Setelah Sinode Dordrecht (1618-1619) berhasil menyelesaikan masalah perselisihan dengan kaum Remonstran dalam hal ajaran, para utusan gereja-gereja tetangga berangkat pulang ke negerinya masing-masing. Maka dalam tahapnya yang terakhir, Sinode merupakan sidang nasional Belanda, yang mengatur berbagai urusan gereja Belanda. Salah satu di antaranya ialah urusan tata gereja. Sinode Dordrecht menyesuaikan dan memperluas tata gereja yang berlaku sejak Sinode 's-Gravenhage (1586) dalam beberapa hal. Yang ditambahkan antara lain pasal 8-9 (mengenai pengangkatan pendeta yang tidak berpendidikan akademis), 28 (mengenai hubungan antara gereja dengan pemerintah negara), 44 (mengenai visitasi, yang oleh sinode tahun 1586 diatur dalam pasal-pasal tersendiri di luar tata gereja), dan 59 (mengenai kewajiban turut merayakan Perjamuan Kudus). Yang diperluas antara lain pasal 69, mengenai pemakaian nyanyian rohani dalam ibadah gerejawi.
Mukadimah
1. Untuk memelihara tata tertib di
jemaat Kristus, di dalamnya diperlukan pelayanan-pelayanan, sidang-sidang,
pengawasan ajaran, sakramen-sakramen dan upacara-upacara, serta hukuman
Kristen. Semua hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Pelayanan pelayanan
2. Ada empat jenis pelayanan, yaitu
pelayanan para Pelayan Firman, para Pengajar,' para Penatua, dan para Diaken.
3. Tak seorang pun, sekalipun ia
seorang Pengajar, Penatua atau Diaken, diperkenankan memasuki pelayanan Firman
dan sakramen-sakramen tanpa pemanggilan yang sah. Bila seseorang bertindak
berlawanan dengan aturan ini dan tidak menghentikan perbuatannya meski telah
diperingatkan berkali-kali maka Klasis harus memutuskan apakah ia akan
dinyatakan sebagai penyebab perpecahan atau harus dihukum dengan cara lain.
4. Pemanggilan sah mereka yang belum
pernah memegang pelayanan, baik di kota- kota maupun di pedesaan, terdiri atas
tahap-tahap berikut. Pertama, pemilihan, yang harus dilakukan oleh Majelis
Gereja dan para Diaken, didahului dengan acara berpuasa dan berdoa. Pemilihan
ini tidak boleh dilakukan tanpa mengadakan hubungan yang sepantasnya dengan
Pemerintah Kristen setempat dan tanpa sepengetahuan atau nasihat Klasis kalau
hal itu sudah merupakan kebiasaan. Kedua, ujian atau pemeriksaan perihal ajaran
dan kehidupan. Ujian ini harus diadakan oleh Klasis dengan dihadiri para
Deputat Sinode atau beberapa orang di antaranya. Ketiga, persetujuan atau
aprobasi oleh Pemerintah, dan sesudah itu juga oleh para anggota jemaat
Gereformeerd setempat, yaitu kalau tidak timbul halangan setelah nama Pelayan
itu diumumkan dalam Gereja-gereja selama empat belas hari. Akhirnya, peneguhan
resmi di depan jemaat, yang harus dilakukan dengan cara yang layak, sesuai
dengan formulir yang bersangkutan, dengan janji- janji dan
pertanyaan-pertanyaan, nasihat-nasihat, doa, dan peletakan tangan oleh Pelayan
yang melaksanakan peneguhan itu (atau juga oleh beberapa Pelayan lain, kalau
hadir). Hal ini dengan pengertian bahwa penumpangan tangan kepada seorang
Pelayan yang baru saja diangkat, yang hendak diutus ke Gereja-gereja di bawah
Salib' boleh dilakukan dalam rapat Klasis.
5. Dalam hal para Pelayan yang sudah
berkecimpung dalam pelayanan Firman, yang dipanggil ke jemaat yang lain,
pemanggilan itu harus dilakukan juga oleh Majelis Gereja dan para Diaken dengan
nasihat atau persetujuan Klasis, dengan mengadakan hubungan seperti disebut di
atas, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka yang dipanggil harus
memperlihatkan surat dari gerejanya berisi kesaksian baik mengenai ajaran dan
kehidupan mereka; dan setelah disetujui juga oleh Pemerintah setempat dan
setelah namanya diumumkan kepada jemaat selama empat belas hari, sama seperti
di atas, mereka harus diteguhkan dengan didahului janji-janji dan doa-doa. Apa
yang dikatakan di atas tidak mengurangi hak tokoh tertentu yang benar-benar
berwenang untuk mengemukakan nama calon,2 atau hak apa pun yang lain, sejauh
hak itu dapat diselenggarakan secara membangun, tanpa merugikan Gereja Allah
dan tata tertib Gereja. Hendaklah Pemerintah dan Sinode Propinsi- propinsi
memperhatikan hal ini dan mengaturnya demi kebaikan Gereja-gereja.
6. Tidak seorang Pelayan pun boleh
menerima tugas pelayanan dalam salah satu wilayah berdaulat swasta,' rumah
sakit atau tempat lain, kalau ia tidak diterima dan diangkat sebelumnya dengan
cara yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang terdahulu, dan ia pun harus tunduk
pada Tata Gereja sama seperti yang lain.
7. Seorang hanya boleh dipanggil untuk
pelayanan Firman kalau ia diangkat menjadi pelayan di tempat tertentu, kecuali
kalau ia diutus untuk memberitakan Firman dalam Gereja-gereja di bawah Salib,
atau dengan cara lain, untuk mengumpulkan Gereja-gereja.
8. Seorang guru sekolah, orang
berketrampilan atau orang lain yang tidak berpendidikan akademis tidak boleh
diterima dalam jabatan pemberitaan Firman kecuali kalau ada kepastian bahwa
orang itu memiliki bakat-bakat istimewa, yaitu kesalehan, kerendahan hati,
kesopanan, kecerdasan, dan kebijaksanaan, serta kepandaian bertutur-kata. Bila
orang seperti itu melamar untuk pelayanan tersebut maka Klasis (kalau disetujui
Sinode) harus menguji dia lebih dulu. Tergantung dari hasil ujiannya, apakah ia
akan diizinkan atau tidak untuk selama beberapa waktu berkhotbah di hadapan
kelompok kecil. Kemudian Klasis akan mengambil keputusan terhadap dia dengan
cara yang dianggapnya membangun Gereja.
9. Orang-orang baru, imam-imam,
biarawan-biarawan, dan orang yang dengan cara lain telah keluar dari sekte apa
pun hanya boleh diizinkan mengemban pelayanan gerejawi dengan pemeriksaan
sangat saksama dan hati-hati. Mereka juga harus terlebih dahulu menjalani masa
percobaan tertentu.
10. Seorang Pelayan yang telah
dipanggil dengan cara yang sah tidak boleh meninggalkan jemaat yang telah
menerimanya tanpa syarat untuk menerima panggilan ke tempat lain, tanpa
persetujuan Majelis Gereja dan para Diaken bersama mereka yang pernah melayani
sebagai Penatua dan Diaken, serta Pemerintah, dan tanpa sepengetahuan Klasis.
Begitu juga Gereja lain tidak boleh menerimanya sebelum ia memperlihatkan pernyataan
sah tentang perpisahannya dari Gereja dan Klasis tempat pelayanan sebelumnya.
11. Di pihak lain, Majelis Gereja,
selaku wakil jemaat, wajib memberi para pelayannya jaminan hidup yang laYak
Majelis tidak boleh melepaskannya tanpa sepengetahuan dan pertimbangan Klasis.
Kalau tidak ada penghidupan, Klasis juga yang akan menilai apakah Pelayan
tersebut perlu dipindahkan atau tidak.
12. Karena seorang Pelayan Firman,
setelah dipanggil secara sah, dengan cara tersebut di atas, terikat pada
pelayanan gerejawi selama hidupnya maka ia tidak diperbolehkan beralih ke
kedudukan lain kecuali karena alasan-alasan yang kuat dan berbobot, yang akan
dipelajari dan dinilai oleh Klasis.
13. Bilamana Pelayan-pelayan tertentu
tidak sanggup lagi menjalankan pelayanannya disebabkan umur lanjut, penyakit
atau karena sebab yang lain, maka mereka akan tetap menyandang kehormatan dan
gelar seorang Pelayan. Kebutuhan mereka (sama seperti kebutuhan para janda dan
anak yatim para Pelayan pada umumnya) akan dipenuhi secara ikhlas oleh
Gereja-gereja yang pernah mereka layani.
14. Kalau Pelayan-pelayan tertentu,
karena alasan tersebut atau karena alasan apa pun yang lain, terpaksa
menghentikan pelayanannya untuk beberapa waktu lamanya (hal ini tidak boleh
terjadi tanpa perundingan dengan Majelis Gereja), mereka akan tetap tunduk pada
panggilan jemaat.
15. Tidak seorang pun diperbolehkan
pergi berkhotbah di sana sini kalau tidak mendapat izin dan wewenang dari
Sinode atau Klasis, dengan mengabaikan pelayanan Gerejanya atau berada di luar
pelayanan tertentu. Begitu pula tidak seorang pun boleh berkhotbah atau
melayankan sakramen-sakramen di Gereja lain tanpa persetujuan Majelis Gereja.
16. Tugas jabatan para Pelayan adalah
memimpin doa-doa dan melayankan Firman dengan tekun, membagikan sakramen-sakramen,
memperhatikan rekan-rekannya, para Penatua dan Diaken, serta jemaat jemaat, dan
akhirnya bersama para Penatua menyelenggarakan disiplin gereja serta
mengusahakan supaya segala hal berlangsung dengan sopan dan teratur.
17. Tugas-tugas pelayanan harus
sedapat mungkin dibagi rata antara para Pelayan Firman, begitu pula hal-hal
lain, menurut penilaian Majelis Gereja dan (kalau perlu) penilaian Klasis. Hal
ini juga perlu diperhatikan pada para Penatua dan Diaken.
18. Tugas jabatan para Pengajar atau
Mahaguru Teologi adalah menerangkan Kitab Suci dan mempertahankan ajaran murni
melawan ajaran sesat dan keliru.
19. Jemaat-jemaat harus berupaya
supaya ada mahasiswa Teologi, yang mendapat biaya dari harta milik umum.'
20. Di Gereja-gereja yang memiliki
sejumlah pendeta yang cakap, harus diadakan latihan khotbah, supaya melalui
latihan latihan itu dipersiapkan beberapa orang untuk pelayanan Firman. Dalam
hal ini peraturan yang telah ditetapkan secara khusus oleh Sinode ini harus
dipegang. 2
21. Di semua tempat Majelis-majelis
Gereja harus memberi perhatian pada pengadaan guru-guru sekolah yang baik, yang
tidak hanya mengajar anak-anak membaca, menulis, bahasa-bahasa, dan ilmu-ilmu
umum, tetapi juga mengajar mereka kesalehan dan Katekismus.'
22. Para Penatua harus dipilih melalui
keputusan Majelis Gereja dan para Diaken. Caranya sebagai berikut. Orang dapat
mengajukan kepada jemaat calon Penatua sebanyak yang dibutuhkan, sesuai dengan
keadaan tiap-tiap Gereja. Setelah mendapat aprobasi atau persetujuan dari pihak
jemaat maka mereka akan diteguhkan dengan doa dan janji janji secara resmi
(kecuali kalau timbul halangan tertentu). Tetapi orang juga dapat mengajukan
sejumlah calon dua kali lipat, supaya setengah dari jumlah mereka dipilih oleh
jemaat dan diteguhkan dalam pelayanannya dengan cara yang sama, menurut
formulir yang bersangkutan.
23. Tugas jabatan para Penatua
adalah, selain apa yang menurut pasal 16 di atas merupakan tugas bersama dengan
Pelayan Firman, untuk memperhatikan agar para Pelayan Firman bersama para
pembantu mereka yang lain dan para Diaken menyelenggarakan tugas jabatannya
dengan setia, untuk melakukan kunjungan ke rumah demi pembinaan jemaat, baik
sebelum Perjamuan maupun sesudahnya, sesuai dengan kesempatan yang tersedia
berhubungan dengan waktu dan tempat, untuk menghibur dan mengajar para anggota
jemaat pada khususnya, serta mengajak juga orang-orang lain agar menganut agama
Kristen.
24. Dalam hal pemilihan, aprobasi, dan
peneguhan para Diaken, harus dipakai cara yang sama seperti yang telah disebut
sehubungan dengan para Penatua.
25. Tugas jabatan khusus para Diaken
adalah untuk mengumpulkan dengan giat pemberian berupa uang dan barang-barang
lain untuk orang miskin dengan giat dan membagikannya dengan setia dan rajin
atas kesepakatan bersama, baik kepada penduduk maupun kepada orang asing,
sesuai dengan kebutuhan orang yang berkekurangan, untuk mengunjungi dan
menghibur orang-orang yang sedang susah, dan melakukan pengawasan supaya
pemberian itu tidak disalahgunakan. Mereka harus memberi pertanggungjawaban
kepada Majelis Gereja dan juga di hadapan jemaat (kalau ada yang ingin
menghadiri acara itu), pada waktu yang dinilai baik oleh Majelis.
26. Kalau di tempat tertentu ada juga
wali orang miskin atau petugas lain yang mengelola dana orang miskin, yang
ingin mengadakan hubungan dengan para diaken, mereka ini harus memelihara
hubungan dengan petugas tersebut supaya pemberian untuk orang miskin dibagi
dengan sebaik-baiknya kepada mereka yang paling berkekurangan.
27. Para Penatua dan Diaken harus
melayani selama dua tahun, dan tiap tahun setengah dari mereka harus turun dan
orang lain diangkat sebagai ganti mereka, kecuali kalau diperlukan cara lain
karena keadaan atau kebutuhan Gereja-gereja tertentu.
28. Tugas jabatan Pemerintah
Kristen adalah, berusaha dengan segala cara untuk mengembangkan pelayanan
gereja yang kudus, menganjurkannya kepada rakyat melalui teladannya, dan
mengulurkan bantuan kepada para Pendeta, Penatua, serta Diaken dalam semua
kebutuhan dan menjaga supaya tatanannya jangan terganggu. Begitu pula para
Pendeta, Penatua, dan Diaken harus berupaya dengan hati yang tulus untuk
menegaskan kepada seluruh jemaat kewajiban menaati, mencintai, dan menghormati
tokoh-tokoh pemerintahan. Dalam hal ini semua tokoh gereja harus memberi
teladan kepada jemaat; mereka harus berusaha untuk, dengan cara memberi hormat
dan mengadakan hubungan yang patut, menciptakan dan memelihara sikap baik
Pemerintah terhadap Gereja. Maksudnya supaya kedua belah pihak menunaikan
tugasnya masing-masing, dengan takut akan Tuhan, sehingga rasa curiga dan
kurang percaya apa pun dapat dicegah dan kerukunan terpelihara, demi
kesejahteraan Gereja-gereja.
Sidang-sidang gerejawi
29. Ada empat jenis sidang gerejawi
yang harus diadakan secara teratur, yaitu Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis,
Sinode Wilayah, dan Sinode Am atau Nasional.
30. Dalam sidang-sidang ini tidak akan
dibahas perkara apa pun selain yang bersifat gerejawi, dan dengan cara
gerejawi. Dalam rapat yang lebih luas hanya akan dibahas perkara-perkara yang
tidak berhasil diselesaikan dalam rapat-rapat yang kurang luas atau yang
menyangkut Gereja-gereja yang berkumpul dalam rapat yang lebih luas itu pada
umumnya.
31. Bila seseorang mengeluh karena
merasa diperlakukan tidak adil oleh keputusan rapat yang kurang luas maka orang
itu boleh naik banding ke rapat gerejawi yang lebih luas, lalu apa yang dengan
mayoritas suara dipandang baik akan dianggap pasti dan mengikat, kecuali kalau
hal itu terbukti bertentangan dengan Firman Allah atau dengan pasal-pasal yang
telah ditetapkan dalam Sinode Am ini, selama pasal-pasal tersebut tidak diubah
oleh Sinode Am yang lain.
32. Acara semua sidang harus dimulai
dengan menyeru Nama Allah dan ditutup dengan pengucapan syukur.
33. Orang-orang yang diutus ke
sidang-sidang itu harus membawa surat-surat kredensi dan instruksi-instruksi
yang dibubuhi tanda tangan mereka yang mengutusnya. Hanya para utusan ini yang
mempunyai suara yang menentukan.
34. Dalam semua sidang, Ketua akan
didampingi seorang Panitera, yang bertugas mencatat dengan cermat semua hal
yang layak dicatat.
35. Tugas jabatan Ketua adalah
mengemukakan dan menerangkan apa yang perlu dibahas, mengawasi supaya tiap-tiap
orang bila berbicara menjaga ketertiban, menyuruh berdiam mereka yang
bertengkar dan yang bicaranya sengit, dan melaksanakan disiplin yang sepatutnya
terhadap mereka kalau mereka tidak patuh. Selanjutnya, jabatannya akan berakhir
pada waktu sidang bubar.
36. Klasis mempunyai wewenang yang
sama terhadap Majelis Gereja seperti yang dimiliki Sinode Wilayah terhadap
Klasis dan Sinode Am terhadap Sinode Wilayah.
37. Di semua Gereja harus ada Majelis
Gereja, yang beranggotakan para Pelayan Firman dan Penatua. Mereka ini akan
bersidang paling sedikit seminggu sekali. Sidang itu harus diketuai dan
acaranya harus dipimpin oleh Pelayan Firman (atau para Pelayan Firman secara
bergiliran, kalau ada beberapa orang). Juga Pemerintahan setempat, kalau
berkehendak, boleh mewakilkan satu atau dua orang dari antara mereka, yang juga
anggota Gereja, untuk menghadiri rapat Majelis Gereja, agar mendengarkan dan
turut membicarakan perkara-perkara yang menjadi pokok pembahasan.
38. Hanya saja, bila di salah satu
tempat hendak dibentuk Majelis Gereja baru maka hal itu tidak boleh dilakukan
kecuali dengan pertimbangan Klasis. Bila jumlah Penatua sangat kecil maka para
Diaken harus dimasukkan menjadi anggota Majelis Gereja.
39. Bila di salah satu tempat belum
ada Majelis Gereja, untuk sementara waktu Klasis akan melakukan apa yang
menurut Tata Gereja ini menjadi tugas Majelis.
40. Begitu pula para Diaken harus
bersidang tiap-tiap minggu untuk membahas perkara-perkara yang menyangkut
jabatan mereka, dengan menyeru Nama Allah. Para Pelayan harus melakukan
pengawasan dan, kalau perlu, menghadiri sidang tersebut.
41. Rapat-rapat Klasis harus terdiri
atas Gereja-gereja yang berdekatan. Tiap- tiap Gereja harus mewakilkan seorang
Pelayan dan seorang Penatua, dengan surat kredensi yang layak, ke sidang yang
waktu dan tempatnya telah disepakati oleh Gereja-gereja pada saat rapat
sebelumnya bubar (tetapi begitu rupa, sehingga waktunya tidak ditunda lebih
dari tiga bulan). Sidang-sidang itu harus diketuai oleh para Pelayan secara
bergiliran atau oleh dia yang dipilih oleh rapat yang bersangkutan, tetapi
begitu rupa sehingga satu orang tidak boleh dipilih dua kali berturut-turut.
Selanjutnya Ketua harus antara lain bertanya kepada tiap- tiap orang apakah
mereka, di Gereja-gereja mereka, mengadakan rapat Majelis Gereja; apakah
disiplin gereja dijalankan; apakah orang miskin dan sekolah- sekolah dipelihara;
akhirnya apakah dalam salah satu hal mereka memerlukan nasihat dan bantuan
Klasis supaya Gerejanya berjalan dengan baik. Pelayan yang diberi tugas dalam
rapat Klasis yang terdahulu harus menyampaikan khotbah singkat dari Firman
Allah, yang akan dinilai oleh pesertapeserta lainnya, dan kalau ada yang kurang
di dalamnya akan mereka tunjukkan. Akhirnya, dalam rapat terakhir menjelang
Sinode Wilayah haruslah dipilih mereka yang akan menghadiri Sinode tersebut.
42. Kalau di salah satu tempat para
Pelayan berjumlah lebih dari satu maka mereka semua boleh menghadiri rapat
Klasis dengan suara yang menentukan, kecuali dalam perkara-perkara yang secara
khusus menyangkut diri mereka atau Gereja mereka.
43. Pada akhir sidang-sidang Klasis
dan sidang-sidang yang lebih luas lainnya harus dijalankan disiplin terhadap
mereka yang dalam rapat telah melakukan perbuatan yang patut dihukum, atau yang
telah menganggap sepele teguran dari Sidang yang kurang luas.
44. Klasis harus juga memberi kuasa
kepada beberapa Pelayan dalam lingkungannya, paling tidak dua orang dari yang
paling berumur, berpengalaman, dan cakap, untuk tiap-tiap tahun melakukan visitasi
ke semua Gereja, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka harus memeriksa
apakah para Pengajar, Majelis-majelis Gereja dan guru-guru sekolah melakukan
tugas jabatannya dengan setia, tetap berpegang pada ajaran yang murni, dalam
segala hal mempertahankan tata tertib yang sudah diterima umum, dan sedapat
mungkin mengupayakan pembinaan jemaat serta anak-anak muda dengan sepatutnya,
dengan perkataan dan dengan perbuatan. Maksudnya supaya orang-orang yang
ternyata lalai dalam salah satu hal dapat mereka tegur secara persaudaraan
sebelum terlambat, dan supaya mereka, dengan nasihat dan tindakan, dapat turut
mengarahkan segala sesuatu ke perdamaian, pembinaan, dan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah. Setiap Klasis dapat
memperbolehkan para Visitator ini memegang tugas pelayanan mereka terus selama
dianggap baik, kecuali kalau para Visitator sendiri minta dibebaskan dari
pelayanannya, karena alasan yang harus dinilai oleh Klasis.
45. Gereja-gereja tempat Klasis,
Sinode Wilayah atau Sinode Am bersidang harus mengusahakan supaya notula rapat
sebelumnya tersedia pada rapat berikutnya.
46. Instruksi-instruksi tentang
hal-hal yang perlu dibahas dalam rapat-rapat yang lebih luas tidak boleh
disusun sebelum keputusan-keputusan Sinode-sinode yang terdahulu dibaca, untuk
mencegah perkara yang sudah dibahas secara tuntas dikemukakan kembali, kecuali
kalau orang beranggapan ada yang perlu diubah.
47. Tiap-tiap tahun (kecuali kalau
timbul keadaan darurat yang memerlukan tenggang waktu yang lebih singkat)
haruslah bersidang empat, lima atau lebih Klasis yang berdekatan. Setiap Klasis
harus mewakilkan dua Pelayan dan dua Penatua ke Sinode Wilayah itu. Pada waktu Sinode
Wilayah dan Sinode Am bubar, harus ditunjuk salah satu Gereja yang
ditugaskan untuk, setelah meminta pendapat Klasis, menetapkan waktu dan tempat
Sinode yang berikut.
48. Tiap-tiap Sinode akan bebas
mencari dan memelihara hubungan dengan Sinode atau Sinode-sinode tetangga,
dengan cara yang dianggapnya paling bermanfaat bagi kebaikan umum.
49. Tiap-tiap Sinode harus menunjuk
pula beberapa orang deputat yang bertugas untuk melaksanakan segala hal yang
telah ditetapkan oleh Sinode, baik pada Pemerintah Pusat maupun pada
Klasis-klasis yang termasuk lingkungannya; juga untuk bersama-sama atau dengan
jumlah yang kurang mengawasi ujian para calon Pendeta; dan selanjutnya untuk
dalam semua kesulitan lain yang timbul mengulurkan bantuan kepada
Klasis-klasis, supaya persatuan dan ketertiban yang baik serta kemurnian ajaran
dipertahankan dan ditegakkan. Mereka harus membuat catatan saksama tentang
semua tindakannya untuk melaporkannya kepada Sinode dan memberi
pertanggungjawaban kalau diminta. Mereka juga tidak akan bebas dari
pelayanannya sebelum Sinode sendiri membebaskan mereka.
50. Sinode Nasional biasanya
harus diadakan tiga tahun sekali, kecuali kalau ada keadaan mendesak sehingga
tenggang waktunya perlu dipersingkat. Dari setiap Sinode Wilayah, baik yang
berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Perancis,' dua Pelayan dan dua Penatua
harus diutus ke Sinode itu. Selanjutnya (yaitu kalau Sinode itu harus diadakan
dalam waktu lebih singkat dari tiga tahun) Gereja yang telah diberi tugas untuk
menetapkan waktu dan tempat Sinode Am harus mengumpulkan Sinode Wilayahnya,
juga memberitahukan hal itu kepada Gereja tetangga yang berbahasa lain. Gereja
itu harus mengutus empat orang ke Sinode itu untuk atas kesepakatan bersama
memutuskan waktu dan tempatnya. Bila Gereja yang telah dipilih untuk menghimpun
Sinode Am hendak berunding dengan Klasis tentang waktu dan tempatnya maka hal
itu harus diberitahukannya kepada Pemerintah Pusat pada waktu yang cukup dini,
supaya hal itu dapat diputuskan dengan sepengetahuannya dan (kalau Pemerintah
berkenan mengutus juga beberapa orang ke Klasis) dengan dihadiri para wakilnya
dan dengan nasihat mereka.
51. Karena di Negeri Belanda orang
memakai dua bahasa,' dianggap baik bahwa Gereja-gereja berbahasa Belanda dan
Perancis masing-masing memiliki Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis dan
Sinode-sinode Wilayah tersendiri.
52. Namun, dianggap baik bila di
kota-kota di mana ada Gereja-gereja berbahasa Perancis tersebut, beberapa
Pelayan dan Penatua dari kedua belah pihak berkumpul tiap- tiap bulan untuk
memelihara kerukunan dan hubungan baik satu sama lain dan untuk sebanyak
mungkin saling memberi nasihat sesuai dengan kebutuhan.
Ajaran gereja, sakramen-sakramen, dan upacara-upacara yang lain
53. Para Pelayan Firman Allah, begitu
juga para Mahaguru Teologi (dan sepatutnya juga para Mahaguru lain) harus
menandatangani Pengakuan Iman Gereja-gereja Belanda.2 Para Pelayan yang menolak
harus diskors de facto dari pelayanannya oleh Majelis Gereja atau Klasis,
hingga mereka memberi penjelasan secara tuntas mengenai hal itu. Kalau mereka
bersikeras menolak maka mereka akan diberhentikan seterusnya dari pelayanan
mereka.
54. Begitu pula para guru sekolah
wajib menandatangani Pasal-pasal tersebut, atau Katekismus Kristen' sebagai
gantinya.
55. Tak seorang penganut agama
Gereformeerd pun boleh memberanikan diri untuk menyuruh mencetak atau
menerbitkan dengan cara lain buku atau karangan apa pun perihal agama, yang ia
sendiri atau orang lain susun atau terjemahkan, kecuali setelah karangan itu
diperiksa dan disetujui oleh para Pelayan Firman dalam Klasisnya, atau -
asalkan dengan sepengetahuan Klasisnya - oleh Sinode Wilayah, atau para
Mahaguru Teologi di propinsi-propinsi ini.'
Baptisan
56. Perjanjian Allah harus
dimeteraikan kepada anak-anak orang Kristen melalui Baptisan, begitu ada
kesempatan menerimanya. Hal itu harus dilakukan perkumpulan umum, pada waktu
Firman Allah diberitakan. Tetapi bila di tempat tertentu pemberitaan Firman itu
agak jarang terjadi maka harus ditetapkan hari tertentu di luar Hari Minggu
untuk pelayanan baptisan yang istimewa. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan
tanpa pemberitaan Firman.
57. Para Pelayan harus mengusahakan
sedapat mungkin supaya seorang anak dibawa ayahnya untuk dibaptis. Dan bila
dalam jemaat tertentu orang biasa mengundang wali atau saksi pada baptisan
selain ayahnya sendiri (kebiasaan itu sendiri bebas dan tidak dapat diubah
dengan mudah), yang layak diundang ialah orang- orang yang menganut ajaran yang
murni dan yang menempuh hidup yang saleh.
58. Bila melayankan Baptisan, baik
kepada anak-anak kecil maupun kepada orang dewasa, para Pelayan Firman harus
menggunakan formulir-formulir mengenai penetapan dan pelaksanaan Baptisan, yang
disusun khususnya untuk itu.
59. Melalui Baptisan, orang dewasa
dimasukkan dalam jemaat Kristen dan diterima menjadi anggota sidi jemaat itu.
Karena itu, mereka wajib turut merayakan Perjamuan Tuhan, sebagaimana harus
mereka janjikan pada waktu dibaptis.
60. Nama mereka yang dibaptis, termasuk
nama orangtua dan para saksi harus dicatat, begitu juga waktu pembaptisan.'
Perjamuan
61. Tidak seorang pun boleh diterima
turut merayakan Perjamuan Tuhan kecuali mereka yang, sesuai dengan kebiasaan
Gereja-gereja yang dengannya mereka bergabung, telah mengakui agama
Gereformeerd,2 dan yang menurut kesaksian orang lain menempuh kehidupan yang
saleh. Tanpa itu, juga mereka yang berasal dari Gereja-gereja lain tidak boleh
diterima.
62. Tiap-tiap Gereja boleh melayankan
Perjamuan dengan cara yang dinilainya paling berguna bagi pembinaan para
anggota, dengan pengertian bahwa upacara- upacara lahiriah yang diperintahkan
dalam Firman Allah tidak boleh diubah dan bahwa takhayul apa pun perlu dicegah.
Begitu pula, seusai khotbah dan doa-doa umum di mimbar, formulir Perjamuan dan
doa untuk Perjamuan harus dibacakan di depan meja.
63. Perjamuan Tuhan harus diadakan
sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan
mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paskah, Hari Pentakosta
dan Hari Natal. Tetapi bila di salah satu tempat belum ada Gereja yang teratur
maka untuk sementara waktu harus lebih dulu diangkat Penatua-penatua dan
Diaken-diaken.
Aturan waktu kebaktian
64. Karena di banyak tempat
perkumpulan-perkumpulan doa pada malam hari ternyata berguna sekali maka dalam
pelaksanaannya tiap-tiap Gereja boleh memakai cara yang dinilainya paling
bermanfaat bagi pembinaan para anggota. Akan tetapi, kalau orang ingin
menghapuskannya hal itu tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan Klasis dan
Pemerintah yang menganut agama Gereformeerd.
65. Bila di salah satu tempat tidak
diadakan kebaktian jenazah, orang tidak boleh membiasakannya. Bila khotbah itu
sudah menjadi kebiasaan, orang harus berupaya untuk menghapuskannya dengan cara
yang patut.
66. Pada masa perang, wabah penyakit,
paceklik, penganiayaan Gereja-gereja, dan bencana umum lainnya, para Pelayan
Gereja-gereja harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah agar dengan
wewenang dan perintahnya ditetapkan dan dikuduskan hari-hari puasa serta doa
umum.
67. Jemaat-jemaat harus merayakan,
selain Hari Minggu, juga Hari Natal, Hari Paskah, dan Hari Pentakosta, bersama
hari berikutnya. Dan karena di sebagian terbesar kota-kota dan
propinsi-propinsi Negeri Belanda di samping hari-hari tersebut dirayakan juga
Hari Penyunatan Kristus' dan Hari Kenaikan maka di mana kebiasaan itu belum
berlaku, para Pelayan harus mendorong Pemerintah agar menyesuaikan diri dengan
yang lain-lain.
68. Pada hari Minggu, biasanya dalam
kebaktian sore, di mana pun para Pelayan harus menerangkan secara singkat
ikhtisar Ajaran Kristen yang tercantum dalam Katekismus yang dewasa ini
diterima umum dalam Gereja-gereja di negeri Belanda.2 Begitu rupa caranya
sehingga Katekismus itu dibahas seluruhnya dalam waktu satu tahun, sesuai
dengan pembagian dalam Katekismus sendiri.
69. Di Gereja-gereja hanya boleh
dinyanyikan ke-150 Mazmur Daud, Kesepuluh Perintah, Doa Bapa Kami, Kedua belas
Pasal Iman, Nyanyian Pujian Maria, Zakharia, dan Simeon. Gereja-gereja bebas
menggunakan atau tidak nyanyian O God, die onze Vader zijt. Semua
nyanyian rohani lainnya tidak diizinkan dalam Gereja- gereja. Bila di salah
satu tempat ada yang sudah dimasukkan, nyanyian itu harus dihapuskan dengan
cara yang patut.'
70. Ternyata di mana-mana orang memelihara
kelaziman yang berbeda-beda dalam hal pernikahan. Namun, sepantasnya dalam hal
ini dipakai cara yang seragam. Karena itu Gereja-gereja harus mempertahankan
kelaziman yang telah dipeliharanya selama ini karena mereka menganggapnya
sesuai dengan Firman Allah dan dengan peraturan- peraturan gereja yang telah
berlaku sebelumnya, hingga Pemerintah Pusat (yang secepat mungkin harus diminta
melakukan hal ini) menyusun Peraturan Umum, dengan meminta pendapat para
Pelayan Gereja. Peraturan Umum itulah yang menjadi acuan Tata Gereja dalam
urusan ini.
Disiplin gereja dan teguran-teguran gerejawi
71. Sebagaimana hukuman Kristen
bersifat rohani dan tidak membebaskan seorang pun dari pengadilan negara serta
hukuman dari pihak Pemerintah, begitu pula disiplin gereja mutlak perlu di
samping hukuman sipil, untuk mendamaikan orang berdosa dengan Gereja dan dengan
sesamanya manusia dan untuk menghilangkan penyebab dosa dari dalam jemaat
Kristus.
72. Kalau ada yang berdosa melawan
ajaran yang murni atau kehidupan yang saleh maka, sejauh hal itu tersembunyi
dan tidak menimbulkan keresahan umum, orang harus memegang aturan yang telah
Kristus tetapkan dengan jelas dalam Matius 18.
73. Dosa-dosa tersembunyi tidak usah
diadukan kepada Majelis Gereja, kalau orang berdosa menyesalinya setelah
ditegur oleh satu orang secara pribadi atau di hadapan dua atau tiga orang
saksi.
74. Kalau seseorang telah ditegur
dalam suasana kasih oleh dua tiga orang karena dosa yang tersembunyi, dan tidak
menghiraukannya, atau kalau orang itu telah melakukan dosa yang diketahui umum,
maka hal itu harus diadukan kepada Majelis Gereja.
75. Berkenaan dengan semua dosa yang
pada hakikatnya bersifat umum atau yang diketahui umum karena teguran gerejawi
tidak dihiraukan, pendamaiannya harus terjadi (kalau dilihat tanda-tanda
penyesalan yang pasti) di depan umum, menurut keputusan Majelis Gereja, dengan
bentuk dan cara yang dinilai tepat demi pembinaan para anggota tiap-tiap
Gereja. Di pedesaan dan di kota-kota kecil di mana hanya ada satu orang
Pelayan, pendamaian itu harus berlangsung dengan meminta nasihat dua Gereja
tetangga.
76. Barang siapa bersikeras menolak
teguran Majelis, dan barang siapa telah melakukan dosa yang bersifat umum atau
yang berat karena alasan lain, akan dilarang turut merayakan Perjamuan Tuhan.
Kalau ia, sesudah larangan itu dan sesudah ditegur berkali-kali, tidak
memperlihatkan tanda-tanda penyesalan maka akhirnya orang akan memakai tindakan
terakhir, yaitu pengucilan, menurut acara yang ditetapkan untuk itu sesuai
dengan Firman Allah. Akan tetapi, tidak seorang pun boleh dikucilkan kecuali
sesudah meminta pendapat Klasis.
77. Sebelum sampai melakukan
pengucilan, orang harus mengumumkan kekerasan hati pendosa itu kepada jemaat,
sambil memberi keterangan mengenai dosa-dosa itu dan mengenai upaya mengecam
dia, melarang dia turut merayakan Perjamuan, dan menegur dia berkali- kali.
Jemaat harus diajak menyapa dan mendoakan dia. Ajakan demikian akan terjadi
tiga kali. Pada ajakan pertama, nama orang berdosa itu tidak akan disebut,
supaya agak ditenggangkan perasaannya. Pada ajakan kedua, sesudah meminta
pendapat Klasis, namanya harus disebut. Pada yang ketiga, jemaat harus diberi
tahu bahwa ia hendak dikeluarkan dari persekutuan Gereja, kecuali kalau ia
bertobat, supaya pengucilannya, kalau ia bersikeras, terjadi dengan persetujuan
Gereja yang tidak usah diungkapkan secara khusus. Tenggang waktu antara
ajakan-ajakan itu diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis Gereja.
78. Kalau seseorang yang telah
diekskomunikasikan ingin berdamai kembali dengan jemaat dengan jalan menyesal,
hal itu harus diberitahukan sebelumnya kepada jemaat, menjelang perayaan
Perjamuan atau pada kesempatan lain, sesuai dengan keadaan, supaya ia dapat
diterima kembali pada waktu perayaan Perjamuan yang berikut (sejauh tidak ada
yang dapat mengajukan keberatan), di depan umum, dengan menyatakan
pertobatannya, menurut formulir yang bersangkutan.
79. Bila Pelayan Firman Allah, Penatua
atau Diaken melakukan dosa berat yang diketahui umum, yang merupakan keaiban
dalam Gereja atau patut dihukum oleh pemerintah, Penatua dan Diaken harus
langsung diberhentikan dari pelayanannya, dengan keputusan Majelis Gereja
jemaat itu dan jemaat tetangga. Akan tetapi, para Pelayan hanya diskors. Klasis
yang harus memutuskan apakah mereka perlu diberhentikan untuk seterusnya dari
pelayanan mereka.
80. Yang utama di antara dosa-dosa
berat yang patut dihukum dengan skorsing atau penghentian dari pelayanan
adalah: Ajaran sesat atau bidat, memecah belah Gereja, hujat di depan umum,
memperdagangkan jabatan gerejawi, meninggalkan pelayanan atau menyusup masuk
dalam pelayanan orang lain, sumpah palsu, perzinaan, percabulan, pencurian,
kekerasan, mabuk biasa, perkelahian, keuntungan yang tidak pantas, pendeknya,
semua dosa dan perbuatan tidak senonoh yang menyebabkan pelakunya tidak
terhormat dalam masyarakat dan yang bagi anggota gereja yang lain akan dianggap
layak mendapat ganjaran hukuman pengucilan.
81. Para Pelayan Firman, Penatua, dan
Diaken harus saling menjalankan disiplin gereja dan saling memperingatkan
dengan ramah berhubung dengan pelayanan jabatan mereka.
82. Mereka yang meninggalkan jemaat
karena pindah ke tempat lain harus diberi surat atestasi atau kesaksian tentang
perikehidupan mereka, atas pertimbangan Majelis Gereja, dengan dibubuhi meterai
Gereja, dan bila tidak ada meterai, dengan tanda tangan dua orang.
83. Selanjutnya, para Diaken harus
memberi bantuan kepada orang-orang miskin yang berpindah dengan alasan yang
memadai, sebanyak yang dianggap bijaksana, tetapi dengan mencatat di sebelah belakang
atestasi mereka tempat tujuan dan sokongan yang telah diberikan.
84. Tidak satu pun Gereja boleh
berkuasa atas Gereja-gereja lain, tidak seorang Pelayan pun boleh berkuasa atas
Pelayan- pelayan lain, tidak seorang Penatua atau Diaken pun boleh berkuasa
atas Penatua- penatua atau Diaken-diaken lain, dengan cara apa pun.
85. Dalam hal-hal yang bukan hal pokok
orang tidak boleh menolak Gereja-gereja di luar negeri yang mempunyai kebiasaan
lain dari kita.
86. Pasal-pasal ini mengenai tata
tertib Gereja-gereja yang sah telah ditetapkan dan diterima secara bulat,
sedemikian rupa hingga (bila diperlukan perubahan demi manfaat Gereja-gereja)
pasal-pasal ini boleh dan patut diubah, ditambah, atau dikurangi. Namun, hal
ini tidak boleh dilakukan salah satu Gereja, Klasis atau Sinode' sendiri.
Sebaliknya, badan-badan ini wajib memeliharanya dengan tekun, hingga Sinode Am
atau Nasional menetapkan lain.
Demikianlah dilakukan dan diputuskan
dalam Sinode Nasional di Dordrecht, pada tanggal 28 Mei 1619.
Yang menandatangani:
Johannes Bogermannus, Ketua Sinode,
Jacobus Rolandus, Pendamping
Hermanus Faukelius, Wakil Ketua
Sebastianus Damman, Panitera Sinode
Festus Hommius, Panitera Sinode Sinode
Johannes Bogermannus, Ketua Sinode,
Jacobus Rolandus, Pendamping
Hermanus Faukelius, Wakil Ketua
Sebastianus Damman, Panitera Sinode
Festus Hommius, Panitera Sinode Sinode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar