Sebuah refleksi
theologis
HISTORIS
GMKI
mempunyai sejarah hidup yang tidak pendek. Dalam perjalanan hidupnya itu tentu
ada dinamika yang bersifat “ideologis” dan dinamika yang bersifat
praktis/pragmatis. Dinamika yang bersifat praktis/pragmatis mungkin amat sangat
bervariasi, karena sangat kena mengena dengan keadaan sesewaktu dan mungkin
agak “manusia sentris” (artinya agak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
pribadi manusianya). Meskipun demikian dinamika yang bersifat praktis/pragmatis
itu tentunya selalu berkaitan dengan dinamika yang bersifat “teologis” tadi.
Sebaliknya dinamika yang bersifat “ideologis” mestinya tidak banyak bervariasi,
tetapi “mengalir” terus seperti “benang merah” yang secara konsisten
menghubungkan segala sesuatu yang ada dan hidup di dalam tubuh GMKI sepanjang
sejarahnya. Dinamika yang bersifat “ideologis” itu mestinya merupakan “Leit Motif” yang menjadi semacam
kerangka dasar, sumber inspirasi, sumber koreksi dan sekaligus pengarah bagi
segala sesuatu yang dilakukan oleh GMKI sepanjang hidupnya. Segala sesuatu yang
tumbuh, dilakukan dan tidak dilakukan oleh GMKI mestinya bersumber dari “Leit Motif” itu.
Dinamika
yang bersifat praktis/pragmatis dapat disimak dalam program-program dan
kegiatan GMKI, sedangkan dinamika yang bersifat “ideologis” dapat disimak
antara lain dalam tema-tema dan sub-sub tema serta uraian/deliberasinya yang
dipakai dan dihasilkan dalam semua kegiatan sepanjang sejarah hidup tersebut.
Sementara
itu perlu juga dilakukan penilitian terhadap dinamika realitas kontekstual
dimana GMKI selama ini hidup. Realitas kontekstual itu mencakup berbagai
bidang, seperti gereja, masyarakat, bangsa, negara, ideologi, perguruan tinggi,
mahasiswa, sosial-ekonomi-politik, agama, bahkan militer, secara nasional
maupun internasional/global, dengan
semua kecenderungannya. Penilitian ini memang tidak ringan dan juga tidak
murah. Tetapi dari kajian seperti itu akan nampak, apakah selama ini GMKI lebih
merupakan organisasi yang mengacu kepada sebuah life atau living.
Pokok
ini rasanya menjadi makin urgent mengingat banyaknya pengamat yang mengatakan,
bahwa beberapa tahun belakangan ini organisasi kemahasiswaan tradisional,
khususnya di Indonesia, mengalami lesu darah dan disorientasi yang sangat
serius. Sebaliknya organisasi kemahasiswaan yang mengacu pada hal-hal yang
bersifat rohani, pribadi dan fundamentalistis nampak makin “subur”. Pengamatan
sekilas memberikan kesan bahwa “lesu darah” itu rupanya terjadi oleh dua hal. Pertama, ‘Leit Motif’ yang dirasa mampu
dan handal, ternyata sekarang agak tumpul dan mandul. Kurang memberikan
motivasi, semangat dan wawasan; ‘Leit Motif’ itu dirasa tidak lagi begitu
menyapa dan menyentuh para mahasiswa, dan karena itu ia dibiarkan berjalan
sendiri tanpa minat. Kedua, minat
para mahasiswa sudah bergeser karena banyak hal yang semula diperjuangkannya
sekarang sudah terpenuhi, baik oleh perjuangan mereka sendiri atau oleh kerja
keras pihak lain. Mereka memerlukan hal yang baru yang lebih menarik dan
menyapa mereka. Hal baru itu mereka cari (dan mungkin mereka temukan) diluar
organisasi kemahasiswaan yang tradisional. Sementara itu realitas kontekstual
para mahasiswa itu sudah berubah dan tidak lagi seperti dahulu, seiring dengan
perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, lahan yang menjadi ajang dan sasaran
perjungan tradisional sudah makin sempit, atau bahkan mungkin tidak ada lagi,
dan tiba-tiba saja organisasi bersangkutan menemukan dirinya disoriented. Hal
ini sama sekali tidak berarti bahwa organisasi kemahasiswaan yang baru, yang
tidak tradisional, memang benar-benar menyentuh dan menyapa para mahasiswa,
apalagi secara radikal dan mendasar. Ada kemungkinan organsisasi kemahasiswaan
yang baru tersebut lebih merupakan suatu gejala superfisial, yang juga akan
segera “lesu darah” karena tidak mempunyai Leit Motif yang jelas dan konsisten.
Lebih
lanjut pengamatan kita memberikan kesan, bahwa munculnya semua gejala yang
disebutkan diatas mempunyai hubungan yang erat dengan kenyataan, bahwa dewasa
ini menjadi mahasiswa itu begitu mudah dan bersifat masal. Sehingga mutu mereka
cenderung memprihatinkan. Menunaikan hak dan kewajiban mereka sebagai mahasiswa
saja sudah merupakan persoalan, apalagi berorganisasi.
Kalau
secara historis kita bisa mengantisipasi realitas kontekstual yang akan datang
secara akurat, barangkali organisasi kemahasiswaan termasuk GMKI, akan bisa
lebih kreatif dalam mengungkapkan “Leit Motif” yang manjadi kekhasannya
sedemikian rupa sehingga tidak lagi “lesu darah”.
LIFE
NOT JUST EXISTENCE
Ada
baiknya kita berusaha untuk kesekian kalinya, mengkaji ulang dasar dan tujuan
eksistensi organisasi ini. Usaha ini perlu dilakukan seobjektif mungkin, untuk
menghindarkan sikap dogmatis dan fanatis. Masihkah semboyan Ut Omnes Unum Sint
(Yohanes 17:11, 21) relevan dan tekstual untuk realitas sekarang? Atau mungkin
sudah waktunya, sesuai dengan kekhasan sebagai organsiasi mahasiswa Kristen,
mengartikulasikan eksistensinya dengan semboyan yang lain? Masalah ini
menjadi makin mendesak kalau kita kaitkan dengan tujuan keberadaan organisasi
ini. Pemahaman yang kontekstual tentang tujuan keberadaan suatu persekutuan
Kristen, termasuk organisasi seperti GMKI, akan membantu artikulasi itu. Dalam
hubungan ini ada baiknya kita secara sekilas melihat sejarah keberadaan
persekutuan umat TUHAN seperti yang dituturkan dalam Alkitab.
Sejak
permulaan diciptakannya, persekutuan umat TUHAN itu selalu ditempatkan oleh
TUHAN didalam panggung sejarah umat manusia secara kontekstual. Tidak pernah
persekutuan umat TUHAN berada dalam suatu keberadaannya didalam realitas
konteks itu umat TUHAN menjadi umat yang bukan hanya existing tetapi living. Masalahnya adalah mereka itu living
untuk apa? Sejarah mereka menunjukkan, bahwa ada masa-masa tertentu dimana
mereka berusaha keras untuk exist bagi diri mereka sendiri. Mereka berusaha
menjadi bangsa yang besar, punya nama, bahkan menguasai bangsa-bangsa lain.
Raja Daud adalah simbol ‘positif’ sedang Yunus adalah simbol ‘negatif’ dari
keberadaan seperti ini. Tetapi tidak sedikit masa dimana umat TUHAN justru
harus bergumul dengan dan di tengah-tengah kancah bangsa-bangsa secara luas,
bukan utamanya untuk living tapi survive dan exist. Keberadaan mereka di tanah
Mesir zaman Firaun, sebagian masa pembuangan ke Babel, dan umat Kristen zaman
Perjanjian Baru, adalah contoh dari keberadaan seperti itu. Dilihat dari sudut
pandang umat TUHAN sendiri, pengalaman sejarah seperti itu merupakan perjuangan
untuk exist bagi diri mereka sendiri. Hal itu nampak wajar saja. Tapi dilihat
sudut pandang theologis, kita dengan susah payah mengetahui, bahwa existence
mereka itu bukanlah tujuan akhir mereka. Tujuan akhir mereka adalah living,
dalam arti hidup bersama, di tengah-tengah dan bagi semua orang, bangsa dan
umat di bumi. Semua introvertisme dan egoisme adalah sebagian kecil dari tujuan
keberadaan mereka. Tujuan keberadaan mereka yang sejati adalah living bersama, di tengah-tengah dan
bagi semua orang. Mereka pernah sangat enggan melakukan living seperti ini.
Tapi TUHAN selalu mereorientasikan mereka kepada tujuan yang sejati, yaitu living
and not just existing. Hal itu terbukti dari semua kegagalan yang meeka
alami setiap kali mereka berusaha mengutamakan existence mereka sendiri. Malah
kita bisa mengatakan, kelestarian existence mereka justru terjadi karena TUHAN
memaksa mengutamakan living dan bukan
existence. Existence itu mandeg,
sebaliknya living itu berkesinambungan. Existence cenderung eksklusif,
sedangkan living cenderung relasional dan bermakna. Ketaatan kepada TUHAN
berarti memberlakukan living,
sedangkan mementingkan diri sendiri berarti existence.
Sejarah
umat TUHAN sampai dengan abad ini masih berkisar pada dua pilihan itu:
existence atau living. Memang umat Kristen pernah seperti berhasil mewujudkan
existence-nya selama beberapa abad. Keberhasilan itu ditandai dengan adanya
sebutan ‘Christendom’ yang kira-kira sama dengan hegemoni Kristen atau
berlakunya kuasa kekristenan terhadap seluruh (?) dunia. Namun masa seperti itu
sekarang tidak ada lagi. Bahkan banyak orang Kristen sendiri yang mulai
meninggalkan sikap dan mental triumfalistis yang pernah dilekatkan
pada kekristenan. Tahap mutakhir dari kesadaran akan pentingnya living di atas
existence nampak dalam semboyan akhir-akhir ini, yaitu Justice, Peace and Integrated of
Creation atau Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC).
Konsekuensi
logis dari sejarah umat TUHAN seperti itu ialah bahwa organisasi Kristen
seperti GMKI tidak bisa punya pilihan lain kecuali taat kepada TUHAN-nya.
Artinya satu-satunya pilihan adalah living and not just existing, atau live not
just existence, hidup ditengah, bersama dan bagi semua orang.
Selanjutnya pertanyaan besar yang muncul dalam kaitannya dengan living/life ini ialah: untuk apa life/living itu?
PRO-EXISTENCE
(CON VIVENS)
Sebelum
menjawab pertanyaan besar itu, baiklah sekali lagi kita jelaskan apa yang
dimaksudkan dengan istilah-istilah itu. Kita telah memakai dua istilah. Yang
dimaksud dengan exist(ence) adalah hidup untuk diri sendiri, yang sering
mandeg, eksklusif, egoistis, introvert, untuk kepentingan diri sendiri. Sedang
yang dimaksud dengan life (living) adalah hidup ditengah, bersama dan
bagi/untuk semua orang.
Dalam rangka menjawab pertanyaan besar
tersebut, kita perlu mengamati apa yang selama ini terjadi dengan life/living
itu, khususnya di kalangan persekutuan/ umat Kristen. Banyak orang dan
persekutuan Kristen yang memang memberlakukan life/living itu, yaitu hidup
ditengah-tengah, bersama dan bagi semua orang. Namun tingkat kebermaknaannya
secara optimal baru sampai pada menjawab pertanyaan: bagaimana semua
orang/pihak bisa hidup rukun satu dengan lain. Hal itu nampak baik, meskipun
juga tidak sepi dari kelemahan. Diatas semua itu, dan ini jauh lebih mendasar
dari segalanya, ada satu hal yang belum diberlakukan dengan sadar dan sengaja,
yaitu bahwa sebenarnya semua orang/pihak bergantung satu dengan yang lain.
Saling ketergantungan itu mempunyai implikasi, bahwa setiap orang/pihak
memerlukan orang/pihak yang lain. Dia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Dia
hidup justru oleh karena ada orang/pihak lain itu. Seandainya orang/pihak lain
tidak ada, maka dia pun ikut tidak ada. Kehidupan yang seperti itulah yang
sebenarnya menjadi tujuan dari life/living tadi. Dan tujuan life/living yang
seperti itu yang sekarang ini disebut dengan istilah “pro-existence” atau “con
vevens”. Dengan perkataaan lain, tujuan dari pro-existence atau con vivens,
yaitu kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan lestari. Di dalam kehidupan
seperti itu semua istilah yang berkonotasi perpecahan tidak berlaku. Disitu
tidak ada orang/pihak yang menentukan dan yang ditentukan; tidak ada yang
mendominasi dan yang didominasi; tidak ada yang kuat dan yang lemah; tidak ada
yang mayor dan yang minor; dan seterusnya. Yang ada adalah saling
ketergantungan yang menentukan nasib semua orang/pihak secara bersama-sama. Pro-existence atau con-vivens menjadi
semakin urgen ditengah-tengah dinamika sejarah global yang jarang sehat dan
rawan kehancuran ini.
G M K
I
Bahwa
GMKI exist adalah sudah jelas. Apakah GMKI living? Pertanyaan ini perlu
dijawab. Jawabannya adalah lewat program-program yang mengacu kepada tujuan
living-nya itu. Masalahnya adalah bahwa untuk suatu masa bakti suatu
kepengurusan yang hanya beberapa tahun saja, apa yang bisa dilakukan secara
dasariah yang sekaligus mengacu kepada pro-existence
atau con vivens itu. Beberapa pengamat
telah mengatakan bahwa untuk kedepan masalah persatuan bangsa, kesenjangan
sosial ekonomi, ketidakmerataan, ketidakadilan sosial dan kemiskinan masih akan
menjadi masalah dan tanggungjawan kita. Pengamat yang lain mengatakan bahwa
masalah hukum – khususnya di Indoensia – jauh lebih serius. Yang lain
mengatakan bahwa masalah pendidikan yang paling lebih serius. Dan yang lain
mengatakan bahwa seragamisasi, khususnya yang dislogani dengan perkataan
“demi/untuk pembangunan dll”, sesegala bidang merupakan kendala utama bagi
kreatifitas masyarakat, dan demikian seterusnya, tergantung minat para
pengamatnya. Sementara pembangunan berlangsung terus, meskipun fragmementaris
(kurang terpadu), sehingga yang untung terus mendapatkan keuntungan. Dari
situasi yang demikian, maka peluang yang dapat dilihat adalah bagaimana semua
pihak saling membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi secara menyeluruh
dan agar dapat dicari jalan keluar yang tepat secara bersama-sama pula.
Dalam
(mencari dan) memanfaatkan peluang itu, nampaknya ada semangat yang hampir
diberlakukan oleh berbagai – kalau tidak semua – pihak, yaitu semangat saling
berpacu. Berpacu itu nampaknya baik saja, karena bisa menggugah kreatifitas.
Tapi kalau semua orang/pihak berpacu bersama-sama untuk memperjuangkan
kemenangannya sendiri, maka cepat atau lambat mereka akan saling berbenturan
(collided), yang pada gilirannya akan menghancurkan semua pihak. Karena itu
seyogyanya GMKI menjauhkan diri dari semangat berpacu melawan pihak lain itu.
Semangat berpacu yang harus ditumbuhkembangkan adalah justru semangat berpacu
untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan benturan dan sebaliknya
“menyelamatkan” semua pihak (pro-existence atau con vivens) dari kehancuran
bersama itu. Disinilah iman, kesetiaan dan ketaatan kepada TUHAN yang Hidup,
Yesus Sang KRISTUS, dan ROH Kudus, menjadi final. Artinya, kita mengusahakan
semua yang dapat kita lakukan untuk pro-existence atau con vivens itu dengan
yakin seyakin-yakinnya, bahwa apa yang kita lakukan adalah bagian dari yang
dilakukan TUHAN, dan kita tidak memihak kepada siap-siapa kecuali kepada DIA
saja. TUHANlah penolong dan kekuatan kita. Sama seperti nabi Yeheskiel, kita
harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Berhasil tidaknya bukan utamanya
masalah kita. Tetapi celakalah kita kalau kita tidak melakukan panggilan kita
sama sekali (Yeh. 3).
Berdasarkan
uraian di atas, maka tema dari Kitab Amos 5:6a rasanya sangat tepat: “carilah
TUHAN, maka kamu akan hidup”. Tugas berikutnya adalah bagaimana kita
menjabarkan dalam program-program nyata dan rata dalam kurun waktu masa bakti
yang akan datang. Untuk itu perkenankan kami mengusulkan agar antara lain:
a.
Program-program
itu bersifat nyata, melibatkan sebanyak mungkin anggota dimana-mana;
b.
Program-program
itu bersifat pengembangan penalaran, dengan harapan bahwa disamping akan
terjalin kerja juga tumbuh jaringan penalaran yang berbobot;
c.
Pemanfaatan
media massa, khususnya media cetak yang ada, digalakkan dengan tulisan-tulisan
pribadi para anggota GMKI di mana saja, yang mengungkapkan keprihatianan
terhadap pokok-pokok yang disebut dalam uraian diatas (pro existence/con
vivens);
d.
Lasat but
not least, para anggota GMKI, baik pimpinan maupun anggota biasa di semua aras
dan tempat, diminta untuk menjalin pergaulan pribadi yang sebaik-baiknya dengan
oknum pejabat sipil dan militer, mengisis pergaulan itu dengan simpati terhadap
tangggungjawab mereka yang tidak ringan (apapun isi tanggungjawab itu), dan
sharing pokok pikiran, secara positif, realistis, kritis dan konstruktif;
hindarkanlah sikap menuntut/claiming, sebab sikap seperti ini cenderung
berkonotasi ‘menambah beban’ para oknum tersebut.
Sumber: Oleh : Prof. S.
Wismoady Wahono, Ph. D| dian pustaka | no 4 thn II, mei 1992 | hal
60-65.
“Kalau semua orang tidak menyukai sesuatu, mak
itu harus dipertimbangkan.
Kalau semua orang menyukainya, maka itu harus
dipertimbangkan” (Khong Hu Tju)