan perbuatan tidak senonoh yang menyebabkan pelakunya tidak terhormat dalam masyarakat dan yang bagi anggota gereja yang lain akan dianggap layak mendapat ganjaran hukuman pengucilan.
81. Para Pelayan Firman, Penatua, dan Diaken harus saling menjalankan disiplin gereja dan saling memperingatkan dengan ramah berhubung dengan pelayanan jabatan mereka.
82. Mereka yang meninggalkan jemaat karena pindah ke tempat lain harus diberi surat atestasi atau kesaksian tentang perikehidupan mereka, atas pertimbangan Majelis Gereja, dengan dibubuhi meterai Gereja, dan bila tidak ada meterai, dengan tanda tangan dua orang.
83. Selanjutnya, para Diaken harus memberi bantuan kepada orang-orang miskin yang berpindah dengan alasan yang memadai, sebanyak yang dianggap bijaksana, tetapi dengan mencatat di sebelah belakang atestasi mereka tempat tujuan dan sokongan yang telah diberikan.
84. Tidak satu pun Gereja boleh berkuasa atas Gereja-gereja lain, tidak seorang Pelayan pun boleh berkuasa atas Pelayan- pelayan lain, tidak seorang Penatua atau Diaken pun boleh berkuasa atas Penatua- penatua atau Diaken-diaken lain, dengan cara apa pun.
85. Dalam hal-hal yang bukan hal pokok orang tidak boleh menolak Gereja-gereja di luar negeri yang mempunyai kebiasaan lain dari kita.
86. Pasal-pasal ini mengenai tata tertib Gereja-gereja yang sah telah ditetapkan dan diterima secara bulat, sedemikian rupa hingga (bila diperlukan perubahan demi manfaat Gereja-gereja) pasal-pasal ini boleh dan patut diubah, ditambah, atau dikurangi. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan salah satu Gereja, Klasis atau Sinode' sendiri. Sebaliknya, badan-badan ini wajib memeliharanya dengan tekun, hingga Sinode Am atau Nasional menetapkan lain.
Demikianlah dilakukan dan diputuskan dalam Sinode Nasional di Dordrecht, pada tanggal 28 Mei 1619.
Yang menandatangani:
Johannes Bogermannus, Ketua Sinode,
Jacobus Rolandus, Pendamping
Hermanus Faukelius, Wakil Ketua
Sebastianus Damman, Panitera Sinode
Festus Hommius, Panitera Sinode Sinode

Tidak ada komentar:

Kata kata

Cintailah seseorang sepenuhnya, termasuk kekurangannya, dan suatu saat kamu akan pantas mendapatkan yang terbaik darinya.

SESUATU YANG BERHARGA

Terkadang, Tuhan menghilangkan sesuatu yang sangat berarti dari genggamanmu, agar kamu menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik.